Astari menjelaskan, sebelum perkembangan teknologi, informasi hoax ini berkembang dari mulut ke mulut. Hal tersebut membuat penyebaran informasi hoax terbatas dan hanya dapat diterima oleh kalangan tertentu. Namun seiring perkembangan teknologi informasi, informasi hoax mudah menyebar keseluruh lapisan masyarakat. Disatu sisi, perkembangan teknologi informasi tersebut tidak dibarengi dengan edukasi.
"Ada ketimpangan yang sangat jauh, itulah sebabnya negara kita sangat mudah terkena hoax, walapun ada juga negara yang tingkat literasinya tinggi masyarakatnya temakan informasi hoax juga," ungkap Astari saat diskusi bertajuk "Bisnis dan Politik Hoax?" di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (26/8).
Astari menambahkan, pemerintah memiliki tugas untuk mengisi slot kosong mengenai literasi dalam penggunaan media sosial. Hal tersebut untuk meminimalisir praktik penyebaran informasi hoax tidak terus bertumbuh, baik di media internet maupun di media sosial. Apalagi dalam catatannya pengguna internet pada tahun 2017 telah mencapai 187 juta pengguna dari 260 juta warga Indonesia.
Menurutnya peningkatan kemampuan literasi dianggap penting, khususnya bagi para remaja. Sebab, kebanyakan pengguna internet berasal dari kalangan usia muda. Menurutnya, jika sejak dini edukasi mengenai dunia maya telah diberikan, kesadaran kritis terhadap informasi hoax yang tersebar di media internet maupun media sosial bisa terwujud.
Terlebih penyebaran informasi hoax bisa dilakukan dari luar Indonesia. Astari mencontohkan fakenews atau berita hoax saat Pemilihan presiden Amerika Serikat diproduksi oleh remaja dari negara Makedonia.
"Yang membuat fake news di masa kampanye presiden Amerika Serikat itu usia 16 tahun dan itu diproduksi bukan dari Amerika Serikat, tetapi dari Makedonia. Jadi Literasi media sosial itu sesuatu yang sangat penting. Pemerintah harus membuat semacam kurikulum yang dimasukkan kedalam pelajaran SD sampai SMA," pungkasnya.
BERITA TERKAIT: