Demikian disampaikan epidemiolog dari Universitas Griffith, Brisbane, Australia, Dicky Budiman menanggapi ramainya pembahasan vaksin yang digadang-gadang digagas mantan Menteri Kesehatan, Terawan Agus Putranto.
“Tidak boleh ada satu produk kesehatan baik itu obat, vaksin diintervensi oleh ekonomi atau politik. Jadi, harus dipimpin prosedur ilmiah,†kata Dicky kepada wartawan, Minggu (14/4).
Dicky mengatakan, vaksin akan menjadi berbahaya bila tidak disertai bukti ilmiah yang jelas dan valid. Apalagi, kata dia, vaksin berbasis sel dendritik seperti vaksin nusantara belum memiliki bukti ilmiah terkait penggunaan untuk penyakit menular.
Dicky menilai, apabila vaksin nusantara dipaksakan justru akan berisiko besar, baik materiil maupun kesehatan, bahkan akan memakan ongkos yang besar pula.
"Selain tidak
visible, manfaat kesehatan masyarakat dari penggunaan vaksin tersebut belum tentu ada. Ini namanya tidak efisien dan efektif," katanya.
Dia mencontohkan penggunaan vaksin yang sudah ada seperti Sinovac, Astrazeneca membutuhkan
resources besar, sumber daya manusia, serta atensi dan lainnya.
"Nah jangan dihabiskan oleh satu potensi vaksin (nusantara) ini yang tidak
visible,†ucapnya.
Dicky lantas menyinggung vaksin Merah Putih yang sedang dikembangkan Lembaga Biologi Molekular (LBM) Eijkman. Pengembangan vaksin Merah Putih, kata dia, memiliki pertanggungjawaban ilmiah lebih jelas.
“Ada potensi manfaatnya dan basis ilmiahnya jelas. Bahkan secara
public health juga besar. Itu yang harus diarahkan," imbuhnya.
Menurutnya, pengembangan vaksin nusantara tidak bisa dipaksakan, apalagi diintervensi politik. "Karena kontraproduktif dengan vaksinasi yang ada,†demikian Dicky.