"Menjatuhkan pidana keÂpada terdakwa Nur Alam dengan pidana penjara selama 15 tahun dan pidana denda sebesar Rp 1 miliar dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar, maka diganti dengan pidana kuÂrungan selama 6 bulan," demikian putusan perkara nomor bernomor 16/Pid. Sus-TPK/2018/PT.DKI.
Putusan itu diketuk maÂjelis hakim banding yang diketuai Hakim Elang Prakoso Wibawa dengan angÂgota Zubaidi Rahmat, INyoman Adi Juliasa, Reny Halida Ilham Malik dan Lafat Akbar.
Majelis hakim PT DKI hanya mengubah lamanya pidana badan terhadap Nur Alam. Sementara pidana denda dan pidana tambahan berupa pencabutan hak poliÂtik tetap.
Majelis hakim tak sepaÂkat dengan memori banding jaksa penuntut umum (JPU) KPK mengenai kerugian negara Rp 2,7 triliun akibat kerusakan lingkungan.
Jumlah kerugian negaraitu merupakan hasil perhitungan ahli lingkunganhidup Basuki Wasis. Menurut dia, akibat pemberian izin penambangan nikel kepada PT Anugerah Harisma Barakah terjadi kerusakan lingkunang yang massif di Pulau Kabaena. Negara perlu mengeluarkan biaya Rp 2,7 triliun untuk memulihkan lingkungan yang rusak.
"Atas keberatan-keberaÂtan sebagaimana yang diaÂjukan penuntut umum pada KPK dan penasihat hukum terdakwa sebagaimana terÂtuang baik dalam memori banding maupun kontra memori banding tersebut, majelis hakim tingkat bandÂing berpendapat keberatan-keberatan tersebut telah dipertimbangkan dengan teÂpat dan benar secara hukum oleh majelis hakim tingkat pertama sebagai judex facti dalam perkara aquo, dan karenanya dipertimbangkan untuk dikesampingkan," demikian pertimbangan majelis banding.
Sebelumnya Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta menyatakan Nur Alam terbukti menyalahgunakan wewenang dalam penerbitan Izin Usaha Pertambangan (IUP) Eksplorasi dan IUP Operasi Produksi PT Anugerah Harisma Barakah yang merugikan keuangan negara sebesar Rp 1,59 triliun.
Ia juga terbukti menerima gratifikasi gratifikasi sebeÂsar Rp 40,268 miliar terkait usaha penambangan yang dilakukan PT Anugerah Harisma Barakah. ***
BERITA TERKAIT: