IKAHI Harus Terbuka Dengan Diskursus Pembaharuan Sistem Peradilan

Selasa, 28 Maret 2017, 22:31 WIB
IKAHI Harus Terbuka Dengan Diskursus Pembaharuan Sistem Peradilan
SEBAIK-baiknya sebuah sistem dalam suatu lembaga negara ketika ia mampu secara terbuka adaptif "responsif" mengikuti ruang diskursus yang sedang mengarahkan kritik dan evaluasi pada dirinya.

Ditengah situasi modernisasi saat ini betapa sulit kita dapat memastikan adanya fix system yang absolut sebagaimana dalih yang mengatakan 'one roof system' atau sistem satu atap adalah yang paling terbaik.

Kami dari Bidang Hukum PP Pemuda Muhammadiyah mengajak pihak manapun untuk membuka diri dan responsif terhadap diskursus pembenahan sistem lembaga peradilan.

Agak heran juga sebenarnya, mengapa IKAHI beberapa waktu lalu menyampaikan ke Presiden Jokowi seperti dengan nada tidak setuju terhadap sistem share responsibility yaitu berbagi peran dan tanggungjawab. Barangkali bagi IKAHI sistem tersebut akan mengambil kewenangan mereka terkait  masalah organisasi, administrasi serta finansial dari badan peradilan untuk dikelola oleh badan lain. Dugaan kami sepertinya IKAHI akan harga mati bertahan pada sistem satu atap (one roof system).

Kami paham betul bagaimana proses politik hukum sistem satu atap itu terjadi. Bahkan Sebastian Pompe pernah mencatat upaya kooptasi politik pemerintahan eksekutif sangat menghambat upaya reformasi dan supremasi hukum di lembaga peradilan kala itu. Independensi lembaga peradilan berada pada kondisi tarik menarik kepentingan politik dimasa itu.

Konteks sejarah ini harus dilihat dengan baik. Sebut saja orde lama corak lembaga peradilan menjadi kuasa pemerintah yang berkuasa. Orde baru tidak ingin lembaga peradilan jadi penghambat visi pemerintahan yang sedang berkuasa hal ini dibuktikan menyangkut bidang teknis non yudisial (adminitrasi, organisasi, dan keuangan) pengaturannya masih dibawah kuasa pemerintah.

Dapat disimpulkan, independensi lembaga peradilan waktu itu sulit tercapai karena masih berada pada skenario kuasa eksekutif. Dimana rezim kala itu disokong dengan sempitnya ruang partisipasi publik dalam hal penyampaian pendapat, kelembagaan hukum belum ada KPK, MK, dan KY. Praktis yang diperlukan independensi kuat secara internal dan seutuhnya harus menjadi hak otonom lembaga peradilan dibawah kendali MA.

Konteks saat ini tentu berbeda. Memaknai independensi di alam reformasi dibutuhkan sokongan dari eksternal. Sifatnya tidak bisa lagi otonom melainkan responsif partisipatif. Independensi lembaga peradilan betapa keliru jika harus dikelola secara otonom 'one roof system'.

Diskursus mengenai one roof system dalam sistem peradilan memang baik dalam meninggalkan kooptasi rezim kala itu. Tetapi sistem satu atap bukan harus dikatakan harga mati atau sistem yang paling benar di era reformasi kekinian.

IKAHI harus memahami betul konstruksi pembaharuan yang hendak dibangun dalam memperkuat independensi lembaga peradilan. Jika kuasa sistem satu atap dikatakan otonom kewenangan semua berada di MA tentu tidak tepat. Kuasa dalam mengalirkan keuangan saja ada di kementerian keuangan. Jadi mana ada yang bebas dari pengaruh dan kewenangan lembaga lain, itu hanya salah satu contoh.

Konsep berbagi peran dan tanggung jawab tidak ada maksud untuk merebut kewenangan pokok MA. Padahal yang ingin ditegakkan disini adalah nilai akuntabilitas, transparansi dan partisipasi agar capain independensi tersebut berbagi peran dengan sub sistem lainnya.

Konklusinya kewenangan pokok tetap di MA, dalam pengunaan kewenangan tersebut mewajibkan melibatkan peran serta lembaga lain. Bukannya itu sudah lazim di era reformasi kekinian.

Justru konsep share responsibility akan membangun independensi peradilan semakin kuat sebagai sub sistem yang didukung oleh sub sistem lain yang terkait. Secara bersamaan atau bergantian terkadang muncul sebagai pengaruh yang kuat dalam penegakan hukum dan tentu akan berjalan efektif.

Maka dari itu kami sarankan IKAHI harus terbuka dengan diskursus pembaharuan sistem peradilan dalam rangka penguatan independensi yang tidak otonom melainkan responsif partisipatif.

Terkait dengan polemik ini, pada hari Kamis 30 Maret 2017 Pemuda Muhammadiyah akan gelar dialog publik mengenai topik "Meluruskan Kembali Sistem Peradilan Indonesia" yang sedang hangat dibicarakan.

Hal terpenting dalam diskusi ini, yaitu konsep shared responsibilty system (pembagian peran dan tanggungjawab) yang akan mendasari pengelolaan manajemen jabatan hakim. Prinsip ini akan membuka peluang diskursus kritis dari satu atap (one roof system) yang selama ini diterapkan dilembaga peradilan yang berpuncak di MA. Kesan monopoli MA terhadap rekrutmen hakim, promosi dan mutasi hakim masih ada sepenuhnya ditangan MA. Yang saat ini dibagi hanya penilaian dan pengawasan kekuasaan kehakiman melibatkan KY.

Pemuda Muhammadiyah sangat konsen terhadap ruang diskursus dalam hal akuntabilitas, transparansi, partisipasi,  dan independensi adalah nilai yang patut di tegakkan, agar dapat menjamin kualitas pemberantasan korupsi termasuk pula meluruskan lembaga peradilan Indonesia.

Karena bagaimana mungkin pengalaman pahit beberapa oknum hakim terlibat maen perkara atau sebutlah ingin terhindar dari indikasi rente jabatan, sementara persoalan itu hanya dikatakan urusan personal atau problem individu. Dugaan kami reformasi dan transformasi lembaga peradilan harus sampai pada titik fundamentnya yaitu pembenahan sistem termasuk pula revitalisasi terhadap legal subtance atas lembaga kehakiman tersebut.

Sebut saja Perancis, Jerman dan Belanda sudah berada pada transformasi kelembagaan kehakiman yang tidak absolut dalam hal kewenangan. Penyelenggaraan kewenangan tidak lagi secara otonom dijalankan satu arah, melainkan melibatkan sub sistem lainnya secara eksternal agar tercapainya independensi secara responsif dan partisipatif. [***]

Faisal

Ketua Pemuda Muhammadiyah Bidang Hukum

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA