Seperti diketahui, sidang kasus e-KTP dengan terdakwa Irman dan Sugiharto akan digelar hari ini di Pengadilan Tipikor Jakarta. Irman merupakan eks dirjen Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kemendagri. Sementara Sugiharto adalah eks direktur Pengelola Informasi Administrasi Kependudukan Ditjen Dukcapil Kemendagri.
Keduanya diduga melakukan tindakan melawan hukum dan menyalahgunakan wewenang terkait proyek ini. Akibatnya, negara dirugikan hingga Rp 2,3 triliun dari proyek senilai Rp 5,9 triliun ini. Yang bikin sidang ini menyedot perhatian, Ketua KPK Agus Rahadjo menyatakan, akan ada banyak nama besar yang disebut dalam dakwaan.
Namun, perhatian publik terhadap kasus ini seperti bertumpu sebelah tangan. Soalnya, kemarin, Humas Pengadilan Tipikor Yohannes Priana menyatakan, sidang e-KTP dilarang disiarkan langsung.
Menurut Yohanes, larangan untuk siaran langsung berdasarkan surat keputusan ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat kelas 1A Khusus Nomor W 10 U1/KP 01.1.1750sXI201601 tentang larangan peliputan atau penyiaran persidangan secara langsung oleh media televisi di lingkungan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat kelas 1A khusus. Pengadilan Tipikor masuk kategori ini.
Dalam SK itu, sidang Jessica Kumala Wongso dalam kasus 'kopi sianida' dijadikan sebagai contoh sidang yang disiarkan langsung. Pengadilan menilai siaran live akan lebih banyak membawa mudarat ketimbang manfaatnya. Selain itu, siaran langsung sidang akan mengganggu independensi hakim. "Dengan mengingat yang sudah terdahulu pengadilan mengambil sikap bahwa persidangan sekarang sudah tidak boleh live lagi,"ujar Yohanes di Pengadilan Tipikor, kemarin.
Sekalipun begitu, Yohanes menyatakan, persidangan ini tetap terbuka untuk umum. Masyarakat, boleh hadir menyaksikan jalannya persidangan. Namun, tentu karena kapasitas ruangan yang terbatas, pengunjung sidang juga dibatasi. "Itu filosofinya sangat berbeda. Kalau live artinya persidangan dihadirkan ke masyarakat umum. Kita mengembalikan marwah sidang yang terbuka untuk umum," imbuhnya.
Ketua Umum PWI Pusat Margiono mengkritik keputusan ini. Menurutnya, keputusan ini sangat berlebihan. "Pengadilan Jakpus paranoid, ketakutan yang berlebihan," ujar Margiono, kemarin.
Alasannya, lanjut Margiono, PWI menilai siaran langsung sidang tidak melanggar aturan apapun. Dengan demikian, keputusan pengadilan itu bisa dilawan, baik secara moral maupun hukum.
Menurutnya, selain dapat melemahkan upaya pemberantasan korupsi, larangan itu juga mengancam kemerdekaan pers dan melanggar hak masyarakat untuk mendapatkan informasi.
"PWI akan melakukan kajian serius atas larangan itu, dan akan menyiapkan gugatan, kecuali pengadilan secepatnya mencabut larangan tersebut," tegasnya.
Terpisah, Ketua Dewan Kehormatan PWI Pusat Ilham Bintang juga menyebut, larangan ini merupakan pelecehan terhadap kemerdekaan pers. Serta bertentangan dengan prinsip peradilan yang bebas, terbuka, dan jujur.
Menurutnya, karena sidang ini menyangkut nama tokoh dan pejabat penyelenggara negara, publik bisa curiga dan menduga-duga bahwa ada pengaturan sehingga sidang itu tidak boleh disiarkan secara langsung oleh televisi.
"Keputusan hakim melarang siaran langsung sidang tersebut bisa memunculkan anggapan pengadilan telah diintervensi kekuatan di luar pengadilan. Ini benar-benar tidak sehat bagi upaya penegakan hukum dan transparan informasi publik," tegas Ilham, kemarin.
Lagipula, ujar Ilham, berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), masyarakat berhak mengetahui jalannya proses persidangan terbuka.
Pers merupakan wakil dari publik yang tidak dapat hadir ke persidangan itu. Maka PWI menilai larangan siaran langsung sama halnya dengan merampas hak publik.
"Karena itu PWI meminta keputusan larangan siaran langsung sidang e-KTP oleh Pengadilan Tipikor Jakarta segera dicabut," imbau Ilham.
Sesuai ketentuan hukum, PWI berpendapat hanya sidang peradilan anak dan kasus asusila yang bersifat tertutup dan tidak boleh disiarkan secara langsung. Pembatasan itu melindungi kepentingan anak-anak dan menghindari penyiaran kasus asusila menjadi konsumsi umum.
Sementara sidang kasus dugaan korupsi yang bersifat terbuka untuk umum seharusnya dapat disiarkan secara langsung. Hal itu dibutuhkan agar pengadilan berjalan dengan adil dengan pengawasan langsung dari publik.
Terpisah, Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) memandang, pengadilan kebablasan. Larangan itu membatasi hak publik untuk mengetahui informasi. Larangan ini juga memasung kebebasan Pers yang dijamin UU Pers No. 40 Tahun 1999.
Padahal, korupsi adalah kejahatan yang luar biasa (extra ordinary crime). Pada perkembangannya korupsi telah terjadi secara sistematis dan meluas, menimbulkan efek kerugian negara dan menyengsarakan rakyat.
Korupsi juga dapat memberikan dampak negatif terhadap demokrasi, ekonomi dan kesejahteraan rakyat dan menghambat tata pemerintahan yang baik (good governance).
"Kami memandang, pelarangan live broadcast sidang korupsi E- KTP, tidak sejalan dengan cita-cita masyarakat di Tanah Air untuk memberantas korupsi sampai ke akar-akarnya, korupsi juga sejejar dengan kejahatan terorisme," ungkap Ketua Umum IJTI, Yadi Hendriana.
Terpisah, Jubir KPK Febri Diansyah menyebut, dalam UU No.31 Tahun 1999, UU Tipikor dan UU KPK, komisi antirasuah itu berkewajiban untuk melibatkan masyarakat dari berbagai unsur. "Itu hak masyarakat untuk tahu," ujar Febri di KPK, kemarin petang.
Sekalipun begitu, KPK menghormati langkah pengadilan yang melarang televisi untuk siaran langsung. KPK menyerahkan kepada Mahkamah Agung terkait teknis peliputan sidang. KPK menganggap MA memiliki otoritas untuk mengatur hal tersebut.
Di jagad Twitter, banyak yang mengkritik putusan ini. Politisi Demokrat Didi Syamsudin meminta, janganlah rakyat dibuat curiga dengan keputusan ini. "Jangan main-main dengan korupsi besar ini," katanya lewat akun @didi_irawadi. "Semoga kasus korupsi e-ktp diproses hukum dengan benar dan rakyat mendapat keadilan seutuhnya #suaranetizen," tulis @destarvt, mengamini pernyataan Didi.
Budayawan Gunawan Mohamad memberi selamat kepada KPK karena akhirnya bisa menyidangkan kasus ini. "Selamat buat KPK yang bongkar korupsi e-KTP. Tanpa lembaga yang mandiri dan pemimpin bersih dan berani, korupsi akan menghancurkan kita," katanya lewat akun @gm_gm. ***
BERITA TERKAIT: