Demikian ditegaskan Ketua Setara Institute, Hendardi kepada
Kantor Berita Politik RMOL, Senin (21/3).
Menurut Hendardi, indikasi tersebut muncul karena hingga saat ini langkah-langkah yuridisial untuk menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, tidak pernah dilakukan.
"Pertanyaan pemerintah ihwal siapa subyek hukum yang akan dimintai pertanggungjawaban sehingga dipilih jalur non yudisial, bukanlah isu utama dan pertama," katanya.
Justru yang pertama dari pengungkapan kasus masa lalu menurutnya adalah ketersediaan dan pengakuan narasi kebenaran peristiwa kemanusiaan itu. Nah, setelah itu, negara sebagai subyek hukum HAM internasional, meminta maaf dan memberikan kompensasi, rehabilitasi, dan pemulihan untuk korban.
"Tanpa pengungkapan kebenaran prakarsa pemerintah hanya akan sia-sia dan semakin menebalkan impunitas," ujarnya lagi.
Sedangkan untuk kasus yang masih realistis karena terduga pelaku kejahatan itu masih bisa dimintai pertanggungjawaban seperti kasus penculikan, Hendardi mengatakan semestinya jalur penegakan hukum masih bisa dipilih.
Hendari menambahkan, kalau Jokowi tidak mampu memerintahkan Jaksa Agung tunduk pada UU 26/2000 untuk menegakkan proses hukum dan/atau rekonsiliasi akuntabel, sebaiknya Jokowi memenuhi janji dalam Nawacita dan RPJMN untuk membentuk Komite Kepresidenan Penuntasan Pelanggaran HAM masa lalu. Janji itu tertuang eksplisit dalam RPJMN.
"Dengan membentuk Komite tersebut, proses di luar jalur yang digagas pemerintah, setidaknya dilakukan oleh organ baru yang kredibel dan independen. Biarkan komite itu yang memberikan arah dan prakarsa penyelesaian," tegas Hendardi.
[wid]
BERITA TERKAIT: