Hal itu mengingat, pertama, ketentuan Perppu tersebut terutama Pasal 18A, 18B dan 18C yang intinya mengatur MA, DPR dan/atau Presiden mengajukan calon hakim konstitusi kepada panel ahli yang dibentuk oleh KY untuk dilakukan uji kelayakan dan kepatutan yang diakhiri dengan persetujuan lolos atau tidaknya calon, secara nyata menabrak ketentuan Pasal 24C ayat (3) UUD 1945 sekaligus merampas kewenangan DPR/MA/Presiden mengajukan hakim konstitusi sebagaimana dijamin UUD 1945.
Anggota Komisi III DPR RI, Ahmad Basarah, menyatakan, Pasal 24C ayat (3) UUD 1945 jelas menyatakan "MK mempunyai 9 orang hakim konstitusi yang ditetapkan oleh presiden, yang diajukan masing-masing tiga orang oleh MA, tiga orang oleh DPR, dan tiga orang oleh Presiden".
Dengan demikian kekuasaan melakukan uji kelayakan dan kepatutan melalui pembentukan panel ahli seharusnya dilakukan pada masing-masing lembaga (DPR, Presiden, MA) dan bukan oleh satu panel ahli bentukan KY. Termasuk lolos tidaknya calon hakim konstitusi haruslah diputuskan oleh masing-masing lembaga dan bukan oleh panel ahli bentukan KY.
Kedua, terkait komposisi majelis kehormatan hakim konstitusi yang bersifat tetap (Psl 27A ayat (5)) tanpa melibatkan unsur hakim konstitusi di dalamnya berpotensi menghambat MK dalam menegakkan keadilan substansial dan menjadikan MK cenderung formalistik karena kekuasaan majelis kehormatan yang sangat besar terutama dalam pemberian sanksi juga rawan disalahgunakan.
Politisi PDI Perjuangan ini katakan, Perppu MK ini merupakan bentuk amandemen UUD 1945 secara terselubung oleh Presiden SBY, padahal wewenang amandemen UUD 1945 ada pada MPR. Maka, DPR harus menolak mengesahkan Perppu ini menjadi UU.
"Sebagai solusinya DPR harus segera mendorong revisi UU MK dengan pembahasan yang mendalam berpegang pada UUD 1945, dan tidak didasari perasaan emosional demi tegaknya MK sebagai
the guardian of ideology and the guardian of constitution," tandasnya.
[ald]
BERITA TERKAIT: