Alarm-Alam dan Kekacauan Sistemik

Minggu, 21 Desember 2025, 19:39 WIB
Alarm-Alam dan Kekacauan Sistemik

Banjir bandang Aceh Tamiang. (Foto: Kiriman Warga)

TIDAK menentu! Kondisi cuaca semakin tak mampu diprediksi. Perubahan siklus musim bertambah ekstrem. Fenomena bencana di Sumatera, dapat dilihat dalam perspektif meteorologi akibat siklon tropis senyar, meski dampak sosial dan kerugian masif, merupakan dampak kerusakan ekologis serta pertanda kelemahan hukum. 

Krisis iklim tidak hadir serta merta sebagai pemicu bencana, terlebih terlihat gelombang kayu gelondongan terhampar. Suasana kelam meruap, bagi publik jelas ini bencana ekologis, tidak hanya dalam hitungan luas wilayah terdampak serta korban nyawa, tetapi juga masa depan. 

Lantas sebuah tanya terselip secara fundamental: apakah peristiwa ini murni kehendak alam -act of God, ataukah manifestasi dari kegagalan sistemik? Perspektif publik yang menjadi korban perlu ditimbang dengan cermat. 

Pusaran Status 

Format respon bencana perlu segera terstrukturisasi dengan baik, di tingkat pusat maupun daerah. Ketidakjelasan model solusi bencana menimbulkan titik gaduh mengenai perdebatan penetapan status "Bencana Nasional". 

Skala kerusakan merata pada tiga provinsi dengan estimasi nilai kerugian ekonomi mencapai Rp68,6 triliun. Melihat imbas bencana tersebut, serta potensi waktu yang panjang pembenahan pasca bencana, kebergemingan untuk tidak menaikkan status dari level daerah menjadi kabut misteri. 

Padahal, amanat atas lima indikator objektif kebencanaan: (i) jumlah korban, (ii) kerugian harta benda, (iii) kerusakan sarana-prasarana, (iv) cakupan luas wilayah, dan (v) dampak sosial ekonomi telah terpenuhi sebagai kriteria utuh. 

Kegamangan kebijakan merupakan konsekuensi dari risiko administratif, dengan dalil menjaga marwah otonomi daerah. Perdebatan status bencana dalam kacamata hukum seharusnya tidak mengabaikan hak substantif korban. 

Terlebih ketika dana pemulihan tereskalasi jumbo, mustahil dipikul sendirian melalui APBD, tanpa intervensi tingkat lanjut. Pasca Tsunami Aceh 2004 secara institusional, telah terdapat eksistensi BNPB dan BPBD permanen. 

Karakteristik bencana Sumatera kali ini lebih kompleks secara teknis. Dosa ekologisnya tampil dalam bentuk limpasan banjir lumpur tebal, bersama lautan material gelondongan kayu. 

Penanganan bencana secara aktual membuktikan bila kemajuan regulasi, belum selaras dengan ketangguhan infrastruktur kebencanaan. Perlu refleksi kritis atas alarm alam dan bagaimana bersikap atas hal tersebut. 

Pemenuhan Tanggung Jawab 

Pada perspektif hukum lingkungan, kondisi bencana Sumatera bukan hanya menjadi kegagalan teknis, sekaligus menjadi kekacauan sistemik. Temuan kayu hasil tebangan merupakan bukti tak terbantahkan malapetaka antropogenik. 

Ranah hukum mengenal prinsip strict liability atau pertanggungjawaban mutlak, sehingga korporasi yang beroperasi di wilayah hulu serta memicu ancaman lingkungan harus memikul beban ganti rugi publik. 

Selain itu, negara memikul tanggung jawab konstitusional melalui teori fautes de services. Terlebih bila terbukti adanya pemberian ijin serta pembiaran -omission terhadap praktik illegal logging di kawasan hutan, termasuk keterlambatan merespons peringatan dini BMKG. 

Sementara, warga negara memiliki ruang hak untuk memperoleh keadilan yang tidak hanya diukur dari paket bantuan sembako, tetapi atas pemulihan kapasitas hidup publik sesuai prinsip hak keadilan substantif. 

Pada akhirnya terdapat urgensi untuk melihat berbagai pelajaran dari persoalan bencana, yang harus segera ditempuh: (i) Penetapan Status: perlu adanya mekanisme pemicu otomatis -automatic trigger, agar tidak menjadi komoditas dalam lingkup diskresi politik.

(ii) Audit Lingkungan: evaluasi tata ruang dan sinkronisasi peta risiko bencana diperkuat dengan rencana izin pemanfaatan ruang secara konsisten. (iii) Transformasi Dana Bencana: perlu memastikan agar gerak birokrasi anggaran tidak kalah cepat daripada laju banjir. 

Bencana menjadi simbol peringatan keras. Ketangguhan sebuah bangsa tidak hanya diuji dari kelincahan dalam mengevakuasi korban, tetapi seberapa berani menegakkan hukum untuk mencegah penderitaan berulang. 

Adagium klasik salus populi suprema lex esto -keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi harus diwujudkan agar menjadi benteng pertahanan bagi keselamatan lingkungan dan kemanusiaan. rmol news logo article

Doktoral Ilmu Hukum Universitas Islam Sultan Agung

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOTO LAINNYA