Rabu, 17 Desember 2025, 06:22 WIB
Ilustrasi. (Foto: Artificial Intelligence)
KONON, di jagat seminar internasional, selalu ada dua jenis pemateri. Pertama, tipe bintang panggung -- yang begitu muncul, cahaya LED seolah menyembahnya sambil memutar lagu tema
Avengers. Kedua, tipe sunyi -- yang namanya muncul di urutan paling bontot, biasa-biasa saja,
slide-nya minimalis, dan biasanya kita kira hanya pelengkap dekorasi.
Nah, Lyqa Maravilla termasuk tipe kedua itu. Saking sederhananya, kalau ia lewat di lorong markas besar Asian Development Bank (ADB) di Manila, Filipina, mungkin petugas keamanan pun menganggapnya peserta magang yang tersesat mencari ruang fotokopi. Padahal, justru dari tipe semacam inilah ide-ide paling jernih diam-diam menetes.
Forum internasional ADB -- yang entah bagaimana selalu berhasil membuat kata "skill" terdengar lebih mentereng dari ijazah sarjana -- digelar tiap tahun untuk membedah masa depan pendidikan di Asia Pasifik.
Bayangkan aula besar berisi campuran menteri pendidikan, akademisi yang tampilannya seperti mural teori ekonomi, para CEO EdTech yang berbahasa Inggris seperti
Python script, serta para donor yang duduk tenang sambil menghitung return on investment sosial. Semua berkumpul memeras otak tentang bagaimana mempersiapkan manusia Asia untuk masa depan yang makin absurd.
ADB sendiri -- institusi keuangan pembangunan yang kantornya menjulang di tengah Manila -- memang punya obsesi terhadap
human capital. Mereka membiayai pembangunan sekolah, reformasi kurikulum, sistem TVET, hingga proyek digitalisasi ruang kelas. Ibarat bank sentral pendidikan, ADB mengurusi segalanya mulai dari PAUD sampai universitas yang laboratoriumnya penuh kabel dan mimpi.
Di forum tahun ke-11 ini, temanya "Applying a Fresh Lens to Unlock the Power of Human Capital". Bahasa manusianya: "Mari kita pakai kacamata baru, sebab kacamata lama sudah buram dilindas zaman." Temanya 3×3×3 -- yang tentu membuat peserta yang datang tanpa sarapan langsung bingung apakah itu tema forum atau rumus rubik.
Toh, para pembicara kelas berat hadir: menteri-menteri pendidikan dari Asia Tengah sampai Pasifik, pakar digitalisasi, ekonom tenaga kerja, ilmuwan data, pengusaha EdTech, hingga peneliti perubahan iklim. Daftarnya panjang seperti antrian check-in pameran buku murah.
Di antara kerumunan para raksasa itu, muncullah satu nama di sesi penutup: Lyqa Maravilla, RPm, LPT. Lha, siapa Lyqa? Kita mungkin tak pernah dengar namanya.
Di Filipina, dia lebih terkenal dari beberapa anggota DPR mereka -- kombinasi kreator konten edukasi, psikometris profesional, pemenang juara pertama ujian CPNS Filipina tahun 2013, dan pendidik yang videonya sudah membantu ratusan ribu anak muda lulus ujian masuk kerja.
Ia ibarat Ruangguru, Zenius, dan psikolog karier yang dijadikan satu paket lalu ditambah kemampuan berbicara yang jenaka tapi menusuk. Di YouTube dan Facebook, konten Lyqa mengalir gratis.
Isinya bukan motivasi bising penuh kalimat "kamu pasti bisa", tetapi panduan belajar yang membumi, terukur, dan penuh cerdik. Dalam dunia yang terlalu sering berisik oleh influencer yang sibuk memamerkan air mineral alkalin, Lyqa justru sibuk mengajari masyarakat cara berpikir.
Maka ketika ia naik panggung ADB, saya kira presentasinya akan seperti materi
soft skills pada umumnya: manis tapi kosong. Ternyata saya keliru. Lyqa menggebrak ruangan dengan ketenangan orang yang sudah kenyang membaca algoritma zaman.
Dia bicara tentang "evolusi cara belajar manusia": dari era
Print, Search, Algoritma, hingga
Generative AI. Bukan teori kosong, tapi observasi tajam seorang praktisi yang bergulat setiap hari dengan audiens digital.
Sebelum segala kegaduhan era
Search, Algorithm, dan
Generative AI itu muncul, jelasnya, manusia pernah hidup dalam lanskap belajar yang jauh lebih sederhana namun justru lebih disiplin. Kita menyebutnya Era Print -- atau dalam konteks dunia Islam dan dunia pesantren, Era Kitab Cetakan dan Era Kitab Kuning.
Di masa ini, ilmu hadir sebagai benda fisik yang beratnya bisa mengalahkan tas ransel mahasiswa kedokteran. Buku bukan sekadar medium, melainkan ritual: kertas yang harus dibuka perlahan, huruf yang harus disusuri satu per satu, catatan kecil yang dibuat di pinggir halaman sebagai bekal renungan.
Di pesantren, kitab kuning dibaca dengan model bandongan dan sorogan. Gurunya membaca, muridnya menyimak -- sebuah tradisi yang memaksa otak bekerja dalam ritme panjang, penuh kesabaran, diisi perlahan-lahan, tanpa "skip intro". Orang pintar di era ini bukan yang cepat, tetapi yang tekun.
Karena itu, jika mengikuti garis sejarah yang dibentangkan Lyqa lalu ditarik lebih ke belakang, kita sebenarnya telah melewati lima era pembelajaran. Dimulai dengan Era Manuskrip/Kitab Kuno, ketika transmisi ilmu bergantung pada guru dan penyalinan teks.
Kemudian Era Print/Kitab Cetakan, ketika ilmu menjadi massal. Diikuti oleh Era Search, ketika kata kunci menggantikan hafalan. Selanjutnya datang Era Algoritma, ketika ilmu tidak lagi dicari, melainkan disuapkan.
Sekarang ini segera masuk Era
Generative AI, ketika mesin tidak hanya memberi informasi, tetapi membentuk jawaban. Dan kita sedang menuju Era
Post-Gen/Agentic AI, ketika mesin bukan hanya bicara, tetapi bekerja dan mengambil alih tindakan-tindakan kompleks.
Jadi, manusia telah melewati "enam era belajar" -- dari manuskrip hingga kecerdasan buatan yang bekerja mandiri. Ironisnya, makin banyak era kita lalui, makin mahal satu kemampuan kuno yang dulu dianggap biasa: kemampuan untuk duduk diam, membaca pelan-pelan, dan betul-betul memahami.
Lyqa menjelaskan bagaimana otak manusia berubah karena cara memperoleh informasi berubah. Bagaimana kita dulu dipaksa membaca tebal-tebal, kini terjebak jadi pembaca
scroll yang tidak punya daya fokus lebih dari 12 detik -- hampir menyamai ikan mas.
Ia menguraikan bagaimana algoritma menciptakan dunia sempit yang memanjakan ego kita. Bagaimana Gen AI membuat kita pintar dalam sehari, tapi bodoh dalam jangka panjang jika kita tidak tahu cara bertanya.
Para peserta yang tadinya sudah siap-siap angkat koper, ketika setengah memikirkan oleh-oleh dari Manila, mendadak duduk tegak. Karena Lyqa tidak sedang bicara metode belajar; ia sedang membicarakan masa depan otak manusia.
Presentasinya seakan memelintir tengkuk kita dan memaksa menatap kenyataan: para guru, ustadz, dosen, dan kiai pesantren tidak lagi hidup di zaman ketika kitab kuning atau diktat fotokopian menjadi pusat alam semesta.
Mereka kini mendidik generasi yang hatinya mudah teralihkan, pikirannya melompat-lompat seperti popcorn, dan seleranya dibentuk oleh algoritma yang tak pernah tidur. Dalam konteks itulah
slide Lyqa menjadi alarm dini pendidikan Asia.
Para orangtua perlu mendengarnya agar berhenti marah ketika anak tidak hafal tabel perkalian, sebab AI menghafal jauh lebih baik.
Para guru perlu mendengarnya agar berhenti mengejar silabus seolah itu kitab suci, padahal murid hari ini butuh navigasi bukan sekadar pengetahuan.
Para kiai pesantren perlu mendengarnya agar tahu bahwa “ngaji zaman algoritma” butuh strategi baru agar santri tidak hanya cerdas membaca kitab, tetapi juga tahan terhadap banjir informasi yang menggila.
Para dosen perlu mendengarnya agar tidak terus memberi tugas makalah
copy-paste yang bisa dibuat AI dalam 3 detik 2 napas.
Yang menarik, Lyqa menutup materinya dengan kalimat yang lebih seperti doa ketimbang seminar:
"We lose what we don’t use, but the world will forget what we don’t share."
Kalimat sederhana, tapi menggemakan seluruh sejarah peradaban belajar manusia. Dari guratan batu purba, manuskrip ulama abad pertengahan, hingga video YouTube masa kini. Semuanya bicara hal yang sama: ilmu hanya hidup ketika dipakai dan dibagikan.
Dan di sinilah ironi modern itu tampak paling telanjang. Kita hidup di era ketika kecerdasan lebih murah dari pulsa, ketika mesin bisa merangkum buku ilmiah seperti menyapu halaman teras, ketika menulis skripsi bisa dilakukan sambil rebahan.
Namun kita juga hidup di era ketika kebijaksanaan menjadi barang langka, ketika kemampuan fokus adalah komoditas mahal, ketika manusia lebih sering bereaksi daripada memahami.
Semakin canggih teknologinya, semakin besar tuntutan agar kita menjadi manusia sepenuhnya -- yang berpikir kritis, membaca mendalam, memiliki empati, dan mampu memutus siklus kebisingan algoritma.
Maka, pelajaran dari Lyqa bukan tentang TikTok, AI, atau masa depan EdTech. Pelajarannya lebih sederhana: manusia harus kembali belajar menjadi manusia.
Sebab kalau di era AI kita gagal menjadi manusiawi, betapa memalukannya nanti ketika mesin tahu segalanya tentang kita, sementara kita tidak tahu apa-apa tentang diri sendiri.

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.