Hal tersebut diungkap dalam hasil survei Serikat Jurnalis Nasional Afghanistan (ANJU), seperti dimuat
TOLO News pada Minggu (19/3).
Menurut ANJU, 53 persen jurnalis kehilangan pekerjaan karena 50 persen outlet media ditutup karena berbagai alasan, termasuk kesulitan ekonomi, dan pembatasan aktivitas media yang diterapkan Taliban.
Para jurnalis mendesak pihak berwenang untuk memenuhi tugas mereka untuk memberikan akses informasi.
Seorang jurnalis, Abdul Rahman Wayand mengklaim mereka tidak mendapatkan informasi yang tepat waktu dari para pejabat Taliban
"Adalah tanggung jawab pejabat dan organisasi terkait untuk memberikan informasi yang akurat dan tepat waktu kepada media,†tegasnya, seperti dimuat
ANI News.
Anggota ANJU, Masroor Lutfi mengatakan perlindungan undang-undang terhadap media menjadi tantangan besar bagi mereka.
Untuk itu, seorang jurnalis bernama Mustafa Shahriar mendesak pejabat Taliban untuk memastikan keselamatan mereka saat melakukan pekerjaan.
Data PBB menunjukkan bahwa pada tahun 2022 tercatat lebih dari 200 kasus pelanggaran terhadap jurnalis di Afghanistan, meliputi penangkapan sewenang-wenang, penganiayaan, pelecehan, ancaman, dan intimidasi.
Banyak stasiun radio, TV, dan kantor berita tutup, dengan beberapa perkiraan menunjukkan bahwa lebih dari 6.000 jurnalis kehilangan pekerjaan.
Wartawan perempuan Afghanistan mengalami tekanan ganda karena menjadi jurnalis dan perempuan.
BERITA TERKAIT: