Negara yang juga ikut menggunakan kebijakan semacam itu sebagai bagian dari strategi menghadapi pandemi Covid-19 adalah Lebanon.
Namun langkah tersebut mendapatkan pertentangan dari sekelompok warga Lebanon itu sendiri. Mereka yang menolak kebijakan itu pun turun ke jalanan di ibukota Beirut pada Jumat (14/1).
Ratusan orang berkumpul di Lapangan Martir di Beirut untuk menyuarakan penolakan mereka atas keputusan pemerintah yang mengharuskan pekerja sektor publik untuk divaksinasi atau sering melakukan tes PCR dengan biaya sendiri untuk pergi bekerja. Mereka menyebut kebijakan itu sebagai “kediktatoran vaksinâ€.
“Orang dapat menyuntikkan diri mereka dengan bahan kimia apa pun yang mereka inginkan sampai akhir zaman, tetapi saya tidak mau,†kata salah seorang pengunjuk rasa bernama Evelyne berusia 35 tahun.
Komentar senada juga dilontarkan oleh pengunjuk rasa lainnya. Roland Adwan, wakil presiden sindikat serikat pekerja yang mengorganisir protes, mengatakan kebijakan itu melanggar kebebasan pribadi yang diabadikan dalam konstitusi Lebanon dan hukum internasional.
“Mereka ingin memaksakan vaksin, tapi vaksin yang mana? Ada dosis pertama, lalu dosis kedua, sekarang dosis ketiga, dan apa selanjutnya? Dosis kelima?†katanya dalam pidato yang memanas.
Kebijakan wajib vaksin itu sendiri diambil oleh pemerintah Lebanon setelah negara itu mengalami peningkatan kasus Covid-19 secara signifikan sejak akhir tahun lalu.
Pada saat yang bersamaan, merujuk pada terbaru Kementerian Kesehatan Lebanon yang dimuat
Al Jazeera pada Kamis (13/1), hanya ada sekita 37 persen populasi di Lebanon yang sudah menerima suntikan vaksin Covid-19 dosis kedua.
Salah satu permasalahannya adalah karena banyak di antara mereka yang menolak untuk disuntik vaksin Covid-19.
Menanggapi protes itu, Menteri Kesehatan Lebanon Firas Abiad menilai bahwa jumlah mereka yang protes soal kebijakan itu tidak sebanyak mereka yang antusias.
“Saya pikir jumlah (protes) mereka rendah, (dan) tidak dapat dibandingkan dengan 30.000 orang yang datang ke pusat vaksin pada hari yang sama,†kata Abiad kepada
Al Jazeera.
Abiad mengatakan dia yakin beberapa pengunjuk rasa menolak kebijakan wajib vaksin salah informasi.
BERITA TERKAIT: