Ujicoba yang melibatkan 1.077 orang tersebut menunjukkan injeksi kandidat vaksin eksperimental memicu respons imun yang baik. Vaksin potensial membuat para relawan yang terlibat dalam ujiocoba itu memiliki antibodi dan Sel-T yang dapat melawan virus corona.
Temuan awal tersebut diterbitkan dalam jurnal medis Lancet awal pekan ini, dengan efek vaksin diukur dengan jumlah antibodi dan Sel-T yang dihasilkannya dalam darah sukarelawan.
Temuan ini sangat menjanjikan, namun masih terlalu dini untuk mengetahui apakah hasil ini cukup untuk menawarkan perlindungan sepenuhnya. Karena itulah, ujicoba skala lebih besar telah dimulai di Brasil dan Afrika Selatan.
Vaksin eksperimental yang disebut dengan ChAdOx1 nCoV-19 itu dikerjakan oleh para peneliti di Universitas Oxford secepat dan seakurat mungkin sambil berpacu dengan waktu.
Setelah ujicoba "imunisasi" terbaru ini dilakukan, para relawan yang terlibat akan ditindaklanjuti selama delapan minggu ke depan. Belum diketahui apakah tingkat tinggi antibodi yang dihasilkan akan bertahan setidaknya selama enam bulan atau tidak.
Selain itu, ada juga pertanyaan yang masih harus dicari jawabannya, seperti apakah vaksin eksperimental itu akan bekerja pada orang yang lebih tua, mengingat sistem kekebalan tubuhnya berfungsi kurang baik daripada orang yang lebih muda.
"Sistem kekebalan tubuh memiliki dua cara untuk menemukan dan menyerang patogen, yakni respon antibodi dan sel-T. Vaksin ini dimaksudkan untuk menginduksi keduanya, sehingga dapat menyerang virus ketika beredar di dalam tubuh, serta menyerang sel-sel yang terinfeksi," kata penulis utama penelitian itu, Prof Andrew Pollard.
"Kami berharap ini berarti sistem kekebalan tubuh akan mengingat virus, sehingga vaksin kami akan melindungi orang untuk jangka waktu yang lama. Namun, kami perlu penelitian lebih lanjut sebelum kami dapat mengonfirmasi bahwa vaksin tersebut secara efektif melindungi terhadap infeksi Sars-CoV-2, dan untuk berapa lama perlindungan berlangsung," sambungnya, seperti dikabarkan
The Guardian (Senin, 20/7).
Sementara itu, dikabarkan
BBC, vaksin ini dibuat dari virus yang direkayasa secara genetika yang menyebabkan pilek pada simpanse. Virus itu juga telah banyak dimodifikasi, sehingga tidak dapat menyebabkan infeksi pada orang dan juga membuatnya "terlihat" lebih mirip virus corona.
Para ilmuwan kemudian mentransfer instruksi genetik untuk "spike protein" virus corona ("alat" penting yang digunakannya untuk menyerang sel-sel tubuh) ke vaksin yang mereka kembangkan. Hal itu berarti, vaksin menyerupai virus corona dan sistem kekebalan tubuh dapat belajar bagaimana cara menyerangnya.
Vaksin eksperimental ini bekerja pada dua fokus utama, yakni antibodi dan Sel-T pada tubuh manusia.
Antibodi adalah protein kecil yang dibuat oleh sistem kekebalan yang menempel pada permukaan virus. Antibodi netralisasi dapat menonaktifkan virus corona.
Sementara Sel-T adalah sejenis sel darah putih yang membantu mengoordinasikan sistem kekebalan tubuh dan mampu mengenali sel-sel tubuh mana yang telah terinfeksi dan menghancurkannya.
Hampir semua vaksin yang diujicobakan tersebut efektif menginduksi respon antibodi dan Sel-T.