Industri Kimia Ngarep Insentif

Agar Bersaing Dengan Produk China

Selasa, 22 Mei 2018, 09:16 WIB
Industri Kimia Ngarep Insentif
Foto/Net
rmol news logo Industri kimia dalam negeri berharap pemerintah memberikan insentif. Hal ini diperlukan agar industri kimia mampu bersaing den­gan produk impor.

Ketua Asosiasi Kimia Dasar Anorganik Indonesia Michael Susanto Pardi mengatakan, per­lu adanya insentif dari pemerin­tah agar ada investasi baru dan ekspansi kapasitas dari industri kimia eksisting. "Sehingga me­menuhi kebutuhan industri hilir seperti makanan dan minuman, tekstil, kertas, otomotif, dan lain-lain," ujarnya di Jakarta, kemarin.

Menurutnya, insentif untuk industri kimia saat ini baru bisa dinikmati oleh industri kimia skala besar. Diharap­kan ke depannya bisa lebih merata lagi.

"Industri skala menengah tidak bisa menikmati fasilitas seperti tax allowance, BM­DTP (Bea Masuk Di Tang­gung Pemerintah)," ujarnya.

Menurut dia, industri kimia Indonesia seringkali juga terancam oleh bahan kimia impor. Khususnya dari China yang jauh lebih murah, kar­ena skala ekonomi atau skala produksi industri kimia China yang jauh lebih besar.

"Industri kimia adalah indus­tri dasar atau ibu dari semua in­dustri hilir, sehingga kelangsun­gan, kepastian dan kelancaran sangat penting untuk ketahanan nasional," katanya.

Apabila produksi industri kimia dalam negeri berkurang atau terganggu, maka Indo­nesia akan tergantung ke­pada bahan baku kimia impor. Ujung-ujungnya apabila in­dustri hilir di Indonesia tidak mendapatkan pasokan bahan baku, maka terjadi kekuran­gan barang jadi seperti tekstil, plastik, air bersih, dan lain-lain. Selanjutnya akan terjadi perlambatan manufaktur di Indonesia.

Kementerian Perindustrian (Kemperin) mencatat, sampai kuartal I-2018 industri kimia turun 12 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Dirjen Industri Kimia Tek­stil dan Aneka Kemenperin Achmad Sigit Dwiwahjono mengatakan, ketergantungan industri kimia baik kimia dasar maupun petrokimia terhadap bahan baku impor menyebabkan pertumbuhan minus tersebut. "Selama ini beli pakai dolar karena impor, sementara saat ini rupiah me­lemah jadinya ada kenaikan biaya," ujarnya.

Sigit mencontohkan, untuk industri petrokimia, sekitar 90 persen kebutuhan bahan baku industri kimia berasal dari impor. "Nilainya setiap tahun hampir Rp 20 triliun lebih (impor bahan baku)," ujar Sigit.

Oleh karena itu, Kemen­perin berusaha mendorong sektor hulu dari industri kimia ini. Seperti kawasan Bintuni, atau Nafta Cracker-nya Chandra Asri dan Lotte Chemical. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA