Kepala Departemen KebiÂjakan Ekonomi dan Moneter BI Dody Budi Waluyo mengatakan, keputusan tersebut telah memÂpertimbangkan kondisi internal dan eksternal saat ini. Kebijakan tersebut juga konsisten dengan kebijakan ekonomi makro.
"Kebijakan tersebut konsisÂten dengan terjaga stabilitas ekonomi, dan tetap mempertimÂbangkan kondisi ekonomi global dan nasional saat ini," jelasnya di Jakarta, kemarin.
Keputusan itu juga, sambung Dody, mempertimbangkan tingÂkat suku bunga acuan bank senÂtral Amerika Serikat (AS),
The Federal Reserve (FFR) yang naik 25 basis poin ke kisaran 1,25-1,5 persen pada Desember 2017.
Di samping itu, kondisi ekonomi negara-negara lain juga turut menÂjadi pertimbangan BI. Dody meÂnyebut, kondisi ekonomi negara di kawasan Eropa yang diperkirakan akan pulih, Jepang yang melambat, serta China yang turut melambat menjadi pertimbangan BI.
Dari sisi domestik, keputusan BI mempertimbangkan beberapa hal. Pertama, pertumbuhan ekonomi yang diperkirakan berada di kisaÂran 5,1 persen pada tahun lalu. Hal ini ditopang oleh kinerja ekspor dan investasi, meski konsumsi rumah tangga belum pulih.
Kedua, tingkat inflasi yang berada di angka 3,61 persen seÂcara tahunan (
year-on-year/yoy) pada 2017. BI melihat, inflasi didukung oleh kestabilan harga dan koordinasi yang cukup kuat antara BI dan pemerintah pusat serta pemerintah daerah. Untuk tahun ini, BI memasang target inflasi di angka 3,5 persen plus minus 1,0 persen.
Ketiga, posisi surplus neraca dagang Indonesia yang mencapai 11,84 miliar dolar AS (Rp 157,9 triliun) pada 2017 atau lebih tinggi dari 2016 sebesar 8,78 milÂiar dolar AS (Rp 117,16 triliun). Kegiatan ekspor pun dilihat akan tetap positif karena didukung pertumbuhan ekonomi global dan kenaikan harga komoditas.
Adapun, repo rate terakhir kali mengalami perubahan pada AgusÂtus dan September 2017, di mana BI menurunkan tingkat suku bunga acuan sebesar 25
basis poin (bps) per bulannya, sehingga secara kuÂmulatif telah turun sekitar 50 bps. Sejak awal 2016 hingga saat ini BI telah menurunkan repo rate secara bertahap hingga 200 bps.
Namun selama Oktober, NoÂvember, dan Desember 2017, BI kembali menahan tingkat suku bunganya itu. Hal ini guna meÂnanggapi langkah kenaikan FFR pada Desember kemarin.
Menurut Kepala Eksekutif Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Fauzi Ichsan, FFR yang akan naik dari 1,5 persen pada 2017 menjadi 2,5 persen pada 2018, menjadi pertimbangan bank sentral dalam mempertahÂankan suku bunga acuan.
Fauzi melihat, bank sentral Eropa (
European Central Bank/ECB) diproyeksi tetap akan mempertahankan tingkat suku bunganya di angka nol persen. Begitu pula dengan bank sentral Jepang (
Bank of Japan) akan mempertahankan suku bunga di angka minus 0,1 persen dan bank sentral China (
People's Bank of China) di angka 4,35 persen.
"Kami pantau empat bank sentral tersebut karena ekonomi AS, EroÂpa, Jepang, dan China mencakup kurang lebih 68 persen dari ekonoÂmi dunia. Makanya, kami melihat rencana kenaikan suku bunga The Fed, tapi di sisi lain bank sentral akan tetap mempertahankan tingkat suku bunganya," imbuhnya.
Ekonom dari
Institute for Economic and Development Finance (Indef) Eko Listiyanto menilai, sebenarnya masih ada ruang untuk BI ini menurunkan suku bunganya. Hal ini didasari nilai tukar Rupiah yang menguat di kisaran Rp 13.300 per dolar Amerika Serikat (AS) cadangan devisa yang mencapai 130 miliar dolar AS(Rp 1.734,7 triliun), serta inflasi sepanjang 2017 yang terjaga di 3,61 persen.
"Sebenarnya kalau dilihat perkembangan berbagai indikaÂtor makro ada ruang penurunan, katakanlah 25 bps, saya rasa ada peluang. Tapi memang ada faktor pertimbangan lain, mengapa BI menahan suku bunga acuannya," tuturnya kepada
Rakyat Merdeka. Namun, katanya, dengan melihat risiko global maka akan menjadi pertimbangan bagi BI untuk cendÂerung membuat suku bunganya dipertahankan. Risiko global yakni gejolak harga komoditas minyak yang masih dalam tekanan tinggi, serta politik AS yang saat ini juga tengah memanas akibat beberapa kebijakan yang dikeluarkan PresiÂden AS Donald Trump. ***