Berdasarkan kurs refÂerensi
Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) kemarin, rupiah berada di level Rp 13.529 per dolar AS, terdepresiasi 0,21 persen dari Senin atau melemah 29 poin dari posisi Rp 13.500 pada Jumat (3/11).
Menurut Wakil Direktur
InÂstitute for Development of EcoÂnomics and Finance (Indef) Eko Listiyanto, dalam jangka pendek hingga akhir tahun, rupiah sebetÂulnya masih berpotensi melemah di kisaran Rp 13.500 hingga Rp 13.600 per dolar AS.
Penyebabnya, sambung Eko, risiko fiskal yang meninggi lanÂtaran potensi penerimaan pajak yang rendah. Sedangkan dari eksternal, ada ekspektasi pasar mengenai rencana kenaikan suku bunga
The Fed pada Desember 2017 mendatang.
"Apalagi kalau nanti akhir taÂhun penerimaan pajak di bawah 90 persen, risikonya besar. Dana asing keluar-masuk masih akan ada," jelasnya kepada
Rakyat Merdeka. Hingga September 2017, penÂerimaan pajak baru mencapai Rp 770 triliun atau 60 persen dari target Rp 1.283,6 triliun. Namun, menurut Eko, risiko tersebut dapat diredam jika pertumbuhan ekonomi kuartal ketiga tahun ini bagus.
Dari sisi Bank Sentral, Eko menilai, Bank Indonesia (BI) sebetulnya masih punya bantaÂlan yang kuat jika rupiah meÂlemah pada akhir tahun nanti. Sebab, cadangan devisa (cadev) Indonesia mencapai 129,4 miliar dolar AS (Rp 175,09 triliun) pada September lalu.
Angka tersebut adalah rekor cadangan devisa tertinggi yang pernah diraih Indonesia sepaÂnjang sejarah. "Tampaknya, (Presiden AS Donald) Trump memilih Jerome Powell (sebaÂgai Gubernur
The Fed) karena dia lebih bisa diajak bekerja sama untuk kebijakan moneter yang mengarah pada perbaikan ekonomi AS," tuturnya.
Meski begitu, Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa KeuanÂgan (OJK) Wimboh Santoso mengatakan, pihaknya belum melihat potensi pelemahan nilai tukar rupiah sebagai risiko yang bakal mengancam kestabilan industri keuangan dalam waktu dekat. Sebab, saat ini, Indonesia dinilai memiliki bantalan cadev yang cukup besar mencapai 129,4 miliar dolar AS.
Menurut Wimboh, posisi cadev pada akhir September 2017 tersebut cukup untuk memÂbiayai 8,9 bulan impor atau 8,6 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar tiga bulan impor.
"Nilai tukar rupiah itu kan dikelola dengan memiliki cadangan devisa yang cukup. Tapi memang, tantangan ekonoÂmi dan sektor jasa keuangan ke depan adalah normalisasi kebiÂjakan moneter negara maju," katanya
Wimboh kemudian menyebut, rencana kenaikan suku bunga acÂuan AS. Kebijakan itu dinilainya berpotensi memicu keluarnya aliran modal (
capital outflow) di negara berkembang, termasuk Indonesia. Namun demikian, Wimboh mengingatkan, kondisi industri jasa keuangan saat ini sudah lebih baik dibandingkan beberapa tahun terakhir.
Namun bekas Kepala BI New York ini menjamin, likuiditas perbankan bisa dibilang mencuÂkupi. Per September 2017, rasio pinjaman terhadap simpangan ada di kisaran 88,74 persen atau sudah lebih rendah dibandingÂkan posisi tahun lalu yang masih berkisar 90 persen.
"Pasar lebih likuid. Bank-bank punya likuiditas yang besar dan rasio kredit bermasalah (
non performing loan/NPL) sudah mulai menurun," ujarnya.
Terpisah, Gubernur BI Agus DW Martowardojo mengatakan, pelemahan rupiah dan mata uang lain di dunia pada beberapa minÂggu terakhir merupakan imbas dari dinamika perekonomian AS. Rencana pemerintah AS meÂmangkas tarif pajak memberikan optimisme pada perkembangan ekonomi AS. Kemudian, peluÂang
The Fed menaikkan suku bunga acuannya di akhir tahun juga semakin besar berdasarkan sinyal terakhir yang diberikan ke pasar.
Agus mengatakan, saat ini, terdapat tantangan dari global, Agus menilai, stabilitas perekoÂnomian domestik masih terjaga. Hal itu bisa terlihat dari indikaÂtor makro seperti tingkat inflasi yang rendah di level 0,01 persen pada Oktober 2017.
Selain itu, peringkat kemuÂdahan berusaha (EoDB) 2018 Indonesia berdasarkan Survei Bank Dunia juga meningkat 19 peringkat ke posisi 72. Terlebih, Indonesia saat ini juga telah menÂgantongi predikat layak investasi dari tiga lembaga pemeringkat
internasional, Fitch's, Moody's dan
Standard & Poor's. Dari sisi fiskal, pemerintah juga berkomitmen mengelola anggaran dengan lebih baik, sehingga sejalan dengan upaya menjaga stabilitas perekonomian dan keuangan domestik.
"APBN 2018 juga sudah dipuÂtus dan pertumbuhan ekonomi di 2018 akan menjadi 5,4 persen. Defisit anggarannya kalau tahun ini 2,67 persen, tahun depan akan di 2,19 persen jadi menunÂjukkan pengelolaan fiskal yang lebih baik," tandasnya. ***
BERITA TERKAIT: