Anggota Dewan Komisioner Bidang Edukasi dan PerlindunÂgan Konsumen OJK KusumanÂingtuti S Soetiono menjelaskan, salah satu modus yang banyak diadukan masyarakat adalah surat pembebasan utang. Ia bilang, moÂdus baru tersebut jelas merugikan pihak debitor maupun lembaga keuangan, dalam hal ini adalah perbankan.
"Ini menjadi distorsi hubungan antara bank maupun debitor, yang nantinya jelas merugikan masyarakat. Kalau dibiarkan bisa menimbulkan moral hazÂard. Satu sisi juga mengganggu inklusi keuangan. Karena itu kami berusaha mempertemukan orang-orang yang unbankable untuk bisa menjangkau fasilitas perbankan," terang wanita yang akrab disapa Tituk ini di Jakarta, kemarin.
Tituk mengatakan, sebagai langkah preventif, OJK telah melakukan upaya peningkatan kesadaran masyarakat terhadap praktik serta karakteristik inÂvestasi, khususnya yang tidak memiliki kejelasan legalitas. OJK menggelar sosialisasi, edukasi dan pemberian informasi melalui iklan layanan masyarakat (ILM) secara masif, konsisten dan terÂprogram.
Sepanjang 2013 hingga 2016, OJK mencatat sebanyak 801 informasi dan pertanyaan dari masyarakat mengenai 484 entitas yang diduga melakukan kegiatan investasi yang tidak jelas aspek legalitasnya, serta tidak berada di bawah pengawasan OJK.
Dari jumlah entitas tersebut, 217 entitas di antaranya dapat ditindaklanjuti melalui monitorÂing dan pengamatan di lapangan secara bertahap, sementara siÂsanya sejumlah 267 entitas tidak dapat ditindaklanjuti karena terbatasnya informasi.
Deputi Komisioner ManajeÂmen Strategis OJK Hendrikus Ivo menambahkan, modus baru terseÂbut terdeteksi di beberapa daerah seperti Makassar, Palu, Malang, dan Papua. Ivo menjelaskan, dalam modus koperasi pelunasan utang ini, perusahaan meminta masyarakat menjadi anggota koperasi terlebih dahulu.
"Beberapa debitor bank yang punya masalah (utang) diminta mendaftar. Kalau sudah menjadi anggota, dia dituntut membayar sejumlah biaya. Kemudian merÂeka (koperasi) mengeluarkan tanda surat lunas dari bank temÂpat si debitor mengambil kredit. Sehingga terjadi distorsi antara masyarakat dengan pihak bank," kata Ivo.
Perusahaan invetasi bodong tersebut, lanjut Ivo, mengaku telah berkoordinasi dengan pihak terkait termasuk enam bank utama. Mereka juga mengklaim memiliki surat utang berharga dari Bank Indonesia (BI).
"Kasus ini sedang ditangani. Sudah kami cek dan itu bohong (punya surat berharga dari BI). Proses penyelidikannya belum bisa diungkap karena ada yang harus kita jaga. Tentunya kita juga perlu memperhatikan baÂgaimana dana yang telah disÂalahgunakan itu dikembalikan kepada nasabah, sehingga butuh penanganan yang lebih baik. Harus ada proses pelindungan konsumen. Serahkan penegak hukum untuk menyelesaikan," ujar Ivo, yang enggan menyebut nama perusahaan maupun kopÂerasi tersebut.
Terkait berapa besar potensi kerugian yang ditaksir, Ivo biÂlang belum bisa menyebutkan secara pasti. Ini lantaran pihak perusahaan terkait belum dimÂintai konfirmasinya. "Karena OJK butuh data juga dari pihak yang bersangkutan. Nanti kami konfrontir dengan nasabah. RenÂcananya dalam waktu dekat akan kami panggil," ujarnya.
Untuk mencegah agar modus tersebut tak berkembang secara liar, Ivo menegaskan, OJK akan menambah kerja sama dengan empat lembaga lainnya yakni, Bank Indonesia (BI), Pusat PeÂlaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) terkait peÂnelusuran aset, Kementerian Agama (Kemenag) terkait dana umroh dan haji, serta KementeÂrian Dalam Negeri (Kemendagri) terkait masalah izin yang diberiÂkan Pemerintah di daerah.
"Nanti OJK yang memberikan rekomendasi ke lembaga yang berwenang. Penindakan jelas masuk ke ranah hukum. Tapi kalau ingin memenuhi persyaraÂtan, mereka bisa menjadi legal," katanya.
Ivo mencatat, saat ini ada sekiÂtar 80 entitas perusahaan yang disinyalir merupakan perusahaan yang menawarkan investasi ileÂgal. Kemungkinan jumlah itu pun akan terus bertambah.
Di sisi lain, OJK melakukan upaya pencegahan dan penindaÂkan investasi yang tidak memiÂliki izin ini melalui pembentukan Satuan Tugas Waspada Investasi (SWI) di daerah sebagai tindak lanjut pembentukan SWI di kanÂtor pusat. ***
BERITA TERKAIT: