Salah satu penyebabnya adalah adanya program mobil murah alias LCGC (
low cost and green car).
Ketua Umum Masyarakat TransÂportasi Indonesia (MTI) Danang Parikesit mengatakan, kebeÂraÂdaan mobil murah alias LCGC teÂlah mengakibatkan negara keÂhilangan potensi tambahan peÂnerimaan pajak. Berdasarkan perhitungan lembaganya, menunÂjukkan adanya kehilangan peÂnerimaan pajak sebesar Rp 20 juÂta per unit mobil.
Apalagi, permintaan terhadap mobil murah tersebut sangat tinggi. Saat ini jumlahnya menÂcapai 300 ribu unit atau kurang lebih sama dengan estimasi dari Kementerian Perindustrian. “MaÂka, kehilangan pajaknya bisa mencapai Rp 6 triliun. Ini berÂdaÂsarkan perhitungan Rp 20 juta dikalikan jumlahnya 300 ribu unit,†ujar Danang kepada
Rakyat Merdeka, di Jakarta.
Untuk diketahui, kebijakan LCGC didasari oleh Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2013 tentang barang kena pajak yang tergolong mewah berupa kendaraan bermotor yang dikenai pajak penjualan atas barang meÂwah ditetapkan untuk menÂduÂkung kemandirian industri kenÂdaraan bermotor roda empat. PaÂda Pasal 3 ayat 1 poin c diseÂbutÂkan, dasar pengenaan pajakÂnya dihitung nol persen dari harga jual.
Kerugian itu, lanjut Danang, belum memperhitungkan damÂpak BBM subsidi. Menurut dia, banyak mobil murah yang masih menggunakan BBM subsidi. Padahal, dalam aturannya mobil murah hanya boleh mengÂgunaÂkan bahan bakar gas.
“Ini berarti ada penambahan kuota BBM subsidi. dari yang tadinya menggunakan motor menjadi menggunakan mobil. Jika dihitung dengan pajak dan subsidi totalnya menjadi Rp 10 triliun,†katanya.
Dia mengatakan, program mobil murah juga salah kaprah. Menurut dia, jika pemerintah ingin mengeluarkan mobil murah maka yang harus diberikan inÂsentif adalah industri komponen dan logamnya. Dengan begitu, lanjutnya, biaya produksi akan murah dan bisa menekan harga.
“Bukan seperti sekarang, diÂmana pemerintah memberikan inÂsentifnya ketika sudah jadi deÂngan pemotongan pajak. HaÂrusÂnya industrinya yang diberikan insentif sehingga biaya proÂdukÂsinya bisa murah,†tukasnya.
Dia mendukung, rencana preÂsiden terpilih Jokowi-JK untuk mengevaluasi kebijakan mobil murah. Menurutnya, yang perlu didorong ke depan adalah menÂciptakan angkutan umum yang murah dan nyaman. Hal ini untuk mendorong masyarakat beralih menggunakan angkutan umum.
Dirjen Pajak Kementerian Keuangan Fuad Rahmany memÂperkirakan, realisasi penerimaan negara dari pajak tahun ini tidak mencapai target Anggaran PenÂdapatan dan Belanja Negara (APBN) sebesar Rp 1.072,3 triliun. Dia mengatakan, peneÂriÂmaan pajak hingga akhir tahun hanya bisa mencapai 94 persen dari target. “Mudah-mudahan 94 persen tercapai,†cetusnya.
Menurut Fuad, kegagalan menÂcapai target itu juga tidak lepas dari kendala klasik seperti masih sedikitnya jumlah Sumber Daya Manusia pada Ditjen Pajak diÂbanding jumlah wajib pajak. Sekarang jumlah pegawai Ditjen Pajak hanya 33 ribu orang.
Padahal, kata dia, terdapat poÂtensi 60 juta wajib pajak priÂbadi, namun baru 40 persenÂnya atau sekitar 25 juta yang patuh memÂbayar pajak. SemenÂtara, dari lima juta unit badan usaha, baru 11 persen atau 550 ribu yang taat memÂÂbayar pajak.
Fuad juga sebelumnya meÂngatakan, masih belum makÂsimalnya penerimaan pajak juga disebabkan oleh berkurangnya penerimaan Pajak Penjualan BaÂrang Mewah (PPnBM). PoÂtenÂsi peÂnerimaan dari PPnBM juga seÂmakin sulit digali, setelah haÂdirnya mobil murah ramah lingkungan (
low cost and green car/LCGC) yang dibebaskan dari PPnBM.
“LCGC tidak ada PPnBM-nya. Sehingga orang beralih membeli dari yang tadinya mobil mewah menjadi mobil murah. Tapi tidak apa-apa, dari sisi ekonominya bagus karena masyarakat bisa beli mobil murah,†kata Fuad. Penerimaan pajak sendiri hingga 30 September 2014, penerimaan pajak baru mencapai 64 persen atau Rp 688,054 triliun.
Sebelumnya, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) berÂharap pemerintahan Jokowi-JK untuk mengkaji kembali usulan penghapusan program mobil murah. ***