315 Pasar Tradisional Mengalami Konflik

Akibat Pembangunan Ritel Modern

Senin, 18 Agustus 2014, 09:10 WIB
315 Pasar Tradisional Mengalami Konflik
ilustrasi
rmol news logo Pasar tradisional di seluruh Indonesia berada dalam ancaman serius. Bahkan bisa hilang dalam 10 tahun mendatang jika tidak didukung kebijakan yang memihak.

“Kalau dibiarkan dan tidak ada perubahan kebijakan yang mendorong bagi perbaikan manajemen maka dalam satu dekade mendatang posisi pasar tradisional akan habis digerus oleh merek pasar asing,” kata Ketua Asosiasi Kader Sosio Ekonomi Strategis (Akses) Suroto.

Pihaknya memantau pasar tradisional dalam perkembangan satu dekade ini telah mengalami penyusutan volume bisnis. Suroto memastikan, penetrasi pasar modern terhadap pangsa pasar tradisional sudah mencapai hampir 50 persen.

Padahal pasar tradisional ini fungsinya cukup strategis karena selain membuka lapangan kerja bagi banyak orang, juga berfungsi untuk pemasaran industri rumah tangga makanan olahan, petani dan peternak skala kecil, serta perajin.

Oleh karena itu, dia berharap pemerintah mendatang mampu memberikan prioritas penting pada keberadaan pasar tradisional. Harus ada perombakan manajemen besar-besaran mulai dari manajemen tata ruang, pembangunan hingga operasionalnya.

“Saya berharap presiden mendatang bisa mengambil alih persoalan ini sebagai persoalan nasional karena ini sudah menyangkut persoalan bangsa secara luas, bukan hanya masalah dagang semata. Kalau perlu alokasikan dana besar-besaran dari APBN,” katanya.

Menurut Suroto, para pedagang mestinya diberikan harga sewa kios yang murah. Namun, dengan prasyarat jaminan kualitas produk dan manajemen sampai dengan komitmen alokasi gaji layak untuk pekerjanya.

Selain itu, segmentasi pasar tradisional yang sudah terbangun kuat citranya selama ini juga perlu terus dipertahankan. Kalau perlu diposisikan ulang oleh konsultan manajemen profesional.

Sekjen Ikatan Pedagang Pasar Tradisional Indonesia (Ikappi) Tino Rahardian mengungkapkan, tercatat 315 pasar tradisional mengalami konflik dan pembakaran sepanjang 2013. Konflik tersebut didasari kebijakan revitalisasi yang diberlakukan pemerintah daerah.

Tino mengaku pemerintah daerah sering berlaku sewenang-wenang dengan dalih revitalisasi pasar. Hal itu dijalankan demi terbangunnya ritel modern di daerah yang bersangkutan.

“Proses revitalisasi dilakukan dengan cara singkat yaitu membakar. Selain itu, intimidasi dan teror masih tetap kami rasakan,” ungkap dia.

Menteri Perdagangan (Mendag) M Lutfi mengatakan, akan mengkaji lebih lanjut efektivitas dari Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 70 Tahun 2013 tentang Pedoman Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern.

Sebab, kata dia, Permendag tersebut sudah tidak sesuai dengan Undang-Undang (UU) Perdagangan Nomor 7 Tahun 2014 yang disahkan beberapa waktu lalu.

“Bukan dicabut tetapi diperbaiki. Namanya jadi pasar rakyat dan swalayan,” kata Lutfi.

Namun, pihaknya tidak berniat mencabut peraturan tersebut. Melainkan akan mengkaji kembali agar sesuai dengan perizinan, investasi dan perdagangan.

“Semangatnya untuk memperbaiki perizinan, investasi dan perdagangan. Jadi semangatnya tidak cocok lagi dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014, makanya kita perbaiki,” jelas bekas Dubes Jepang ini.

Sementara itu terkait istilah pasar tradisional dan pasar modern, dalam Undang-Undang Perdagangan keduanya sudah diganti dengan pasar rakyat dan pasar swalayan. Selain itu, Kemendag juga akan melakukan perbaikan aturan terkait waralaba dan peraturan itu berlaku surut.

Lutfi mengaku sudah menugaskan Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan Srie Agustina dan pengacara dari Sekretariat Negara (Setneg) untuk melakukan pengkajian mengenai revisi Permendag No.70/2014. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA