Menteri ESDM Jero Wacik mengatakan, program-program penghematan BBM subsidi yang sebelumnya dikeluarkan pemerintah tidak jalan karena mengalami kesulitan di lapangan. Artinya, berbagai program penghematan BBM yang digagas oleh Jero Wacik hanya sekadar teori.
“Kita kaji segala alternatif, ada pikiran tapi belum bisa dijalankan, seperti pengurangan
nozzel BBM subsidi, pembelian
non cash, penerapan pembelian BBM subsidi saat libur (Sabtu/Minggu),†ujar Wacik saat
launching pemanfaatan biodesel 20 persen di Gedung Kementerian ESDM, kemarin.
Menurut Wacik, sangat mudah untuk membuat aturan pengurangan BBM subsidi dan bisa langsung dibuat peraturannya. Tapi yang perlu dipikirkan adalah dampaknya di lapangan, karena itu pemerintah selalu melakukan kajian sebelum menetapkan kebijakan.
“Gampang bikin aturan bisa saja besok langsung diteken peraturannya, tapi begitu jalan bisa berkelahi itu antara supir dan petugas SPBU (Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum). Si supir bilang mobil ini kapasitas mesinnya (cc) sekian, tapi petugas bilangnya cc-nya sekian. Ribut itu,†jelasnya.
Karena itu, kali ini Wacik lebih mendorong penerapan biodiesel 20 persen (B20) untuk kendaraan bermotor dan alat berat. Program ini diklaim bisa mengurangi penggunaan BBM subsidi. Dengan kebijakan ini diharapkan bisa mengurangi impor solar, bisa meningkatkan petani lokal karena bahan bakunya asli dari Indonesia.
Menteri asal Partai Demokrat ini meminta instansi terkait, salah satunya Gabungan Industri Kendaraan Indonesia (Gaikindo) mendukung aksi pemerintah ini.
“Saya senang ada Gaikindo yang dukung acara ini, tapi jangan cuma jual mobil saja. Itu pakai BBM, itu impor dan impor kita besar, ya harus pikir juga,†ujarnya.
Wacik berharap Gaikindo tidak menjual mobil dengan kapasitas boros BBM.
Pasalnya, jika mobilnya boros akan membebani subsidi BBM. Selain itu, dia juga meminta Himpunan Alat Berat Indonesia (Hinabi) yang ikut dalam program ini memaksa anggotanya menggunakan biodiesel.
Dia mengatakan, di lapangan ada truk perkebunan, pertambangan yang masih gunakan solar. “Itu beli solar subsidi, bayangkan perusahaan besar untung triliunan, tapi negara beri subsidi,†ucapnya.
Padahal, kata dia, kendaraan alat berat bisa menggunakan solar non subsidi karena wilayah cakupannya hanya di hutan dan sudah dilarang membeli BBM subsidi.
“Itu sudah ada aturannya. Makanya dengan ini pakai biofuel 20 persen.
Perfomance akan oke, bau-bau minyak goreng dikitlah, nggak apa-apa,†cetusnya.
Wacik juga mengaku subsidi BBM sudah tidak tepat sasaran. Biaya untuk BBM subsidi jenis premium sebesar Rp 10.500 per liter, tapi pemerintah menjualnya Rp 6.500 per liter. “Itu disubsidi, mending yang beli orang nggak mampu yang sesuai dengan undang-undang. Tapi ini yang beli yang punya mobil Land Cruiser, mobilnya lima,†tegasnya.
Wakil Menteri ESDM Susilo Siswoutomo menargetkan, dengan adanya penambahan mandatory Bahan Bakar Nabati (BBN) ini sesuai Permen ESDM Nomor 25 Tahun 2013. Langkah ini diharapkan bisa menghemat devisa dua kali lipat dari penerapan mandatory BBN sebelumnya yang sebesar 10 persen atau menghemat 3,11 miliar dolar AS tahun ini.
“Kita impor BBM solar, yang subsidi saja 16 juta kiloliter (KL), itu belum termasuk yang non subsidi. Jadi kalau 20 persen biodiesel dari 16 juta KL itu dicampur jadi 3,2 juta KL atau 2,3 miliar liter bisa dihemat,†terangnya.
Kendati begitu, dirinya belum bisa memastikan angka penghematan dari pencampuran biodiesel 20 persen karena masih tahap uji coba. ***