Kepala Bidang Hukum dan Humas Badan Karantina PertaÂnian Kementan Eddy Purnomo mengatakan, jumlah penyeÂlunÂdupan daging celeng selama RaÂmadan dan menjelang LeÂbaran terus mengalami lonjakan. BahÂkan untuk tahun ini jumÂlahnya meningkat 200 persen dibanding tahun lalu.
“Perdagangan daging celeng ilegal ini seperti ada sindikatnya. Karena berkali-kali ditangkap, berkali-kali itu juga tidak pernah terungkap. Siapa yang suplai dan siapa yang memesan daging ceÂleng ini,†katanya, kemarin.
Apalagi, kata Eddy, setiap peÂlaku lapangan yang ditangkap meÂngaku tiiak tahu siapa yang meÂmasok dan penerima. PelakuÂnya menggunakan sistem beli putus. Dia melihat jaÂringan penyeÂlunÂduÂpan daging ceÂleng banyak, seÂhingga susah sekali mengÂungkap.
Menurutnya, modus penyelunÂdupan daging celeng terus berÂubah. Penyelundupan ada yang lewat pengangkutan bus umum. Selain itu, ada pakai mobil pick up yang muatan dagingnya dituÂtupi kayu dan serbuk kayu serta kelapa.
Eddy mengatakan, kebanyakan kasus yang tertangkap karena laÂporan masyarakat. Kendati beÂgitu, pihaknya terus melakukan pemeriksaan intensif.
Kemarin, Kementan kembali melakukan pemusnahan terhadap daging celeng sebanyak 7,4 ton. Total daging celeng yang sudah dimusnahkan sejak Januari-Juli 2014 mencapai 43,7 ton atau naik 240 persen dibanding sepanjang tahun lalu yang hanya 12,8 ton.
Wakil Menteri Perdagangan (Wamendag) Bayu Krisnamurthi mengatakan, salah satu faktor maraknya peredaran daging ceÂleng oplosan di pasar lantaran miÂÂnimnya pengetahuan pedaÂgang tentang daging.
Menurut dia, kebanyakan peÂdagang sulit membedakan daging sapi asli dengan daging sapi yang sudah dioplos daging celeng lanÂtaran bentuknya hampir sama.
Bayu menduga pasokan daging celeng atau babi hutan berasal dari Sumatera Selatan. Apalagi cukup sulit membedakan daging babi huÂtan dengan babi biasa.
“Kalau daÂging celeng, tidak akan banyak karena hasil buruan,†jelas Bayu.
Dia mengaku tak ada laÂrangan untuk menjual daging babi. NaÂmun, daging babi jangan dijual dengan diaku sebaÂgai daging sapi. Yang menjadi maÂsalah saat ini adalah penipuan daging babi dijual sebagai daging sapi.
Bayu mengungkapkan, pihakÂnya sudah mengambil sampling daging di 70 lokasi wilayah JaÂbodetabek. Dari 70 lokasi, dicuÂrigai ada 15 lokasi peredaran daÂging celeng oplosan.
“Dari pendalaman itu, kami meÂnguji contoh daging sapi dari lima belas tempat. Dari 15 lokasi itu, ternyata ada satu yang terÂbukti bukan daging sapi,†ungkapnya.
Karena itu, Bayu meminta masÂyarakat tidak tergiur tawaran daging dengan harga yang murah. Sebab, harga daging babi lebih murah dari sapi. Menurutnya, harÂga daging babi ternak dan daÂging sapi masih ada perbedaan Rp 10.000-20.000 per kg.
Perlu Tindakan Hukum TegasKetua Harian YLKI Tulus Abadi menilai, potensi peredaran daging celeng yang dioplos deÂngan daÂging sapi akan semakin meningkat seÂiring meningkatnya permintaan daging menjelang Lebaran.
Kendati begitu, dia mengakui YLKI saat ini tidak memiliki data jumlah pengaduan masyarakat terkait daging oplosan.
“Masyarakat sulit membeÂdaÂkan antara daging sapi betulan dengan daging celeng. Jadi peÂngaduan tidak ada,†katanya.
Menurut Tulus, persoalan daÂging oplosan memerlukan perÂhatian yang cukup besar dari peÂmerintah karena menyangkut keÂpentingan masyarakat yang meÂrupakan konsumen daging sapi.
“Peraturannya sudah jelas, tinggal penegakannya. Perlu ada tindakan dan hukuman yang lebih tegas agar ada efek jera dan perÂedaran ini tidak terjadi,†cetus Tulus.
Sesuai peraturan, pemilik mauÂpun penanggung jawab alat angÂkut dapat disangÂkakan Pasal 31 UU Nomor 16/1992 tentang KaÂrantina Hewan, Ikan dan TumÂbuhan dengan piÂdana penjara paling lama 3 tahun dan denda paling banyak Rp 150 juta. ***