Dirjen Pajak Minta Pusat & Daerah Tidak Mengeluarkan Izin Tambang

Banyak Gunakan NPWP Fiktif, Penerimaan Negara Bocor Ke Luar Negeri

Sabtu, 05 Juli 2014, 10:00 WIB
Dirjen Pajak Minta Pusat & Daerah Tidak Mengeluarkan Izin Tambang
ilustrasi
rmol news logo Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian mengakui adanya potensi kebocoran penerimaan pajak dari sektor pertambangan. Kebocoran tersebut hingga triliunan rupiah.

“Bukan hanya penerimaan negara yang hilang tapi jangan lupa, tambang-tambang kita bo­cor ke luar negeri tanpa dike­tahui oleh kita,” tegas Dirjen Pajak Fuad Rahmany seusai pertemuan di kantor KPK, kemarin.

Namun, ketika ditanya berapa angka kebocoran dari sektor mi­nerba itu, Fuad mengaku angka itu belum bisa disebutkan. “Kita belum tahu bocornya berapa. Ya angkanya triliunan,” akunya.

Selain itu, pihaknya juga me­minta pemerintah pusat dan daerah tidak mengeluarkan izin usaha tambang dulu. Alasannya, ma­sih banyak perusahaan tam­bang yang menunggak pajak.

Menurut Fuad, Izin Usaha Per­tam­bangan (IUP) harus dihen­tikan sementera hingga semua Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) pemegang izin tambang yang ada saat ini diregistrasi ulang.

Fuad mengaku, selama ini banyak perusahaan yang me­miliki NPWP fiktif. Namun, pihaknya tidak bisa menutup izin perusahaan tambang yang punya NPWP fiktif tersebut.

“Selama ini NPWP-nya pada ngarang. Tapi kan kita nggak bisa melarang, nggak bisa menutup izinnya. Yang bisa tutup itu hanya yang memberikan izin, yaitu Pemda,” jelasnya.

Dia mengatakan, NPWP pe­ngu­saha tambang harus ditertib­kan dan diregistrasi ulang. Jika belum diregistrasi, maka usaha tam­bangnya harus di-stop semen­tara. Langkah ini dilakukan su­paya pendapatan negara tidak bocor.

Fuad menjelaskan, ada potensi kehilangan penerimaan negara triliunan rupiah jika pengelolaan pajak terkait pertambangan tidak segera diperbaiki.

Karena itu, Ditjen Pajak perlu melakukan validasi NPWP peng­elola izin tambang. Untuk itu, pemerintah pusat dan daerah terutama daerah perlu  lebih ketat lagi dalam menerbitkan izin pengelolaan tambang.

Nah, untuk mengantisipasi kebocoran negara di sektor tam­bang, Fuad bilang, pihaknya meng­gandeng Komisi Pembe­rantasan Korupsi (KPK).

“Ini diskusi terusan tahun lalu. Kami pernah diskusi soal pertam­bangan, bagaimana memperbaiki tata kelola sektor pertambangan sehingga penerimaan negara tidak hilang,” katanya.

Berdasarkan data KPK, dari 3.826 pemegang IUP, hampir 25 persen atau 724 pengusaha tidak punya NPWP, bahkan pemegang IUP yang statusnya clean and clear juga tidak punya NPWP.

Wakil Ketua KPK Adnan Pandu Praja mengungkapkan, KPK pernah melakukan kajian tentang optimalisasi penerimaan pajak di sektor minerba. Hasil kajian itu, KPK mencatat adanya 3.862 IUP yang dimiliki 3.066 perusahaan. Namun, sebanyak 724 perusahaan tambang batu­bara tersebut tidak mempunyai NPWP
“Dalam studi kita ada banyak temuan yang didapatkan. Perta­ma, belum akuratnya data NPWP pada sektor pertambangan. Ham­pir 25 persen atau 724 pengusaha tidak mempunyai NPWP. Bahkan pemegang IUP yang statusnya clean and clear, tidak punya NPWP,” katanya.

Permasalahan lain yang dite­mukan oleh KPK, lanjut Adnan, adalah kurangnya data pendu­kung berupa jumlah produksi dalam menghitung potensi pajak. KPK menemukan banyaknya perbedaan data terkait jumlah produksi tersebut.

Adnan mencontohkan di tahun 2012, pemerintah merilis data produksi batubara sebanyak 228 juta dolar AS. Sementara data dari World Coal Association 443 juta dolar AS dan data US Energy Infor­mation Product 452 juta dolar AS.

“Akibat dari perbedaan ini, terdapat potensi hilangnya pajak pada tahun 2012 men­capai lebih dari Rp 20 triliun,” ungkap Adnan. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA