Ketahanan Energi Indonesia Tidak Bisa Lebih Dari 30 Hari

Kamis, 03 Juli 2014, 09:28 WIB
Ketahanan Energi Indonesia Tidak Bisa Lebih Dari 30 Hari
ilustrasi, ketahanan energi
rmol news logo Presiden terpilih mendatang diharapkan mampu membuat kebijakan energi yang dapat mengarahkan pertumbuhan ekonomi lebih berdaya saing. Pasalnya, ketahanan energi sangat penting dalam pembangunan.

“Kebijakan energi adalah jantung bagi kebijakan ekonomi. Saat kita mengelola, kita akan mampu mengatasi persoalan ekonomi,” kata Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics Indonesia (Core) Indonesia Hendri Saparini.

Selain itu, sumber daya alam (SDA) adalah modal besar Indonesia untuk melakukan pembangunan. Kekayaaan SDA yang beragam dan melimpah bila dikelola dengan benar akan memberikan manfaat yang banyak.

Hendri mengatakan, Indonesia mengalami kerentanan dan kerapuhan makro ekonomi juga gara-gara energi. Pasalnya, setiap akhir bulan selalu memperhitungkan apakah defisit perdagangan berlanjut atau berhenti.  Itu antara lain karena pengelolaan energi yang tidak benar. Apalagi pengelolaan energi menentukan besarnya biaya subsidi BBM.

“Untuk itu, dalam debat capres cawapres sesi selanjutnya yang mengangkat tema soal energi. Hhal yang paling penting dilihat adalah arah pembangunan energi lima tahun mendatang,” terangnya.

Menurut Hendri, Indonesia sesungguhnya memiliki sumber energi yang besar jika dapat dikelola dengan benar. Manfaatnya pun langsung ke sektor penerimaan negara. Dengan begitu, Indonesia sebenarnya bisa mewujudkan ketahanan energi.

Dia juga mengkritik ketahanan energi Indonesia yang tidak bisa lebih dari 30 hari. Hal itu berbeda dengan negara lain yang notabene tidak memiliki sumber energi justru mampu menjaga ketahanan energi lebih dari 30 hari.

“Contohnya untuk bahan bakar, Indonesia di bawah 30 hari. Ternyata negara lain yang tidak memiliki cadangan dapat bertahan lebih dari 30 hari,” ungkapnya.

Apalagi, pemerintah dinilai masih amatir dalam melaksanakan program konversi BBM ke Bahan Bakar Gas (BBG). Pasalnya, tidak ada blue print yang jelas mengenai rencana jangka panjang kebijakan tersebut.

“Saya sendiri merasa siap untuk menggunakan BBG. Tapi kalau dari dulu, sejak 2006 cuma banyak bicara lalu setiap tahun anggaran untuk membangun infrastruktur tidak terserap di APBN. Lalu, kita mau berharap beralih ke siapa,” ujar Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (Iress) Marwan Batubara.

Karena itu, untuk bisa menarik minat masyarakat menggunakan gas lebih banyak, pemerintah harus melakukannya secara masif dan profesional. Pemerintah bisa melibatkan swasta dan BUMN dengan rujukan yang jelas.

Marwan mengatakan, pengaplikasian converter kit dual energi untuk konversi juga harus diimbangi dengan pengembangan infrastruktur. Ia mengatakan, pemerintah harus segera menambah pembangunan Saluran Pengisian Bahan Bakar Gas (SPBG) di Indonesia. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA