Kenaikan Pajak Barang Konsumsi Sokong Inflasi & Penyelundupan

Jika Diberlakukan Tanpa Penegakan Hukum Yang Tegas

Minggu, 24 November 2013, 09:01 WIB
Kenaikan Pajak Barang Konsumsi Sokong Inflasi & Penyelundupan
ilustrasi, impor barang konsumsi
rmol news logo Pemerintah berencana menaikkan tarif Pajak Penghasilan (PPh) impor barang konsumsi dari 2,5 persen menjadi 7,5 persen untuk mengurangi impor. Jika tidak dibarengi penegakan hukum yang tegas, maka kenaikan pajak itu justru akan memicu inflasi dan penyelundupan.

“Kalau dikenakan tambahan pajak maka kurang efektif jika tidak dibarengi dengan memperketat di pintu-pintu masuk barang seperti di pelabuhan. Itu justru memicu penyelundupan. Jangan sampai peningkatan PPh membuat impor ilegal menjadi meningkat,” ungkap pengamat ekonomi Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listyanto.

Menurut dia, upaya untuk penyelundupan barang sangat mungkin terjadi karena permintaan terhadap barang-barang impor terus meningkat. Sementara industri dalam negeri belum mampu memproduksi barang tersebut.

“Yang paling gampang kan jadi importir. Karena tidak perlu berinvestasi untuk membangun pabrik. Jadi mendatangkan barang, ini lebih mudah makanya banyak produk impor di dalam negeri,” sindirnya.

Tak hanya itu, Eko juga mengatakan kenaikan PPh berpotensi menaikkan inflasi. Di mata pengusaha, ketika ada kenaikan pajak maka mereka akan membebankan kepada harga produk dengan menaikkan harga. Kalau harga barang-barang  naik, maka inflasi juga akan meningkat.

Senada dengan Eko, pengamat ekonomi Aviliani mengatakan, pajak barang jadi tidak akan efektif menekan impor. “Orang kaya tidak ada hubungan dengan pajak. Makin mahal, mereka makin beli,” ujarnya.

Pemerintah, menurut dia, seharusnya melarang impor produk-produk yang sudah diproduksi di dalam negeri. Ia mengkhawatirkan pengimplementasian dari PPh impor tersebut akan menimbulkan dampak yang lebih negatif. Contoh, masyarakat Indonesia memilih belanja di luar negeri, efeknya akan lebih buruk bagi Indonesia. “Jangan sampai pertumbuhan menurun dengan memberikan (aturan) itu,” jelasnya.

Aviliani juga setuju penerapan PPh impor ini dapat menimbulkan inflasi. Pasalnya, perusahaan tidak akan mengurangi produksi, di sisi lain perusahaan membutuhkan modal kerja yang lebih tinggi. Hal itu akan membuat harga barang menjadi lebih tinggi. Kondisi ini bisa memicu inflasi.

Dia mengimbau pemerintah tidak  terburu-buru mengeluarkan pajak impor, kecuali jika bisa menghasilkan barang substitusi impor. Masalah Indonesia saat ini adalah dari sisi penawaran, bukan permintaan. Produk kimia memberikan sumbangan yang cukup tinggi pada impor. Barang lainnya yang diimpor tinggi yakni baja. Selain itu, masalah yang signifikan dalam defisit transaksi berjalan adalah impor BBM.

Dalam pandangan pemerintah, kenaikan PPh impor barang konsumsi bertujuan untuk menurunkan defisit transaksi berjalan. “Kita akan sesuaikan PPh impor, kategorinya itu barang konsumsi akhir, jadi tidak lagi dipakai untuk produksi dan tidak termasuk barang yang menimbulkan inflasi, termasuk utamanya pangan,” kata Wakil Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro.

Rencana Pemerintah untuk menaikkan tarif Pajak Penghasilan (PPh) pasal 22 yang dikenakan terhadap sejumlah impor barang konsumsi dari semula 2,5 persen menjadi 7,5 persen itu didukung penuh oleh Bank Indonesia (BI). ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA