Sofyan (33), pedagang makanan di Kawasan Ciputat, Tangerang Selatan, mengaku kaget dengan terus naiknya harga cabe. Menurut dia, saat ini harga cabe di Pasar Ciputat tembus Rp 40-50 ribu per kg. Alhasil, dia harus mengurangi jumlah cabe di makanan yang dia jual.
“Banyak pembeli yang mengeluhkan karena ketopraknya tidak pedas lagi. Saya memang menguranginya untuk menghemat cabe karena mahal,†kata Sofyan saat berbincang dengan
Rakyat Merdeka, kemarin.
Namun, kata dia, hingga kini pihaknya belum berencana untuk menaikan harga jual ketopraknya dari Rp 7.000 per porsi.
Dia juga mengungkapkan, di pasar ada yang menawarkan cabe yang sudah busuk dengan harga Rp 10-15 ribuan per kg.
Untuk itu, dia meminta pemerintah bisa mengembalikan harga cabe. “Kami bisa rugi, jika semua harga naik. Harga cabe sekarang makin pedes mas,†sindirnya.
Retno (40), pedagang pecel di pasar Ciputat juga mengeluhkan hal sama. Sejak harga cabe naik, dia mengurangi jumlah cabe untuk bumbu pecalnya.
“Rasanya jadi kurang greget gitu. Banyak pembeli yang mengeluh,†katanya.
Harga cabe di pasar Bendungan Hilir, Jakarta Pusat, juga terus mengalami lonjakan. Saat ini harganya mencapai Rp 40 ribu per kg dari harga Rp 15 ribu kg.
“Harga cabe diperkirakan terus naik hingga menjelang Lebaran,†ujar Ifa (30), pedagang cabe di Pasar Bendungan Hilir.
Dia menduga, terkereknya harga cabe dipengaruhi oleh kenaikan harga BBM, tersendatnya proses distribusi barang serta kurang tanggapnya pemerintah dalam menstabilkan harga komoditas pangan.
Kenaikan harga cabe paling tinggi terjadi di Pasar Bekasi, Jawa Barat. Di sana, harganya tembus Rp 70 ribu per kg.
“Yang paling mahal untuk kelompok bumbu-bumbu itu cabe rawit merah, itu sekilonya bisa Rp 70 ribu per kg. Beda jauh dengan cabe merah keriting hanya Rp 35 ribu per kg,†ujarnya pedagang cabe di pasar Bekasi Endang.
Gejolak Harga Dapat DicegahPeneliti Pusat Kajian Hortikultura Tropika Institut Pertanian Bogor (IPB) M Syukur mengatakan, produksi cabe Indonesia masih mencukupi.
“Kebutuhan cabe di Indonesia 1,12 juta ton per tahun, sedangkan produksi cabe 1,3-1,9 juta ton per tahun. Secara total produksi dan permintaan itu mencukupi,†cetusnya.
Dia mengatakan, Indonesia berada pada posisi keempat di dunia sebagai produsen cabe dengan jumlah produksi 1,3 juta ton per tahun. Posisi ini menempatkan Indonesia setingkat lebih tinggi dari India yang hanya memproduksi 1.227.800 ton dan Amerika Serikat 918.120 ton.
Menurut Syukur, bergejolaknya harga cabe yang terjadi setiap tahun di Indonesia, tidak lepas dari faktor produksi dan permintaan. Beberapa hal yang mempengaruhi produksi dan permintaan tersebut adalah pola konsumsi, produksi, distribusi dan kebijakan pemerintah.
Terkait gejolak cabe yang terjadi setiap tahun, kata Syukur, hal itu sudah menjadi siklus dari produk hortikultura bahwa setiap periode Desember-April terjadi kenaikan harga karena jumlah produksi yang berkurang.
“Jika pemerintah memahami siklus tersebut dan melakukan antisipasi sesuai dengan ritme produk hortikultura, maka gejolak cabe dapat dicegah,†katanya.
Wakil Menteri Pertanian (Wamentan) Rusman Heriawan mengatakan, pihaknya akan membuka keran impor cabe untuk mengendalikan harga cabe selama puasa dan Lebaran.
“Impor cabe bukan untuk mematikan petani, tetapi (antisipasi) harga mahal,†katanya.
Rusman menyatakan, dalam Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH) semester dua 2013, cabe merupakan salah satu komoditas yang dimasukkan di dalamnya.
“Kenaikan harga cabe saat puasa dan Lebaran sepertinya sudah menjadi siklus tahunan meskipun pemerintah sudah menyiapkan suplai di pasaran,†kata Rusman.
Pemerintah, tambah Rusman, dapat memahami pedagang maupun produsen menaikkan harga cabe selama puasa dan Lebaran asalkan masih dalam taraf yang wajar. [Harian Rakyat Merdeka]