Koordinator Divisi Monitoring dan Analisis Anggaran ICW Firdaus Ilyas mengatakan, KPK seharusnya secara ketat mengawasi sektor pertambangan.
KPK, kata dia, dapat memulainya dengan menginvestigasi kecurangan pengelola industri pertambangan dalam membayarkan royalti dan pajak.
Dia mengakui, penerimaan pajak dari sektor tambang banyak yang menguap.
Pasalnya, banyak perusahaan yang menunggak dan mengemplang bayar pajak.
Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), jumlah perusahaan tambang baik Kontrak Karya dan Izin Usaha Pertambangan (IUP) mencapai 10.800 perusahaan, namun hanya 6.000 yang statusnya clear and clean.
“Berarti kan masih ada masalah dalam izin, pajak dan royalti. Bahkan, Dirjen Pajak bilang banyak dari mereka (perusahaan) yang tidak memiliki NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak),†jelas Firdaus kepada
Rakyat Merdeka di Jakarta, Jumat (5/6).
Akibat banyak perusahaan tambang yang tidak bayar pajak, potensi penerimaan pajak dari sektor ini mengalami pengurangan hampir 50 persen dari target pemerintah. Ini tentu sangat merugikan negara sampai puluhan triliun.
Firdaus mengungkapkan, perusahaan tambang yang malas bayar pajak tidak hanya perusahaan tambang kelas kecil saja. Melainkan perusahaan tambang besar dan sudah melantai di bursa. “Banyak juga yang memanipulasi pembayaran pajaknya,†cetusnya.
Bahkan, kata Firdaus, pihaknya sudah menyampaikan soal penyimpangan pajak pertambangan ke KPK sejak 2008. Dia juga bilang, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sudah melaporkan masalah royalti dan tumpang tindih lahan pertambangan ke KPK dan Polri.
Namun, dia menyayangkan, belum ada langkah tegas dari KPK untuk memeriksa perusahaan-perusahaan tambang tersebut. Padahal, dalam kasus pegawai pajak Gayus Tambunan, diketahui banyak perusahaan tambang besar yang kongkalikong dengannya untuk menurunkan nilai pajaknya. Tapi, KPK tidak menindaklanjutinya. “KPK harus segera mulai masuk ke industri pertambangan,†tandasnya.
Sebagai catatan, sampai 15 Desember 2012, penerimaan pajak penghasilan (PPh) dari sektor pertambangan batubara mencapai Rp 26,40 triliun. Angka ini sedikit naik dibandingkan periode yang sama 2011, yakni sebesar Rp 22,92 triliun.
Tetapi, porsi dari seluruh penerimaan PPh tahun lalu hanya sekitar 6,59 persen. Angka penerimaan ini agak mengherankan karena ekspor komoditas batu- bara tergolong besar. Setiap tahun rata-rata mencapai 20 miliar dolar AS.
Anggota Komisi VII DPR Bobby Rizaldy mengatakan, jika memang ada datanya, sangat bagus untuk ditindaklanjuti oleh Panitia Kerja Mineral Dan Batubara (Minerba) Komisi VII DPR.
Menurutnya, pemerintah bisa langsung menarik atau membatalkan IUP perusahaan tambang yang bermasalah. Jika perusahaan bersangkutan tidak menerima, kata dia, bisa ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
“Tapi yang utama adalah persepsinya harus dipastikan sama dulu antara pengenaan pajak menurut KPK, Dirjen Pajak dan Dirjen Minerba. Masak segitu longgarnya pengawasan di instansi-instansi tersebut,†katanya.
Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak Fuad Rahmany mengakui, jika 60 persen perusahaan pertambangan tidak membayar pajak dan royalti ke negara. Kendati begitu, Fuad menegaskan bahwa dia tidak bisa membuka informasi mengenai seberapa besar tingkat kepatuhan perusahaan pertambangan ke publik.
Fuad mengatakan, pihaknya saat ini tengah bekerja sama dengan sejumlah pihak untuk meminta data mengenai pajak pertambangan. Beberapa instansi yang diajak kerja sama adalah pemda, Kementerian ESDM, surveyor independen, Syahbandar dan PT Pelindo. Data yang diambil, antara lain data produksi, ekspor dan penjualan.
“Selama ini sulit sekali dapatkan data. Tambang-tambang itu kan diangkut oleh tongkang-tongkang lewat pelabuhan kecil dan sungai-sungai,†ujarnya.
Sebelumnya, Ketua KPK Abraham Samad mengatakan, sekitar 60 persen perusahaan tambang di Indonesia tak membayar pajak dan royalti kepada negara.
“Mereka adalah perusahaan tambang yang beroperasi di Kalimantan, Sulawesi, dan lain-lain,†katanya Abraham. [Harian Rakyat Merdeka]