SEPERTINYA Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto harus berhati-hati dalam melakukan "pembersihan" terhadap para penjahat keuangan yang saat ini gencar dilakukan. Mengapa demikian? Sebab tindakan "bersih-bersih" dan perlawanan hukum atas para koruptor mungkin akan menemui jalan terjal dan berliku.
Tidak lain adalah, di dalam pemerintahan atau kabinet Indonesia Maju yang "gemuk" disinyalir masih ada kepanjangan tangan pemerintahan terdahulu. Skema "memacetkan" kredit dan atau Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di berbagai sektor industri akan menjadi strategi klasik mereka. Lalu, muncul ketidakpercayaan (distrust) publik yang membuat keresahan.
Hal mana inilah yang terjadi saat Indonesia mengalami krisis politik yang diawali oleh krisis keuangan dan ekonomi pada tahun 1997 dan menuntut mundur Presiden RI saat itu, yaitu Soeharto. Maka, salah satu yang mesti dibenahi tata kelolanya adalah terkait proses pemberian kredit atau pinjaman kepada para pengusaha yang telah "dibesarkan" oleh pemerintahan Orde Baru melalui keistimewaan (privilege). Apalagi, saat ini para pengelola keuangan dan perbankan ini beserta para pengusaha besar taipan telah masuk ke dalam portofolio pemerintah, baik sebagai wakil rakyat maupun berada di kabinet. Dalam bahasa yang sederhana olah raga sepak bola, yaitu wasit sekaligus merangkap sebagai pemain!
Kredit dan Pengawasan OJK
Pemberian kredit kepada debitur memang berpotensi menjadi skandal atau kejahatan para bankir (
criminal banker) apalagi yang memiliki skala usaha besar sebagaimana halnya kasus PT. Sritex. Telah banyak kasus skandal kredit perbankan yang dilatarbelakangi oleh adanya permainan para bankir dengan debitur sebagai pihak yang mengajukan pinjaman.
Bahkan, tidak jarang terjadi perdagangan terselubung (
insider trading) dalam proses pengajuan kredit ini, yang mana pemilik bank sekaligus memiliki perusahaan lain sebagai penerima kredit. Apalagi, pasca paket kebijakan Oktober 1988 atau dikenal dengan Pakto 88 yang merupakan paket kebijakan ekonomi deregulasi dan debirokratisasi sektor keuangan dan perbankan.
Adapun kebijakan paling liberal dari Pakto 88 dalam rentang sejarah Indonesia, yaitu hanya dengan modal Rp10 miliar (pada tahun 1988) siapapun dapat mendirikan bank baru sehingga terjadilah skandal yang berdampak pada krisis ekonomi tahun 1997. Salah satu contoh kasus skandal besar kala itu, yaitu terjadi di Bank Bali dengan diawali oleh pengalihan hak tagih Bank Bali yang menjerat Djoko Tjandra.
Skandal ini bermula pada saat bank tersebut kesulitan menagih piutang dengan nilai total Rp3 triliun yang tertanam di Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI), Bank Umum Nasional (BUN), dan Bank Tiara pada 1997. Dan, kasus ini merupakan salah satu permainan perdagangan terselubung (
insider trading) melalui pemberian kredit dalam jumlah besar kepada perusahaan yang pemiliknya juga pemegang saham perbankan.
Lalu, bagaimana halnya dengan Direktur Utama (Dirut) Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat dan Banten Tbk (BJBR) atau Bank BJB Yuddy Renaldi yang dibebastugaskan berdasar keputusan Dewan Komisaris per tanggal 7 Maret 2025? Benarkah yang bersangkutan tersangkut dengan skandal kredit yang disalurkan ke PT. Sritex sejumlah Rp662 miliar dan debiturnya kemudian mengalami kebangkrutan?
Jika potensi kebangkrutan PT. Sritex telah diketahui sejak dini melalui laporan keuangannya, maka dapat dipastikan bahwa keputusan pemberian dan penyaluran kreditnya bermasalah. Keterlibatan para direksi atau tidak hanya Dirut bjb patut ditelisik apalagi keputusan diambil secara kolektif kolegial, kecuali yang terjadi tidak demikian.
Hal ini perlu dilakukan penyelidikan lebih lanjut oleh pihak aparat penegak hukum (APH), diantaranya mulai dari proses pengajuan kredit, penilaian kredit (credit appraisal) oleh tim analis kredit BJB sampai proses pencairannya. Melalui tahapan proses penilaian kredit inilah akan dapat diketahui dengan jelas apakah persetujuan kredit layak dan sesuai peruntukannya.
Termasuk, apakah terjadi kongkalikong dalam proses penilaian kredit dan persetujuan jumlah nominal pencairan serta adanya perdagangan terselubung (insider trading). Proses hukum di pengadilan nanti yang akan memutuskan apakah terdapat tindakan penyimpangan dalam proses penilaian dan persetujuan kredit sejumlah Rp662 miliar. Tentu saja, banyak lagi kasus perbankan yang lain serupa tapi tak sama membutuhkan pengawasan intensif OJK.
Seharusnya, kasus seperti ini tidak akan terjadi lagi apabila Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memainkan peran pentingnya di bidang pengawasan sektor industri lembaga jasa keuangan dan perbankan. Jika OJK tidak mengantisipasi berbagai kebijakan pemberian kredit ini, maka patut diduga para pejabatnya melakukan pembiaran.
Pembiaran ini jelas menunjukkan indikasi "kesengajaan" yang bertendensi mengakibatkan publik menyalahkan kepemimpinan Presiden RI Prabowo Subianto yang tengah berupaya meningkatkan kapasitas ekonomi nasional melalui pembangunan koperasi. Semoga Presiden RI Prabowo Subianto diberikan kemudahan dalam "membaca" situasi geopolitik ekonomi dunia dan dampaknya bagi stabilitas pemerintahan.
*Penulis adalah ekonom konstitusi