Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto/Ist
SEBETULNYA saya bisa memahami mengapa Presiden Prabowo mengambil keputusan penghematan, pemotongan, dan efisiensi APBN.
Walaupun kebijakan ini akan mengguncang investor dari luar dan akan membuat deg-degan para pelaku ekonomi dalam negeri. Apakah nasib mereka akan terus baik jika pekerjaan bersama APBN ini berhenti.
Para ahli ekonomi di manapun yang sekolah ekonomi di Indonesia atau di barat akan berpandangan bahwa pemotongan, efisiensi, penghematan anggaran adalah sebuah pengumuman resesi ekonomi Indonesia.
Artinya, Indonesia dalam keadaan kekurangan uang atau penerimaan, pada satu sisi dan bertambahnya kewajiban pada sisi lain.
Namun apa pun pandangan yang berkembang, alasan paling kuat bagi Presiden Prabowo menurut hemat saya dalam melakukan kebijakan austerity terbatas (terbatas masalah kebocoran) dikarenakan memang APBN Indonesia tidak pernah naik jika dilihat dari
purchasing powernya.
Kemampuan
purchasing power APBN ini diukur dalam Dolar AS. Artinya kemampuan belanja APBN Indonesia dalam perdagangan internasional dan ekonomi dalam negeri memang stagnan.
Hal ini tentu berat. Dikarenakan satu dekade lalu APBN Indonesia hanya sekitar 200 miliar Dolar AS. Waktu itu kurs ada di sekitar 8.000 Rupiah per Dolar AS. Sekarang dengan kurs Rupiah pada 1.6000 rupiah per Dolar AS, nilai APBN Indonesia masih berada pada kisaran 200 miliaran Dolar AS.
Jadi dalam posisi perdagangan terutama perdagangan Internasional atau ukuran internasional APBN Indonesia benar-benar stagnan.
Sebetulnya masalah penerimaan APBN yang stagnan ini merupakan bagian penting untuk dicari jalan keluarnya. Jika dicermati lebih mendalam, sebetulnya jalan keluarnya juga ada di depan mata.
Mengapa? Karena Indonesia itu ekonominya dan perdagangan internasionalnya ditopang oleh sektor komoditas sumber daya alam. Jumlahnya juga meningkat pesat dari tahun ke tahun.
Penerimaan dalam Dolar oleh seluruh aktivitas ekonomi dalam sektor ini seharusnya dapat melipatgandakan penerimaan rupiah negara atau pemerintah. Ini bisa didiskusikan secara lebih mendalam dengan Kementerian Keuangan.
Sementara pada bagian lain, kewajiban atau liabilities pemerintah semakin naik mengikuti pergerakan nilai tukar tersebut. Kewajiban pemerintah ini tidak dapat dipotong, dipangkas atau dihemat, dikarenakan umumnya berasal dari utang-utang komersial dalam mata uang asing dan sisanya dalam obligasi Rupiah.
Kewajiban ini semakin berat dikarenakan risiko ekonomi Indonesia yang dipandang oleh investor global yang juga tinggi risiko. Akibatnya suku bunga atau imbal hasil yang diminta oleh pemberi utang komersial kepada Indonesia juga makin naik.
Bunga atau imbal hasil yang tinggi ini mengakibatkan kewajiban yang ada makin berat dan pembiayaan untuk menutup defisit makin mahal.
Memang ada konsekuensi bahwa pemotongan anggaran akan menimbulkan persepsi ekonomi Indonesia. Namun memang hanya ini caranya untuk bisa keluar dari
government budget shutdown.
Prinsipnya "eman eman dalam menggunakan uang, jangan boros, sebab boros adalah kawannya setan". Sebuah paradigma baru yang perlu didalami oleh para birokrasi pemerintahan dan pelaku ekonomi yang selama ini memang menjalankan kerja sama program dan proyek dengan pemerintah.
Penulis adalah Direktur Asosiasi Ekonomi dan Politik Indonesia (AEPI)