Webinar "Evaluasi Kritis 100 Hari Pemerintahan Prabowo di Bidang Ekonomi" pada Rabu, 22 Januari 2025/Tangkapan Layar
Rencana pemerintah menerapkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12 persen yang diharapkan dapat memperkuat keuangan negara justru berakhir dengan beban fiskal baru.
Hal tersebut diungkapkan Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, dalam webinar "Evaluasi Kritis 100 Hari Pemerintahan Prabowo di Bidang Ekonomi" pada Rabu, 22 Januari 2025.
Menurut Wijayanto, kebijakan PPN 12 persen yang telah direncanakan sejak lama untuk menambah penerimaan negara akhirnya dibatalkan oleh Presiden Prabowo Subianto. Namun, pembatalan tersebut dilakukan secara mendadak tanpa proses diskusi teknokratis yang matang.
“Pak Prabowo mendengar aspirasi masyarakat dan membatalkan PPN 12 persen untuk barang kebutuhan umum, hanya diterapkan pada barang mewah. Tapi proses pembatalannya terkesan mendadak tanpa teknokrasi yang solid,” ujarnya.
Awalnya, kebijakan PPN 12 persen diperkirakan mampu menambah pendapatan negara hingga Rp75 triliun. Namun, dengan pembatasan penerapan hanya untuk barang mewah, pendapatan yang diperoleh ditaksir hanya sekitar Rp2,5 triliun.
Di sisi lain, pemerintah juga tetap melanjutkan pemberian insentif fiskal yang nilainya mencapai Rp20-25 triliun.
“Tambahan pemasukan dari PPN barang mewah hanya Rp2,5 triliun, sementara insentif fiskal masih tetap berjalan dan tidak dicabut, Kebijakan yang diharapkan memperkuat fiskal, hasilnya justru menambah pengeluaran sekitar Rp25 triliun. Akibatnya, kebijakan ini malah menciptakan tekanan baru pada fiskal negara,” jelas Wijayanto.
Ia menegaskan bahwa pembatalan kebijakan ini seharusnya diiringi dengan evaluasi menyeluruh terhadap insentif fiskal agar tidak membebani anggaran negara.
Adapun insentif tersebut antara lain diskon listrik,beras 10 kg untuk 16 juta keluarga, PPH final 0,5 persen untuk UMKM, insentif mobil listrik dan PPN rumah diskon 100 persen.