DALAM masa kampanye Calon Presiden dan Wakil Presiden (Capres dan Cawapres) di bulan Februari 2024 lalu, saya sempat melontarkan ide agar BUMN sebaiknya sahamnya diserahkan langsung ke masyarakat Indonesia dengan cara dikoperasikan, bukan dikorporasikan seperti sekarang ini. Supaya rakyat banyak dapat menjadi pemilik riil dari aset BUMN, bukan hanya seakan akan menjadi pemilik seperti yang ada saat ini. Supaya menjadi pemilik sebenarnya dan mendapat manfaat langsung secara riil atas keuntungan BUMN dan menjadi bagian dari pengendali BUMN.
Argumentasi konstitusionalnya karena menurut Undang Undang Dasar 1945 (UUD 45) pasal 1 ayat 2 dinyatakan bahwa rakyat adalah pemegang kedaulatan (kekuasaan) atas negara. Negara ini berarti milik rakyat dan berada dalam kuasa rakyat. Termasuk tentu kuasa terhadap Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Kedaulatan rakyat itu masih melekat pada individu dan kolektif rakyat, tidak terbagi atau terwakili. Tidak kita bagi ke Presiden, anggota Parlemen, apalagi menteri.
Kenapa pilihannya koperasi? Karena koperasi itu disebut dalam UUD 45 sebagai bangunan perusahaan yang sesuai dengan demokrasi ekonomi. Sementara menurut pasal 33 UUD 45, sistem ekonomi kita itu menganut sistem demokrasi ekonomi. Di mana setiap warga negara itu berarti melalui sistem koperasi dijamin memiliki hak setara dan termasuk dalam menentukan keputusan perusahaan yang bernilai sosial semacam BUMN ini.
Hingga saat ini, dalam faktanya BUMN dan termasuk Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) itu bukan di bawah kuasa rakyat, melainkan di bawah kuasa Pemerintah. BUMN ada ditangan Presiden dan BUMD ada di tangan Gubernur, Bupati dan Walikota. Sesuatu yang sebetulnya sudah inkonstitusional.
Ide tersebut saya sampaikan di acara diskusi di rumah pemenangan Amin, Calon Presiden dan Wakil Presiden Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar di jalan Brawijaya X, Jakarta. Walaupun saya sendiri bukan dari tim pemenangan Amin melainkan hanya sebagai narasumber luar yang diundang. Dikarenakan saya sampaikan di rumah pemenangan Amin kemudian mendapat tanggapan serius dari Erick Thohir yang kebetulan waktu itu menjabat sebagai Menteri BUMN.
Lontaran ide saya jadi viral di media karena tanggapanya dipelintir oleh Menteri BUMN sebagai pembubaran BUMN. Sesuatu yang sebetulnya menyimpang jauh dari yang saya lontarkan karena ide saya bukan pembubaran BUMN melainkan pengkonversian saham BUMN ke tangan rakyat langsung melalui badan hukum koperasi.
Setelah saya kodifikasi, ide saya tersebut ternyata di media utama seperti media cetak, online maupun televisi tidak mendapatkan perimbangan yang memadai. Di media dibanjiri oleh pendapat kelompok penolak ide saya tanpa memuat penjelasan saya sama sekali. Ide saya disebut sebagai ide yang tidak tepat, inkonstitusional, sampai yang bernada hujatan seperti: sembrono, ngawur, absurd (tolol) dan sebagainya.
Bahkan di Kompas TV dan Metro TV menjadi berita yang bernilai advertorial yang diisi berupa monolog bantahan dari pihak Kementerian BUMN terhadap ide saya tersebut dan lagi-lagi tanpa memuat klarifikasi dari saya atau dari pihak yang setuju dengan ide saya. Di media sosial ide ini tercatat secara kuat hanya dapat dukungan dari Rocky Gerung.
Soal Hak KepemilikanMenurut perhitungan neraca konsolidasi akhir tahun 2023, seluruh BUMN asetnya bernilai buku sekitar 10.300 triliun rupiah. Namun dari aset yang besar itu, kita sebagai warga negara bukan menjadi pemilik riil. Akta sahamnya dipegang oleh pemerintah yang kuasanya ada di tangan Presiden cq. Menteri BUMN. Kita sebagai warga negara menjadi jauh dari perusahaan milik kita tersebut. Hanya jadi penonton.
Di dalam tulisan ini, saya tentu tidak akan menuliskan lagi argumentasi lama soal alasan manfaat atau kerugian kita sebagai warga negara sebagai pemilik BUMN atau alasan normatif konstitusionalnya. Walaupun tulisan yang pendek pernah saya sampaikan di media.
Dalam tulisan ini justru saya ingin memperkuat argumentasi filosofisnya dan harapannya dapat dikembangkan sebagai diskursus publik. Supaya ide ini tidak berhenti dan syukur dapat terus berkembang meluas ke ide-ide besar demokratisasi ekonomi secara lebih luas.
Menyoal pengkorversian BUMN menjadi koperasi itu sesungguhnya dasar filosofinya masuk ke perdebatan soal problem hak kepemilikan atas harta benda, soal
property right dan tentu menyangkut soal korelasi atas hubungan kepemilikan tersebut dengan entitas yang dinamakan negara (state) dan masyarakat warga negara dan hubungan hubungan kekuasaan dan sistem politik serta hukum yang mendasarinya.
Di negara negara yang menganut paham komunis, masalah kepemilikan pribadi adalah yang mendapat cercaan pertama. Ini didasarkan atas kritiknya terhadap sistem kapitalisme yang salah satunya memang menyoal masalah kepemilikan pribadi, selain motif profit dan akumulasi kekayaan tanpa batas, serta ekonomi pasar dan doktrin persainganya.
Di negara komunis seperti China, juga Rusia misalnya, properti harus diambil dari individu. Walaupun sebetulnya bukan dalam arti yang mutlak. Sebab dalam praktik individu individu itu tetap diberikan hak kepemilikan atas harta pribadi, sebatas tidak berkonsekuensi terhadap masalah sosial. Seperti misalnya perusahaan.
Kita dapat lihat secara kasat kuasa negara dalam sistem komunisme ini misalnya dalam kasus Jack Ma, pendiri group perusahaan Alibaba yang bergerak dibidang teknologi informasi ini. Dia langsung ditangkap oleh pemerintah China karena alasan yang sudah cukup membahayakan atas pandanganya yang sudah mulai kritis dan juga karena kekuasaan atas kekayaannya yang mungkin sudah tahap dapat mengancam atau setidaknya mempengaruhi konstelasi politik dalam negeri.
Dalam kasus di Rusia misalnya, ditunjukkan oleh Presiden Vladimir Putin dengan mengambil alih grup dealer otomotif Rolf, perusahaan yang didirikan oleh Sergei Petrov yang merupakan perusahaan dealer terbesar di Rusia ke dalam manajemen negara karena dianggap tidak dapat menyelesaikan persoalan protes kesejahteraan buruhnya.
Kembali ke soal argumentasi filosofi kepemilikan properti atau kekayaan. Sesungguhnya properti bukanlah hal yang buruk jika setiap individu memiliki banyak properti atau kekayaan. Masalahnya bukan soal properti pribadinya, tetapi menyangkut masalah cara mendapatkanya, distribusi dan penggunaanya. Masalahnya karena kekayaan yang digunakan untuk spekulasi, menekan orang lain, pewarisan untuk menjamin seseorang untuk tidak usah bekerja lagi, sengaja ditahan dari penggunaan untuk meningkatkan nilainya, mempengaruhi keputusan pemerintah untuk kepentingan pengerukan dan akumulasi kekayaan, dan pengaruhi politik negara secara lebih luas. Seperti yang terjadi secara kasat dan vulgar di Indonesia saat ini.
Properti dimiliki pribadi oleh mereka yang hanya ongkang ongkang kaki, tetapi digunakan oleh orang lain untuk bertahan hidup, properti pribadi dimiliki secara berlebihan sementara yang lainya kekurangan. Demikianlah bentuk keburukan dari penggunaan properti pribadi itu. Sehingga menjadi cukup beralasan jika negara sosialis-komunis menentangnya.
Ketika kita mencermati lebih dalam, keberatan yang diajukan terhadap kepemilikan pribadi itu bukan terhadap kepemilikan pribadi, melainkan terhadap hak pribadi untuk menggunakan kepemilikan pribadi dengan cara yang asosial.
*Penulis adalah Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (AKSES), Chief Executive Officer Induk Koperasi Usaha Rakyat (INKUR) dan Direktur Cooperative Research Center (CRC)