Keputusan Ridwan Kamil (RK) untuk maju dalam Pilkada Jakarta 2024 terbukti sebagai langkah yang kurang tepat. Berdasarkan hasil resmi Komisi Pemilihan Umum (KPU), pasangan Pramono Anung dan Rano Karno (Pram-Doel) dinyatakan menang dalam satu putaran.
Di sisi lain, RK yang berpasangan dengan Suswono di bawah bendera Koalisi Indonesia Maju Plus (KIM Plus) gagal meraih hasil maksimal, meskipun didukung oleh 13 partai politik besar.
Hingga batas akhir pengajuan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu, 11 Desember 2024 pukul 23.59 WIB, pasangan RK-Suswono tidak mengajukan gugatan. Hal ini menegaskan bahwa kemenangan Pram-Doel dalam satu putaran sah tanpa adanya sengketa Pilkada Jakarta.
Menurut Ketua Himpunan Masyarakat Nusantara (Hasrat), Sugiyanto Emik, keputusan RK meninggalkan Jawa Barat (Jabar) untuk bertarung di Jakarta memunculkan pertanyaan besar.
“Apakah langkah ini merupakan strategi yang keliru? Pasalnya, jika RK maju di Pilgub Jabar, peluang kemenangannya sangat besar,” ungkap Sugiyanto dalam keterangan yang diterima redaksi, Kamis malam, 12 Desember 2024.
Lanjut dia, keberhasilan RK sebagai Gubernur Jabar sebelumnya menjadi kebanggaan publik, terutama dalam pembangunan infrastruktur dan peningkatan pelayanan publik.
“Popularitas RK di Jawa Barat sangat kuat, terbukti dari berbagai survei independen yang selalu menempatkannya di posisi teratas. Bahkan Dedi Mulyadi, yang pada akhirnya menang dalam Pilgub Jabar, elektabilitasnya pun tidak mampu melampaui RK,” jelasnya.
Ia membeberkan faktor-faktor pendukung keberhasilan RK di Jabar, di antaranya meliputi kinerja yang memuaskan.
“RK dikenal sebagai pemimpin inovatif dengan tingkat kepuasan masyarakat yang tinggi. Selain itu, ia memiliki dukungan luas dari pemilih lintas partai. RK tetap menjadi figur sentral yang dihormati, bahkan di tengah persaingan politik yang ketat,” ungkapnya lagi.
Namun, keputusan RK untuk meninggalkan "zona nyaman" dan maju dalam Pilgub DKI Jakarta tentu membawa konsekuensi besar. Kekecewaan warga Jabar yang merasa kehilangan sosok pemimpin mereka hingga risiko besar bagi RK sendiri adalah hal yang tidak bisa diabaikan.
Sugiyanto memandang keputusan RK untuk ikut Pilkada di Jakarta tampaknya didorong oleh keinginan mencari tantangan baru di wilayah dengan dinamika politik dan sosial yang jauh lebih kompleks.
“Meski didukung oleh koalisi besar seperti KIM Plus, keberhasilan tetap tidak dijamin, terutama jika strategi kampanye gagal menembus basis massa yang beragam,” urainya.
Masih kata dia, kekalahan RK di Pilkada Jakarta membawa dampak signifikan. Popularitas RK di tingkat nasional tidak dapat dimaksimalkan, dan harapan warga Jabar agar RK kembali memimpin mereka pun pupus, meninggalkan rasa kecewa mendalam.
Dengan demikian, kekalahan ini memerlukan evaluasi total terhadap strategi koalisi pendukung RK. Kekalahan RK di Jakarta menunjukkan bahwa politik bukan hanya soal popularitas, tetapi juga tentang kalkulasi strategi yang matang dan relevan dengan konteks lokal.
“Dalam konteks ini, jika RK memilih maju kembali di Pilgub Jabar, peluang kemenangannya hampir pasti, memungkinkan dirinya melanjutkan berbagai program keberhasilan yang telah ia bangun sebelumnya. Sayangnya, keputusan untuk bertarung di Jakarta justru mengorbankan momentum tersebut,” tutur Sugiyanto.
“Kekalahan RK ini memberikan pelajaran berharga bagi semua pihak. Kini, pertanyaan pun muncul di masyarakat, siapa yang sebenarnya salah dan harus bertanggung jawab?” tambahnya menegaskan.
“Apakah ini merupakan kesalahan pribadi RK yang dianggap terlalu ambisius? Ataukah partai-partai pendukungnya yang lebih memprioritaskan agenda nasional dibandingkan stabilitas politik lokal? Atau mungkin karena terlalu percaya diri dengan dukungan 13 partai dalam Koalisi KIM Plus? Jawabannya tidak mudah diurai. Wallahu a'lam bishawab,” tandas Sugiyanto.