PADA 18 April 2024 kemarin saya diundang untuk menjadi salah seorang pembicara dalam sebuah diskusi panel tentang hak-hak dasar (human rights) kaum Uighur di China. Acara yang bertemakan “Disrupting Uighur Genocide” ini diadakan selama dua hari dengan pembahasan di semua aspek yang dianggap perlu. Sejarah Uighur, politik China dan dunia global, aspek ekonomi, hingga ke aspek media khususnya media sosial.
Saya dan beberapa tokoh agama Abrahamic (Islam, Kristen, Yahudi) menjadi pembicara dalam sesi yang membicarakan peranan komunitas dan tokoh-tokoh agama dalam membela hak-hak asasi kaum Uighur.
Selain para aktivis, akademis, dan tokoh-tokoh agama dan masyarakat, acara ini juga dihadiri oleh para aktivis komunitas Uighur di Amerika, termasuk beberapa mantan korban “kamp-kamp konsentrasi China”. Beberapa peserta di antaranya bahkan datang dari Eropa, seperti Jerman dan Inggris.
Yang menarik adalah mayoritas peserta yang hadir adalah komunitas Yahudi. Apalagi acara ini memang mengambil tempat di 92nd Y (Lexington & 92nd Street) di Manhattan. 92nd Y sangat dikenal sebagai pusat komunitas Yahudi yang sarat dengan edukasi dan kultur. Saya sendiri pernah diundang menjadi pembicara di tempat ini dalam sebuah diskusi tentang prospek relasi Yahudi-Islam. Diskusi itulah yang sesungguhnya menjadi “trigger” utama diterbitkan buku kami
Sons of Abraham: issues that unite and divide Jews and Muslims. Suasana yang kental dengan keyahudian ini menjadikan presentasi saya kental dengan isu human rights (HAM) dan human dignity (karomah insaniyah). Walaupun moderator berkali-kali mengingatkan bahwa dengan segala permasalahan yang di dunia, kiranya setiap pembicara harus fokus pada isu-isu kemanusiaan kaum Uighur dan tidak menjalar kemana-mana. Namun demikian, nurani saya tidak bisa dibohongi dan ditekan. Karenanya presentasi saya sarat dengan relevansi hak-hak dasar bangsa Palestina saat ini.
Pertanyaan yang mendasar dalam diskusi panel itu adalah “apa alasan-alasan utama sehingga agama/keyakinan anda memperjuangkan HAM (human rights) dan kemuliaan manusia (human dignity)?”. Lalu “apa yang seharusnya Komunitas khususnya tokoh-tokoh agama lakukan untuk memastikan HAM dan kemuliaan manusia terjaga?”.
Dalam presentasi yang cukup singkat itu saya sampaikan beberapa dasar penting kenapa HAM dan kemuliaan manusia menjadi sangat penting dalam ajaran Islam.
Pertama, karena didasarkan kepada dua aspek relasi keagamaan dalam Islam. Yaitu
hablun minallah dan hablun minallah. Saya melihat aspek
hablun minallah merupakan penekanan pada penjagaan hak-hak vertikal (dengan Pencipta). Sementara aspek
hablun minan naas menekankan penjagaan hak-hak horizontal (dengan sesama makhluk, khususnya manusia). Sehingga beragama yang benar adalah ketika agama itu memproteksi kedua aspek hak-hak itu.
Kedua, diyakini bahwa setiap manusia merupakan representasi dari “fitrah” (kesucian) Dia Yang Maha Suci. Manusia diciftakan di atas fitrah dan terlahirkan dengan identitas dasar fitrah. Karenanya menghargai manusia merupakan perhargaan kepada Tuhan. Merendahkannya juga merupakan prilaku yang merendahkan Tuhan.
Ketiga, Islam mengajarkan bahwa setiap manusia secara inherent (mendasar) diberikan kemuliaan (karomah) oleh Allah: “Sungguh Kami (Allah) muliakan anak cucu Adam” (Al-Qur’an). Karenanya hak kemuliaan manusia (karomah insaniyah) tidak boleh diambil dan direndahkan oleh siapapun.
Keempat, sesungguhnya semua manusia terlahir dengan jaminan kebebasan. Islam mengajarkan kebebasan sebagai dasar dari keberagamaan. Keyakinan kita kepada
laa ilaaha illa Allah secara esensi mengajarkan bahwa supremasi dan pengagungan itu tunggal hanya kepada Allah SWT. Tauhid adalah dasar dari segala kebebasan. Termasuk kebebasan dari perbudakan sesama makhluk, kebebasan dalam keyakian agama dan ibadah, kebebasan berbicara dan berekspresi, bahkan kebebasan dari hawa nafsu diri sendiri.
Kelima, Islam juga mengajarkan hak hidup dan kepemilikan (al-milkiyah), termasuk di dalamnya hak waris. Sejujurnya semua ini menjadi keunikan Islam karena semuanya diatur secara jelas dalam agama. Satu hal yang Istimewa dalam Islam bahwa kepemilikan itu mencakup untuk pria dan wanita. Hak memiliki properti wanita misalnya telah disyariatkan dalam agama Islam jauh sebelum wanita di Barat memilki hak itu.
Keenam, Islam juga mensyariatkan hak berasosiasi. Salah satu terjemahan dari kata asosiasi, selain hak berorganisasi, hak manusia dalam asosiasi kebangsaan (nationality). Maka setiap manusia sesungguhnya memiliki hak untuk memilik bangsa (belong to a nation) dengan negara yang berdaulat.
Poin terakhir inilah barangkali yang cukup mengagetkan bagi sebagian yang hadir, khususnya mereka yang beragama Yahudi dan mendukung Israel. Saya tekankan pada aspek ini bahwa hak berbangsa dan bernegara ini menjadi hak dasar yang sama untuk semua manusia, termasuk bangsa Palestina.
Saya cukup sadar bahwa menyebut kata Palestina dengan nuansa dukungan di sebuah tempat seperti 92nd Y ini bagaikan melempar sepotong daging di kandang harimau. Saya mempersiapkan diri untuk merespons jika ada
feedback yang boleh jadi kurang menyenangkan. Tapi hingga diskusi berakhir tak seorang pun yang merespon, baik di kalangan penelis maupun peserta.
Konferensi dua hari yang dimaksudkan mendukung hak-hak dasar kaum Uighur itu tentu saya sangat apresiasi. Apalagi memang komunitas Uighur adalah Komunitas yang sangat terisolasi dan mengalami kejahatan yang parah. Konon kabarnya masyarakat Yahudi banyak membela kaum Uighur karena mengingatkan mereka dengan kamp-kamp konsentrasi Nazi di Eropa ketika itu.
Sayang ketika sudah bersentuhan dengan Israel, seolah rasa empati dan kemanusiaan menjadi tidak perlu bagi bangsa Palestina. Sebegitu istimewakah Israel?
Penulis adalah President of Nusantara Foundation & MFA