Berita

Ilustrasi/Net

Publika

Rancangan Peraturan Presiden tentang Tanggung Jawab Perusahaan Platform Digital, Sebuah Langkah Anti Demokrasi

SABTU, 29 JULI 2023 | 22:28 WIB | OLEH: WINA ARMADA SUKARDI

KENDATI masih banyak mengandung kontroversial, nampaknya Peraturan Presiden (Perpres) tentang Tanggung Jawab Perusahaan Platform Digital untuk Mendukung Jurnalisme Berkualitas, terus saja disorong buat  segera disahkan agar dapat secepatnya berlaku.
    
Beberapa alasan dikemukakan pihak yang menyokong Rancangan Perpres ini. Dengan adanya Perpres ini kelak, mereka berharap, ada kepastian karya pers yang didistribusikan melalui algoritma benar-benar karya pers yang berkualitas. Bukan kaleng-kaleng. Bukan abal-abal. Apalagi hoax.
   

Lantas diharapkan, dengan adanya Perpres ini mampu memberikan pendapatan yang adil bagi media atas platform digital. Dengan begitu, ada pendapatan yang lebih distributif dan adil.
    
Lewat Perpres ini pula digadang-gadang hanya pers yang berkualitas saja yang bakal disebarluaskan oleh perusahaan platform digital. Dalam alur pikir para pendukung perpres ini, sebagai konsekuensinya perusahaan-perusahaan pers yang dinilai “tidak berkualitas” distribusinya menjadi terbatas dan bakal menghadapi banyak kendala.

Hal ini lantaran jika Perpres soal ini disahkan, platform digital seperti mesin pencari Google berpotensi tidak dapat langsung mencantumkan berita dari perusahaan pers semacam itu.

Kenapa? Perusahaan platform nantinya wajib menjalin kerjasama dengan perusahaan pers “pemilik” berita sebelum menyiarkan karya pers. Itulah yang disebut publishers rights. Perusahaan pers punya hak untuk dibayar terhadap produk-produk yang dihasilkannya. Maka perusahaan penyebar informasi atau platform digital wajib membayar kepada perusahaan pers setiap menyiarkan berita dari perusahaan pers.
    
Kabarnya dalam proses penggodokan perpres ini semua pihak yang terkait sudah dilibatkan. Sudah didengarkan. Dari situ pula terkuak, sejatinya, masih banyak perbedaan prinsipil dari para pihak. Masih ada keraguan dari beberapa pihak, rancangan perpres ini bakal benar-benar mampu menghasilkan eko sistem pers yang kondusif menjaga kemerdekaan pers. Google, misalnya, menilai rancangan yang diajukan justru masih akan berdampak negatif pada ekosistem berita digital yang lebih luas.
  T
Terakhir, dua hari silam, beberapa organisasi wartawan pun, seperti AJI, AMSI dan lainnya, membuat petisi menolak kelas draf perpres ini.
    
Walaupun demikian, faktanya, naskah rancangan perpres tersebut hari-hari ini mau dikirim Kementerian Kominfo ke Presiden Joko Widodo untuk segera ditandatangani. Setelah terjadi pergantian Menkominfo, rancangan perpres ini malah dipercepat untuk sampai di meja presiden.

Kontradiktif
    
Filosofi dalam UU Pers 40/1999 tentang Pers, antara lain, tidak ada satu pihak pun yang boleh mencampuri urusan pers. Pers ditempatkan sebagai lembaga independen. Pers yang menentukan bagaimana mereka melaksanakan kemerdekaan. Pers sendiri pula yang membuat regulasi soal pers.
    
Dalam hal ini yang menilai kualitas karya pers adalah  pers sendiri. Bukan lingkungan di luar pers. Maka tanggung jawab pemeliharaan kualitas pers berada di pundak pers sendiri juga. Bukan di pihak lain. Tidak juga di pihak pemerintah cq presiden.
    
Dari judul perpres ini saja sudah jelas terlihat mengandung kontradiktif. Simaklah judul perpres, “Tanggung Jawab Perusahaan Platform Digital untuk Mendukung Jurnalisme Berkualitas.”  

Hal Ini berarti pers telah menyerahkan dan  mengandalkan proses peningkatan kualitas pers kepada perusahaan platform digital. Ini tentu mengandung kontradiksi.

Perusahaan platform digital bukanlah perusahaan pers atau badan hukum jurnalistik. Mereka perusahaan yang menyediakan saluran pipa informasi dari seluruh pihak di seluruh dunia. Dari manapun. Perusahaan platform digital sama sekali tak terkait langsung dengan pembuatan karya-karya pers. Itulah sebabnya mengapa mereka tidak memiliki wartawan.
   
Pertanyaannya, mengapa dalam perpres kita perlu menyerahkan dan mengandalkan kualitas karya pers atau jurnalistik kepada perusahaan platform digital? Kepada lembaga yang tidak mengurusi proses pembuatan berita? Mereka pun tidak kompeten soal apakah sebuah karya jurnalistik itu berkualitas atau tidak.
    
Di sinilah kalau perpres disahkan, bermakna kelak pers telah menyerahkan urusan peningkatan kualitas karya jurnalistik kepada lembaga yang tidak kompeten dan tidak terlibat dalam proses peningkatan kualitas karya jurnalistik. Ironis dan kontradiksi.
    
Lewat perpres ini pula, jika jadi disahkan, pers telah memberikan sebagian kewenangan kepada presiden. Pemerintah (baik presiden maupun aparatnya) selama ini menurut UU Pers tidak diperkenankan ikut campur dalam urusan pers. Namun dengan adanya tawaran pengesahan perpres ini, maka dibukalah pintu untuk pemerintah mencampuri urusan pers. Lewat perpres ini pemerintah diberi karpet merah untuk ikut kembali mengatur dunia pers yang dalam UU Pers jelas sebetulnya tidak diperbolehkan.
    
Adanya perpres ini memungkinkan di kemudian hari pemerintah membuat berbagai regulasi di bidang pers. Dengan kata lain, perpres ini merupakan undangan terbuka kepada perintah untuk “cawe-cawe” di dunia pers.

Dan sekali pemerintah diizinkan masuk ke dalam dunia pers, sejarah telah membuktikan, betapa pemerintah (siapapun) bakal tergiur untuk menciptakan “pers yang berkualitas dalam mendukung pemerintah.” Pers bakal dikebiri. Pers dibuat mandul!
   
Ini jelas kontradiktif yang terang benderang.

Asas Timbal Balik
    
Sebagaimana dalam bidang lainnya, di lapangan bisnis juga berlaku asas timbal balik atau asas resiprositas. Artinya, kalau kepada mitra bisnis kita memberlakukan suatu ketentuan, maka mitra kita juga bakal memperlakukan ketentuan itu buat kita.

Demikian juga dalam konsep Rancangan Peraturan Presiden tentang Tanggung Jawab Perusahaan Platform Digital untuk Mendukung Jurnalisme Berkualitas, perusahaan platform digital wajib membayar hak-hak “kepemilikan” karya jurnalistik perusahaan pers, atau kemudian  dikenal dengan sebutan “publisher right” kepada perusahaan pers.
   
Nah, kalau asas ini dipaksa diterapkan kepada perusahaan platform digital, maka sebaliknya perusahaan platform digital juga meminta agar asas ini sama-sama diterapkan kepada perusahaan pers. Jadi fair. adil.
   
Maka setiap perusahaan platform digital menyiarkan karya pers atau karya jurnalistik atau berita, yang diambil dari perusahaan pers, perusahaan platform digital itu wajib membayar sejumlah dana ke perusahaan pers. Katakanlah karena perusahaan pers memiliki publisher right atau hak penerbit.

Sebagai konsekuensi dari asas ini, maka sebaliknya, jika perusahaan pers ingin mengambil data apapun dari perusahaan platform digital, nantinya tidak lagi gratis. Otomatis juga harus bayar.
    
Pada kasus seperti ini, untuk memperkuat fakta berita dan struktur karya, perusahaan pers tidak lagi gratis mengambil dari perusahaan platform digital. Semua data, informasi yang diambil dari perusahaan platform digital, harus dibayar perusahaan pers. Tak ada lagi yang gratis. Padahal sebelumnya perusahaan pers boleh mengambil data, fakta dan infografik apapun dari platform digital secara gratis.
   
Kelak sebagai konsekuensinya adanya pengaturan publisher right di perpres, semua kutipan dan data apapun dari platform digital harus dibayar.

Bakal Rontok 70 Persen
    
Sekarang kita tinggal berhitung, lebih banyak untung atau rugi jika perpres tersebut disahkan dan diberlakukan? Lebih banyak manfaatnya atau mudharatnya?
    
Jawaban gamblang: jika perpres soal ini jadi disahkan, maka sekitar 70-80 persen perusahaan pers digital bakal rontok. Mati. Dan kemerdekaan pers terhambat.
    
Pertama, selama ini sebagian konten dari perusahaan pers online atau digital, isinya sekitar 70-80 persen mengutip dan mengambil data dari perusahaan platform digital secara gratis. Dalam keadaan demikian saja, perusahaan pers masih kembang kempis, bahkan tekor.

Apalagi kalau kelak masih harus membayar kepada perusahaan platform digital. Sudah pasti mereka bakal menggali kuburnya sendiri alias akan mati bangkrut. Hanya sebagian kecil yang bertahan.
    
Dalam bahasa yang lebih mudah, berlakunya perpres itu bukannya membuat ekosistem pers Indonesia tumbuh subur dan sehat, malah sebaliknya menjadi virus pembunuh massal terhadap pers Indonesia. Pers Indonesia mau tidak mau, suka tidak suka, akan bertumbangan satu persatu.
    
Apakah yang bertahan inilah yang disebut sebagai penghasil “karya jurnalistik berkualitas?” Tentu tidak.
    
Ini masuk alasan kedua. Pola itu selain lebih liberal dari liberalisme, juga menjadikan konfigurasi kehadiran pers tidak lagi berwarna. Karya pers atau karya jurnalistik yang pendapat nya berlain lainan , karena dinilai “tidak berkualitas” sudah “dibunuh” lebih dahulu lewat perpres. Maklumlah harus bayar ke perusahaan platform digital.
    
Dalam keadaan jumlah pers cuma sedikit, pers justru akan lebih mudah dikontrol negara atau pemerintah. Pada titik ini kehadiran pers digital yang harusnya juga selaras dengan pertumbuhan demokrasi, malah mematikan demokrasi.

Sadar atau tidak, mungkin ini mendekatkan kita ke doktrin komunis China. Biarkanlah semua warna bunga (teratai) boleh tumbuh, tapi nanti hanya bunga (teratai) hitam saja yang dibiarkan bertahan berkembang. Lainnya dibabat dan dikondisikan tidak tumbuh.

Setelah membiarkan banyak pers digital lahir, perpres berlaku sebagai mata pisau yang “memotong” sebagian besar pers digital dan membiarkan segelintir yang hidup sehingga kelak mudah dikendalikan.

Dari sini nyata terlihat, rancangan perpres yang amat bertentangan dengan UU Pers yang membangun dunia jurnalistik yang independen, bermutu, mandiri dan swaregulasi. Itulah amanah reformasi. Amanat untuk menjadikan Indonesia lebih demokrasi. Kalau kemudian rancangan perpres disahkan isinya boleh disebut menghianati UU Pers karena anti demokrasi.

Ketimbang mengurusi pers sebaiknya pemerintah cq Kominfo lebih baik mengurus hal yang memerlukan fokus dan perhatian. Misalnya coba agar pembangunan BTS benar-benar terwujud tanpa korupsi sehingga seluruh desa benar-benar dapat menikmati internet. Bukan malah “cawe-cawe “ urusan pers yang menjadi tanggung jawab pers.

*Penulis adalah Pakar Hukum dan Etika Pers

Populer

Jaksa Agung Tidak Jujur, Jam Tangan Breitling Limited Edition Tidak Masuk LHKPN

Kamis, 21 November 2024 | 08:14

MUI Imbau Umat Islam Tak Pilih Pemimpin Pendukung Dinasti Politik

Jumat, 22 November 2024 | 09:27

Kejagung Periksa OC Kaligis serta Anak-Istri Zarof Ricar

Selasa, 26 November 2024 | 00:21

Rusia Siap Bombardir Ukraina dengan Rudal Hipersonik Oreshnik, Harga Minyak Langsung Naik

Sabtu, 23 November 2024 | 07:41

Ini Identitas 8 Orang yang Terjaring OTT KPK di Bengkulu

Minggu, 24 November 2024 | 16:14

PDIP: Terima Kasih Warga Jakarta dan Pak Anies Baswedan

Jumat, 29 November 2024 | 10:39

Sikap Jokowi Munculkan Potensi konflik di Pilkada Jateng dan Jakarta

Senin, 25 November 2024 | 18:57

UPDATE

Gegara Israel, World Central Kitchen Hentikan Operasi Kemanusiaan di Gaza

Minggu, 01 Desember 2024 | 10:08

Indonesia Harus Tiru Australia Larang Anak Akses Medsos

Minggu, 01 Desember 2024 | 09:58

Gaungkan Semangat Perjuangan, KNRP Gelar Walk for Palestine

Minggu, 01 Desember 2024 | 09:36

MK Kukuhkan Hak Pelaut Migran dalam UU PPMI

Minggu, 01 Desember 2024 | 09:18

Jet Tempur Rusia Dikerahkan Gempur Pemberontak Suriah

Minggu, 01 Desember 2024 | 09:12

Strategi Gerindra Berbuah Manis di Pilkada 2024

Minggu, 01 Desember 2024 | 08:53

Kubu RK-Suswono Terlalu Remehkan Lawan

Minggu, 01 Desember 2024 | 08:40

Pasukan Pemberontak Makin Maju, Tentara Suriah Pilih Mundur dari Aleppo

Minggu, 01 Desember 2024 | 08:30

Dirugikan KPUD, Tim Rido Instruksikan Kader dan Relawan Lapor Bawaslu

Minggu, 01 Desember 2024 | 08:06

Presiden Prabowo Diminta Bersihkan Oknum Jaksa Nakal

Minggu, 01 Desember 2024 | 07:42

Selengkapnya