Berita

Pakar hukum pers dan kode etik jurnalistik, Wina Armada Sukardi/Net

Publika

Kenapa Publisher Right Platform Digital Sepatutnya Ditolak Masyarakat Pers?

JUMAT, 17 FEBRUARI 2023 | 11:22 WIB | OLEH: WINA ARMADA SUKARDI

RAPAT koordinasi pembahasan draf Peraturan Presiden (Perpres) terkait publisher right platform digital yang  dihadiri oleh anggota Dewan Pers, para wakil konstituen Dewan Pers, unsur perwakilan Kementerian Politik Hukum dan Keamanan (Kemkopolhukam), serta wakil Sekretariat Negara pada 15 Februari lalu berlangsung ricuh. Belum masuk ke pokok perkara, rapat sudah gaduh dan terpaksa dihentikan untuk ditunda.

Konsep publisher right platform digital sendiri, sebenarnya, belum pernah dibahas secara tuntas di masyarakat pers, dan masih cenderung menjadi pemikiran personal.

Draf konsep publisher right platform digital tiba-tiba disodorkan ke pemerintah oleh beberapa personal Dewan Pers periode yang lalu. Meski telah ditandatangani oleh Ketua Dewan Pers saat itu, M. Nuh, sejatinya, beberapa anggota Dewan Pers yang lalu sendiri mengaku konsep itu belum disahkan dalam rapat pleno. Detailnya belum dibahas. Hanya pada waktu injury time peralihan dari anggota Dewan Pers lama ke Dewan Pers baru, draf itu tiba-tiba sudah “disorong” ke pemerintah sebagai gagasan Dewan Pers.

Saya secara personal, sudah sejak awal menegaskan untuk berhati-hati menerapkan draf konsep publisher right  platform digital tersebut. Belakangan bahkan saya lebih jauh lagi tegas menolak draf publisher right platform digital itu. Secara terbuka saya menganjurkan kepada para wartawan senior untuk menolak konsep ini diatur dan ditetapkan oleh pemerintah khususnya melalui Perpres.
     
Mengundang Pemerintah Mengatur Pers


UU Pers No 40 Tahun 1999 merupakan buah reformasi yang sampai kini masih murni. Dalam UU Pers sudah jelas, pemerintah tidak diberi ruang untuk ikut campur dalam urusan pers. Pengalaman telah membuktikan, jika pemerintah (siapapun) diberi kesempatan untuk ikut mengatur pers, betapapun kecilnya, maka kesempatan itu sudah pasti dimanfaatkan untuk menanamkan pengaruh pemerintah kepada pers. Sejarah telah membuktikan hal itu.

Dengan demikian jelas, permintaan sebagian anggota pers agar pemerintah ikut campur lagi dalam  urusan pers melalui publisher right platform digital merupakan kemunduran nyata dan mendasar dari prinsip independensi pers dari campur tangan pemerintah. Langkah itu merupakan bentuk nyata pengkhianatan terhadap swaregulasi dalam UU Pers. Memang konsep publisher right platform digital bukan dari pemerintah, namun begitu pemerintah disodorkan draf ini, tak heran jika pemerintah langsung “menyambar” kesempatan ini. Seperti botol mendapat tutupnya.

Tak Ada Dasar UU Pers


Tak ada satupun pasal atau ayat dalam UU Pers yang memberikan pintu masuk pemerintah untuk ikut campur mengatur pers, termasuk dalam bidang administrasi dan korporasi pers. UU Pers hanya memberikan satu ketentuan yang memungkinkan pemerintah mengeluarkan Keppres, yaitu soal pengangkatan anggota Dewan Pers. Itu pun presiden sebagai kepala pemerintahan. Itu pun presiden tidak memiliki kewenangan memilih melainkan hanya mengesahkan. Selebihnya semua pintu tertutup.

Dari mana dasar dan cantolan pemerintah mau mengeluarkan Perpres publisher right platform digital di UU Pers? Tak ada. Tak ada sama sekali. Jadi peraturan pemerintah soal publisher right platform digital sama sekali tidak berdasarkan UU Pers. Bahkan peraturan pemerintah itu jelas-jelas bertabrakan dengan prinsip-prinsip UU Pers. Saya tentu tidak paham jika pemerintah memakai cantolannya dari langit ke tujuh. Tidak paham juga kalau pemerintah memang nekat tidak mau menghormati UU Pers.

Memberi Kepala untuk Dipenggal


Ada yang berdalih, publisher right platform digital hanya mengatur soal perusahaan pers. Bisnis pers saja. Bukan  soal pemberitaan. Tak ada sangkut pautnya dengan pembicaraan! Logika ini logika “konyol” dan “anhistorikal.” Sebuah logika sesat. Kenapa?

Pertama, dalam UU Pers sama sekali tidak dipisahkan mana aspek pemberitaan mana aspek perusahaan. Keduanya dianggap satu kesatuan yang tidak boleh dicampuri oleh pemerintah. Menganggap pemerintah hanya boleh mencampuri ranah bisnis atau perusahaan pers, tetapi tidak boleh mengatur soal pemerintahan, merupakan sudut pandang yang tidak total sehingga sampai pula kepada kesimpulan yang tidak total. Mencampuri bisnis pers secara tidak langsung juga mencampuri urusan pers secara keseluruhan. Omong kosong mencampuri perkara perusahaan pers tidak bakalan mencampuri urusan pemberitaan pers.

Kedua, sejarah sudah membuktikan, pengaturan yang bersifat administratif saja, akhirnya menjadi alat pemerintah untuk  membelenggu pers. Contohnya, SIUPP atau Surat Izin Usaha Penerbitan Pers. Sejak awal, dulu pemerintah bilang, SIUPP ini hanya soal administrasi saja, tak terkait sama sekali dengan pemberitaan. Kenyataan SIUPP justru menjadi senjata ampuh pemerintah Orde Baru untuk menindas pers. SIUPP menjadi komunitas politik dengan harga mahal.

Ketiga, kalau pemerintah diberikan kesempatan membuat regulasi soal publisher right platform digital, masyarakat pers jangan lugu. Harus diingat, agar dapat operasional regulasi tentang publisher right platform digital pasti harus pula diikuti dengan berbagai peraturan pelaksanaan lainnya. Nah, dari sana menjadi semakin terbuka kemungkinan ada peraturan pemerintah yang tidak sesuai dengan jiwa UU Pers.

Selain itu, keempat, perlu dipahami konsep publisher right platform digital dibuat belum berdasarkan suatu riset yang mendalam mengenai apa masalah keperluan mayoritas pers online. Belum diteliti bagaimana seandainya publisher right platform digital diterapkan, apa untung ruginya buat pers digital Indonesia. Dasarnya baru pada asumsi-asumsi belaka.

“Jika publisher right platform digital diterapkan, maka 80 persen pers digital yang merupakan startup, akan mengalami persoalan,” kata seorang pengurus perusahaan pers online.

Konsep publisher right platform digital belum menggali kemungkinan kerugian apa saja yang bakal diderita digital. Keinginan menjadi napas “kesinambungan” hidup pers malah dapat menjadi bumerang berubah menjadi mata pedang yang siap menusuk ke tubuh pers.

Meminta pemerintah masuk ikut mengatur regulasi tentang pers, bagaikan memberikan leher pers untuk dipenggal oleh pemerintah.

Karya pers online atau digital Indonesia banyak yang disebarluaskan atau ditayangkan oleh platform digital asing, seperti terutama tetapi tidak terbatas pada google dan yang sejenis. Padahal mereka tidak membayar apapun kepada pers Indonesia.

Maka, demikian pemikiran penyusun konsep publisher right platform digital, mereka ke depan harus dipungut bayaran. Mereka harus membayar setiap penayangan karya-karya perusahaan pers digital. Hal ini karena perusahaan pers Indonesia mempunyai hak (cipta) terhadap karyanya. Jadi tak dapat sembarangan disebar luas. Perusahaan manapun yang mau menyebarkan harus bayar.

Selintas konsep ini menarik dan bagus. Konsep ini seakan memberikan angin segar terhadap perlindungan finansial perusahaan pers Indonesia. Namun jika didalami lebih lanjut, penerapan publisher right platform digital pada ekosistem pers digital Indonesia justru dapat berdampak negatif terhadap kehidupan pers digital Indonesia.

Pertama, jika konsep publisher right platform digital benar-benar diterapkan, pihak asing kemungkinan tidak menolak. Tapi mereka menuntut adanya keadilan. Kira-kira, “kalau gue ngambil punya loe bayar, sebaliknya loe kalau ngambil punya gue, juga harus bayar!.”

Inilah yang dalam kaedah hukum atau kontrak sosial disebut dengan istilah reprositas. Asas timbal balik.

Nah sekarang kita hitung-hitungan, apakah penerapan asas ini saat ini lebih menguntungkan pers kita, atau malah justru merugikan.

Secara jujur harus kita akui, kemampuan pers online atau digital Indonesia menghasilkan berita yang menarik dan bermutu masih sangat lemah. Saat ini, hampir 80 persen pers digital kita masih mengandalkan konten dari platform seperti google. Ini artinya, kalau konsep publisher right platform digital pers 80 persen pers digital Indonesia yang selama ini masih gratis menikmati informasi dari platform asing kelak harus membayar kepada mereka. Sudah sanggupkah?

Perusahaan-perusahaan pers digital atau online kita sekitar 85 persen masih “ngos-ngosan” dan tidak sehat secara ekonomis. Pada umumnya perusahaan pers digital atau online Indonesia, adalah perusahaan-perusahaan yang belum mapan. Perusahaan-perusahaan yang untuk survive saja masih setengah mati. Tak heran sebagian besar wartawannya malah tidak digaji. Penulis luar pihak ketiga pun yang tulisannya dibuat masih diperlakukan dengan gratis.

Nah, jika asas reprositas dalam konsep publisher right platform digital dilaksanakan, kemungkinan, bukan saja sebagian besar tidak sanggup membayar, tetapi juga bakalan rontok satu persatu. Tak ada sama sekali sinar “kesinambungan” hidup untuk pers digital yang digembar-gemborkan dari kehadiran konsep publisher right platform digital. Justru yang ada malah muncul tanda-tanda kematian.

Selama ini yang terjadi justru sebaliknya. Berita atau informasi dari perusahaan online di Indonesia yang kecil-kecil itu penyebaran sangat terbatas. Jangankan tingkat internasional, pada tingkat nasional saja tak dikenal. Setelah disebarkan oleh platform asing, justru viewer atau pembacanya menjadi jauh tambah besar. Dan mereka pun sebagai memperoleh hak royalti dari pembaca platform asing yang diatur oleh perusahaan-perusahaan asing.  Dengan kata lain, platform perusahaan asing itu tidak gratis-gratis amat.

Pembatasan UU Hak Cipta

Selain UU Pers, perlu juga diingat ada UU No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Dalam UU ini semua hasil ciptaan yang sudah diwujudkan dilindungi. Karya-karya itu dilindungi hak ciptanya. Meski demikian, dalam Bab VI  UU Hak Cipta ada pembatasan perlindungan hak cipta. Saya beberapa kali tampil jadi ahli pers di pengadilan terkait dengan persoalan hak cipta di bidang pers. Pendapat saya tegas: mengutip atau mengambil informasi dari pers lain, diperbolehkan, dan bukan merupakan pelanggaran hak cipta.

Saya merujuk kepada pasal 43 UU Hak Cipta yang dengan tegas menyebut ada perbuatan yang  tidak dianggap sebagai pelanggaran hak cipta. Pembatasan itu antara lain terdapat pada pasal 43 huruf c yang menegaskan “Pengambilan berita aktual, baik seluruhnya maupun sebagian dari kantor berita, Lembaga Penyiaran, dan surat kabar atau sumber sejenis lainnya dengan ketentuan sumbernya harus disebutkan secara lengkap.”

Dengan demikian dalam kehidupan demokrasi, UU Hak Cipta sudah menegaskan tidak ada royalti untuk penyebaran berita asal sesuai UU Hak Cipta. Pendapat saya umumnya diperhatikan pihak pengadilan. Tentu beda untuk karya cipta yang lain seperti film dan sebagainya.

Penerapan pembayaran untuk pers selain sejak awal tidak sesuai dengan mekanisme tradisi dan kemerdekaan pers, juga bertentangan dengan UU Hak Cipta. Jika publisher right platform digital diterapkan juga bakal bertabrakan dengan ketentuan UU Hak Cipta soal kebebasan pers mengutip informasi dari sumber lain.

Cabut dan Pakai Peraturan Dewan Pers


Cara pemerintah melakukan treatment terhadap rancangan publisher right platform digital juga sudah menunjukkan gejala awal, pemerintah ingin mengambil peran besar dalam regulasi soal ini. Memang kalau Perpres sih itu ranah dan otoritas pemerintah. Namun ini kan sudah menyangkut pers. Seharusnya Dewan Pers sebagai representasi masyarakat pers mengingatkan pemerintah tak mengambil peran Dewan Pers yang memfasilitasi peraturan-peraturan di bidang pers.

Dalam kontek ini Dewan Pers terkesan cenderung belum siap mengantisipasi pembuatan regulasi ini dan peluang ini diambil dengan sangat baik dan manis oleh pemerintah. Mana ada pemerintah yang mau menolak menerima “setengah nyawa” dari pers diserahkan kepada pemerintah.

Dari segi substansi, konsep publisher right platform digital lebih banyak merugikan pers Indonesia ketimbang keuntungannya. Lebih banyak mudharatnya ketimbang kemanfaatannya. Maka konsep publisher right platform digital memang sudah layak ditolak.

Solusi


Ada beberapa usulan menghadapi hal ini. Pertama, tunda pengeluaran regulasi soal konsep publisher right platform digital dalam semua bentuknya. Ketimbang bikin gaduh, lebih baik ditelaah dulu secara lebih seksama.

Kedua, buka semua isi konsep publisher right platform digital ke masyarakat pers. Jangan ada dusta di antara kita. Jangan hanya ”elite” pers maupun pemerintah saja yang mengetahui isinya. Selama ini alur substansi publisher right platform digital terasa misterius seperti kerja agen rahasia. Kebiasan yang terjadi pada orde baru itu perlu ditinggalkan. Buka saja seluruh isinya tanpa harus takut. Toh tak ada rahasia negara. Jangan percaya satu dua orang yang sudah mengatasnamakan masyarakat pers.

Ketiga, sosialisasikan dulu isi publisher right platform digital tersebut, sehingga sebanyak mungkin masyarakat pers lebih memahami apa isinya.

Keempat, libatkan sebanyak mungkin masyarakat pers untuk berpartisipasi memberikan saran, kritik dan usulan terhadap draf publisher right platform digital. Dari sana barulah dirumuskan untuk kepentingan bersama, kalau memang masih diperlukan publisher right platform digital. Seandainya mayoritas masyarakat pers merasa tidak memerlukan, ya sudah tanggalkan.

Berikutnya kelima, sebaiknya urusan ini tidak lagi ditangani oleh pemerintah. Walaupun pemerintan mungkin berniat baik, tapi keterlibatan pemerintah dalam dunia pers tetap bakal menimbulkan kegaduhan. Pemerintah bakal memghadapi sejumlah tudingan yang intinya dinilai mau turut campur urusan pers lagi.

Berikan sepenuhnya urusan ini kepada Dewan Pers. Biarlah Dewan Pers bersama masyarakat pers yang menentukan apakah sudah saatnya  publisher right platform digital diterapkan, atau belum. Jika belum tentu tak dapat dilanjutkan.

Sebaliknya jika masyarakat pers memandang publisher right platform digital dengan isi yang telah direvisi dan mewakili aspirasi masyarakat pers sudah dibutuhkan, dapat dibuat melalui Peratusan Dewan Pers sebagaimana telah diatur dalam pasal 15 ayat 2 huruf “f ” UU Pers. Di situ disebut salah satu tugas Dewan Pers adalah memfasilitasi pembuatan peraturan pers.

Penulis adalah pakar hukum pers dan kode etik jurnalistik


Populer

Prabowo Perintahkan Sri Mulyani Pangkas Anggaran Seremonial

Kamis, 24 Oktober 2024 | 01:39

KPK Usut Keterlibatan Rachland Nashidik dalam Kasus Suap MA

Jumat, 25 Oktober 2024 | 23:11

Pemuda Katolik Tolak Program Transmigrasi di Papua

Rabu, 30 Oktober 2024 | 07:45

Akbar Faizal Sindir Makelar Kasus: Nikmati Breakfast Sebelum Namamu Muncul ke Publik

Senin, 28 Oktober 2024 | 07:30

Muncul Petisi Agus Salim Diminta Kembalikan Uang Donasi

Rabu, 23 Oktober 2024 | 02:22

Bahlil Tunjukkan Kesombongan pada Prabowo

Jumat, 25 Oktober 2024 | 13:37

Petisi Cabut Donasi Agus Salim Diteken Lebih dari 125 Ribu Orang

Kamis, 24 Oktober 2024 | 00:43

UPDATE

Prabowo Bareng Gibran Hadir di Deklarasi GSN

Sabtu, 02 November 2024 | 15:47

Komisi V Ingatkan Peningkatan Pelayanan Sarana Prasarana Menjelang Nataru

Sabtu, 02 November 2024 | 15:37

Harga CPO Meroket ke Level Tertinggi di Awal Bulan

Sabtu, 02 November 2024 | 15:09

Jenazah Kebakaran Pabrik Pakan Ternak Belum Berhasil Diidentifikasi

Sabtu, 02 November 2024 | 14:50

Lagi Santai Ngopi, Prajurit TNI Dikeroyok Ormas di Jaksel

Sabtu, 02 November 2024 | 14:30

BKPM Bidik Investasi Rp1.900 Triliun di 2025 dari Sektor Ini

Sabtu, 02 November 2024 | 14:29

Saham Eropa Menghijau, Indeks DAX Bangkit 0,93 Persen

Sabtu, 02 November 2024 | 14:04

Tumpukan Duit Judi Slot

Sabtu, 02 November 2024 | 13:54

3 Tersangka Baru Judi Slot8278 Terancam Penjara 20 Tahun

Sabtu, 02 November 2024 | 13:39

Tak Hanya iPhone 16, Pemerintah Juga Bakal Blokir IMEI Google Pixel

Sabtu, 02 November 2024 | 13:14

Selengkapnya