PADA bulan Desember 1997, pada meja yang penuh dengan orang yang mengelilinya di Presidential Palace di Tatarstan, Rusia, sekelompok pejabat Rusia dan dan Chechnya bersama tamu mereka berada pada sebuah jamuan makan malam bersama.
Ketegangan terjadi beberapa hari sebelumnya antara mereka. Chechnya baru saja menyatakan kemerdekaannya melalui perang gerilya terhadap pasukan Rusia. Mereka mengejutkan dunia dengan memaksa pasukan Rusia untuk ditarik mundur dari Chechnya dan memenuhi permintaan mereka agar mengakui kemerdekaan Chechnya.
Orang-orang Chechnya sangat mencurigai para akdemisi dan politisi barat yang telah mengumpulkan mereka di ruangan tersebut, orang-orang Chechnya itu takut kalau-kalau mereka adalah bidak-bidak caturnya Rusia untuk membelokkan arah perjuangan kemerdekaan mereka.
Di saat yang sama, orang-orang Rusia takut acara ini akan melegitimasi apa yang sedang orang-orang Chechnya perjuangkan. Namun setelah sekian jam mereka ruangan itu, ketegangan hilang. Sang negosiator atau fasilitator acara itu berdiri:
“
Sampai beberapa hari lalu, Saya masih bersama ibu saya di New Mexico, Amerika. Ia sedang berjuang menghadapi kanker. Saya berdebat dengannya apakah saya akan jadi memfasilitasi acara ini atau tidak. Ikut pada pertemuan ini atau tidak. Tetapi ketika saya katakan bahwa tujuan saya datang adalah untuk membantu memfasilitasi dialog diantara kalian, di tempat bersejarah ini, ia menyuruh saya untuk datang. Tidak ada lagi perdebatan, dan disinilah saya sekarang. Saya angkat gelas saya ini untuk para Ibuâ€. Suasana menjadi hening selama beberapa lamanya.
Satu bulan setelah pertemuan itu, kedua pihak tetap pada pendiriannya dan para pemimpin gerilyawan Chechnya dan para pemimpin garis keras memaksa presiden baru mereka untuk turun.
Kelompok baru muncul dan mereka bersikukuh tidak akan berbicara dengan pejabat Rusia seperti yang dilakukan oleh presiden sebelumnya. Mereka tidak mau duduk dan berpikir bersama lagi.
Diambil dari buku karya William Isaacs,
Dialogue: The Art of Thinking Together.
Hari ini memasuki hari ke-24 invasi Rusia ke Ukraina. Anda boleh menyebutnya invasi, perang atau
pre-emptive action sebagaimana Amerika dan sekutunya menamai agresi-agresi mereka ke berbagai negara.
Apa pun istilahnya, itu adalah peperangan, dan yang menjadi korban utamanya selalu rakyat. Perang Ukrainia bisa jadi disebabkan oleh usaha Amerika untuk menyabotase proyek Nord Stream II antara Jerman dan Rusia.
Sebagian lagi menyatakan karena Amerika akan menempatkan rudal balistiknya di Ukraina, di halaman rumah Rusia. Bisa jadi alasan lain yang belum terungkap, tetapi yang jelas perang itu disebabkan oleh kegagalan diplomasi. Kegagalan dialog.
Pagi tanggal 24 Februari 2022 dunia benar-benar terkejut. Rusia tidak main-main dengan ancamannya untuk melakukan aksi militer jika jalan diplomasi gagal. “
I urge NATO to laydown their arms and leave Ukraine†kata Vladimir Putin singkat dalam siaran TV
Russia Today beberapa hari setelah invasi.
Tidak lama setelah invasi itu, seluruh satelit milik Amerika dan sekutunya memblokade siaran-siaran TV Rusia. Dunia dibungkam, dan berita yang boleh didengar hanyalah dari corong berita milik Amerika dan sekutunya. Berita merekalah yang paling
shahih dan berita selain dari mereka
dha’if. No more question!
Semua alasan peperangan hanya bermuara pada satu masalah: gagalnya dialog, atau dalam bahasa politis: gagalnya diplomasi. Dialog yang saya tuliskan disini adalah usaha untuk mencapai kesepakatan bersama yang menguntungkan keduanya. Bukan dialog dengan tujuan memaksakan kehendak satu pihak untuk diterima pihak lainnya.
Mari kita kita masuk ke lorong-lorong waktu sejarah. Lebih dari 14 abad lalu, Nabi Muhammad SAW menandatangani perjanjian Hudaibiyah dengan kaum yang menentangnya, walau seetnis bahkan sesuku dengannya.
Perjanjian itu dinilai oleh sebagian sahabatnya sebagai perjanjian yang tidak adil, yang menguntungkan pihak musuh. Tetapi Rasulullah tidak melihat untung rugi dalam segi kekuatan, dan menjaga darah kaum muslimin tidak tertumpah adalah sebuah kemenangan tersendiri. Rasulullah SAW melihat Islam sebagai agama yang mengutamakan dialog, mengedepankan diplomasi ketimbang arogansi.
Demikian pada masa-masa kenabian, rasulullah selalu mengutamakan perdamaian dan dialog. Utusan-utusan beliau dikirim ke berbagai wilayah kekuasan dari persia hingga roma untuk melakukan dialog.
Beliau dengan kebersihan akal dan hatinya menyadari sepenuhnya tujuan Allah swt mengutusnya telah melihat dialog sebagai ujung tombak perjuangan kemanusiaannya, sebagai rahmat untuk semesta alam.
Tak lama setelah Rasulullah SAW wafat, angin segar Islam sebagai agama dialog, berangsur hilang. Dialog diubah menjadi bai’at sepihak, dialog diubah menjadi keputusan pengangkatan melalui dewan formatur, dan tak lama setelahnya, mimbar-mimbar Islam yang dulu digunakan rasulullah untuk mengajak dialog, kalimat “
ta’aluw ila kalimatin sawa’..†telah diubah menjadi laknat dan cacian selama berabad. Esensi Islam tertutup pada sebagian besar kaum muslimin.
Dari sebuah masjid di pinggiran selatan Beirut, berdiri di atas mimbar seorang ulama Libanon yang terkemuka. Tak henti-hentinya beliau serukan persatuan muslimin, bahkan persatuan anak-anak bangsa di Libanon apa pun agama dan latar belakang politiknya.
As-Sayyid Muhammad Hussayn Fadhlullah, gelar ayyid yang disandangkan di depan namanya memang layak untuknya. Gelar yang menunjukkan bahwa beliau memiliki garis nasab yang bersambung kepada Rasulullah, dan kini pada pundak beliau memikul misi Rasulullah untuk mengantarkan Islam ke tengah masyarakat sebagai agama yang penuh kasih, agama yang mengedepankan akal dan hati, agama dialog.
Beliau selalu mendorong kita menggunakan kekuatan logika atau
Quwwatul manthiq ketimbang
Manthiqul Quwwah atau logika kekuatan. Namun demikian bukan berarti kita diam berpangku tangan terhadap kelompok arogan, kaum mustakbirin yang selalu memekasakan kehendaknya dengan bersembunyi di balik diplomasi-diplomasi palsu.
Beliau tidak segan-segan mendorong kaum tertindas untuk menggunakakan logika kekuatan melawan para penindas. Dialog tidak boleh dianggap sebagai sumber kelemahan, tetapi justru sebaliknya, dialog seharusnya menjadi puncak kekuatan manusia.
Pada tahun 1985, pasca aneksasi Israel ke wilayah Libanon bahkan hingga ibukota Beirut, pasukan Amerika dikirimkan untuk memperkuat kekuatan pasukan Israel. Setelah pidatonya yang berapi-api untuk melawan kekuatan barat, pejuang Hizbullah, Ahmad Katsir, meledakkan diri ke barak pasukan Amerika di dekat pelabuhan Beirut.
Ia seperti Mohammad Toha yang meledakkan diri di gudang mesiu Belanda, dan berkobarlah Bandung Lautan Api. Tidak lama kemudian Amerika hengkang dari Libanon dan tidak pernah lagi militer mereka menginjakkan kaki di Libanon.
Sejak itu Fadhlullah, sang dewa Hizbullah itu menjadi the most wanted person oleh CIA dan Mossad. Fadhlullah berhasil mempertontonkan bagaimana seharusnya dialog itu dimulai dan bagaimana seharusnya dialog itu diakhiri. Bagimana seharusnya Islam berperan dalam perdamaian.
Sebelum Fadhlullah berbicara tentang
Quwwatul Manthiq dan
Manthiqul Quwwah, founding father bangsa ini telah menggabungkan keduanya secara bersamaan, yang menghasilkan kemerdekaan Indonesia.
Konferensi-konferensi dunia digagas oleh putra-putra bangsa Indonesia. Ketika kekuatan mustakbirin tidak menerima dialog sebagai jalan terbaiknya, maka dengan
manthiqul quwwah bangsa kita melawannya, sejak HOS Cokroaminoto hingga Soekarno. Dan menang.
Perundingan kita bukan karena kita lemah, tetapi justru karena kita kuat, dan karena kita mencintai perdamaian. Itulah Islam, dan itulah yang disampaikan Fadhlullah kepada para hadirin dalam kajiannya. “Jika kalian ingin melihat Islam yang sesungguhnya, lihatlah bagaimana Islam di Indonesiaâ€.
Dialog adalah jalan para utusan Tuhan. Dialog adalah ajaran Tuhan. Ketika iblis menolak untuk sujud dihadapan Adam A.S, Allah tidak serta merta menghukumnya, tetapi Allah SWT bertanya apa yang menyebabkan ia tidak mau sujud dihadapan Adam A.S.
Bukankah Allah Maha Mengetahui? Bukankah Allah maha tahu tanpa diberi tahu? Tentu, tetapi Allah mengajarkan kepada mahluknya untuk mengedepankan dialog dan bukan menghakimi. “
Even Angel Askâ€, kata Jeffry Lang dalam judul bukunya.
Dan Lang benar, Malaikat pun bertanya mengapa Allah hendak menciptakan mahluk (manusia) yang akan menciptakan pertumpahan darah (dan menolak berdialog, tentu saja).
Dialog itu memang dimulai dari pertanyaan, kata Fadhlullah. Dan dialog itu akan berkualitas jika pihak yang diajak berdialog menguasai persoalan yang didialog-kan, masih menurut Fadhlullah. Kita mengusung dialog tetapi bukan berarti kita tidak akan pernah melawan dengan logika kekuatan jika kelompok arogan itu memaksakan kehendak.
Kita adalah pengikut Ali di Shiffin dan Nahrawan, dan kita bukan manusia seperti Hitler yang sekali melangkah kepada pertempuran takkan surut mundur untuk berdiplomasi, seperti katanya dalam pidatonya yang angkuh:
Sie können uns unterdrücken, sie können uns meinetwegen töten, kapitulieren werden wir nicht! (kalian dapat menindas kami, kalian dapat membunuh kami karena saya, tapi kami tidak akan pernah menyerah!).
Atau seperti tokoh komunis Spanyol, Isidora Dolores Ibárruri, yang dikenal sebagai “bunga semangat†Spanyol atau “
La passionariaâ€, yang menyerukan:
“
It is better to die on your feet rather than to walk crawling on your knees†(lebih baik mati berdiri diatas kedua kakimu ketimbang hidup merangkak dengan kedua lututmu).
Kita sebagai kaum muslimin para pengikut agama kedamaian, memiliki banyak tokoh dalam sejarah masa lalu yang menjadi tauladan yang dapat menggabungkan Manthiqul Quwwah dan Quwwatul Manthiq dan memproporsikan sebagaimana seharusnya. Tetapi darimana kita memulai dialog?
“
Where shall we begin?â€, kata Ali Shariati. Mulailah dari kita sendiri, itu seperti yang disabdakan baginda Nabi SAW: “
Ibda bi nafsikâ€. Mulailah dari diri kita sendiri. Dialog pada diri kita tidak pernah terhenti sejak kita bangun dari tidur hingga menjelang tidur.
Dialog antara mengambil yang baik atau yang buruk, yang baik atau yang terbaik, dan demikian seterusnya. Dahulu saya adalah seorang pengikut
ahlusunnah. Ketika pertanyaan-pertanyaan keagamaan dan kehidupan saya tak terjawab, saya mulai mendekati
mazhab yang membuka dirinya untuk pertanyaan-pertanyaan yang kritis, dan akhirnya saya memilih
mazhab ahlulbait ketika saya duduk di bangku SMA. Tapi seiring berjalannya waktu, saya menyadari bahwa cara yang saya pilih salah.
Kekecewaan demi kekecewaan saya alami ketika saya melontarkan pertanyaan-pertanyaan kritis kepada para ustadz di kalangan pengikut
mazhab ahlulbait. Fadhlullah menyatakan permasalahan pada penyebab gagalnya dialog adalah karena adanya kecenderungan kelompok mengikuti tradisi nenek moyang dan mengabaikan realita dan kebenaran.
Saya pernah mempersoalkan “
kafaah syarifah†atau keesetaraan pernikahan bagi wanita keturunan rasulullah yang menurut saya hanya terjadi di Indonesia dan Yaman. Bukankah Islam menolak rasisme seperti itu?
Satu dua hadits atau riwayat mungkin anda dapat sampaikan untuk mendukung itu. Tapi bukankah sedemikian banyak logika dan kenyataan tak terbantahkan bahwa kafaah itu tidak diajarkan oleh Islam? Bukankah dalam
mazhab ahlulbait tidak mengenal kafaah pernikahan seperti itu? Mengapa saya mempertanyaan persoalan itu?
Karena persoalaan ini telah menjadi belenggu bagi kaum
saadah dengan berkembangnya zaman (mengutip ucapan M. Hasyim Assegaf dalam bukunya “
Derita Putri-putri Nabiâ€). Tetapi dialog untuk persoalan ini menjadi tabu, lebih tabu ketimbang pembahasan tentang
af’al, sifat dan wujud Allah SWT.
Lebih tabu ketimbang pembahasan tentang sejarah Islam dan sahabat nabi yang telah menciptakan ketegangan umat Islam sepanjang sejarah. Mengapa tiba-tiba terjadi “kesepakatan†bersama di kalangan
saadah baik
ahlusunnah maupun
ahlulbait untuk persoalan ini?
Hemat saya ini karena kepentingan pribadi dan kelompok. Ini adalah hambatan terbesar terciptanya dialog yang sehat, yaitu ketidak-mampuannya menghilangkan kepentingan-kepentingan yang bukan merupakan kepentingan Islam dan berpegang pada satu pendapat serta mengelakkan pendapat lain yang merugikan kelompoknya.
Dari buku
Islam Agama Dialog ini, ada banyak kisah dialog yang diceritakan dalam Al Quran. Salah satu di antaranya yang menarik adalah kisah Nabi Yusuf A.S. Kisah Yusuf dalam Al Quran adalah kisah terpanjang dan terdetail yang diceritakan.
Yusuf A.S adalah ujung kenabian dari nabi Ya’yub A.S. Penderitaan dakwah Yusuf A.S tiada hentinya, semenjak ia kanak-kanak. Apa penyebabnya? Kedengkian. Apakah Yusuf tidak menceritakan keutamaan dirinya yang diberikan Allah kepada saudara-saudaranya?
Ya, tetapi justru karena itulah kebencian itu menjadi-jadi. Apa yang dapat mengakhirinya? Kesabaran dan kesuksesan perjuangannya dalam menjaga amanat. Jadi para aktivis Islam harus mampu memahami apakah kebenaran harus diucapkan pada waktu, tempat dan orang yang tepat?
Setelah itu aktivis Islam harus bersabar dalam mengedepankan dialog kepada saudara-saudaranya yang seiman atau tidak seiman, dan tidak boleh berpangku tangan dengan tuduhan-tuduhan keji, tetapi sebaliknya harus mampu membuktikan itu melalui dialog dan aksi nyata dan klaim bahwa kita pada kebenaran saja tidaklah cukup atau bahkan akan menjadikan masalah baru.
Kisah Yusuf ini dituliskan dalam syair indah yang ditulis oleh seorang penyair Palestina, Mahmud Darwish.
أَنا يوسÙÙŒ يا أَبي.
(Akulah Yusuf, wahai ayahku)
يا أَبي، إخوتي لا ÙŠØبّÙونني،
(Ayah, saudara-saudaraku tidak menyukaiku)
لا يريدونني بينهم يا أَبي.
(mereka tidak menginginkanku berada diantara mereka)
يَعتدÙون عليَّ ويرمÙونني بالØصى والكلامÙ
(mereka menyerangku, melempariku dengan batu dan kata)
يرÙيدونني Ø£ÙŽÙ† أَموت لكي يمدØÙوني
(mereka inginkan kematianku agar bisa mendoakanku)
وهم أَوصدÙوا باب بيتك دوني
(mereka tutup pintu rumahmu dan meninggalkanku)
وهم طردوني من الØقلÙ
(merekapun mengusirku dari halamanmu)
هم سمَّمÙوا عنبي يا أَبي
(mereka racuni anggurku)
وهم ØطَّمÙوا Ù„Ùعبي يا أَبي
(mereka hancurkan mainanku)
Øين مرَّ النَّسيم٠ولاعب شعرÙÙŠ غاروا
(ketika angin bermain dengan rambutku merekapun cemburu)
وثارÙوا عليَّ وثاروا عليك،
(mererka kobarkan kemarahan kepadaku, dan juga kepadamu)
Ùماذا صنعت٠لهم يا أَبي؟
(apa yang telah aku perbuat kepada mereka)
الÙراشات Øطَّتْ على كتÙيَّ،
(kupu-kupu hinggap di pundakku)
ومالت عليَّ السَّنابلÙØŒ
(tanaman gandum merunduk dihadapanku)
والطَّيْر٠Øطَّتْ على راØتيَّ
(burung pun tidur ditelapak tanganku)
Ùماذا Ùعَلْت٠أَنا يا أَبي،
(apa yang telah aku perbuat kepada mereka?)
ولماذا أَنا?
(dan mengapa aku?)
أَنتَ سمَّيتني ÙŠÙوسÙÙًا،
(engkau namai aku Yusuf)
وهÙÙ…ÙÙˆ أَوقعÙونيَ ÙÙŠ الجÙبّÙØŒ واتَّهموا الذّÙئب
(dan mereka melemparkanku ke sumur, lalu menuduh serigala)
والذّÙئب٠أَرØم٠من إخوتي
(padahal serigala lebih berbalis kasih dari saudara-saudaraku)
أبتي! هل جنَيْت٠على Ø£ÙŽØد عندما Ù‚Ùلْت٠إنّÙÙŠ
(ayah, apakah aku salah ketika kusampaikan:)
رأَيت٠أَØدَ عشرَ كوكبًا، والشَّمس والقمرَ، رأيتÙÙ‡ÙÙ… لي ساجدين؟
Sesungguhnya Aku melihat sebelas bintang, matahari dan bulan aku lihat mereka sujud kepadaku? (Q.S Yusuf:4)
Izinkan saya akhiri pengantar ini dengan sebuah kisah yang saya dapat dari sebuah kajian tasawuf oleh KH DR Jalaluddin Rakhmat beberapa belas tahun yang lalu.
Al Kisah pada masa dinasti Abbasiah, yakni pada masa kekhalifahan Al Makmun, dikenal seorang tokoh yang sangat masyhur kepandaiannya, namanya Kasyful Ghita’.
Keilmuan beliau dikenal di seantero negeri. Al Makmun dikenal sebagai khalifah yang memberikan insetif besar untuk para penerjemah buku-buku dan pengetahuan dari Yunani. Ia juga mengumpulkan para ulama pada masanya untuk melakukan kajian dan diskusi.
Begitu mendengar kisah tentang keilmuan Kasyful Ghita’, ia memerintahkan orangnya untuk mencarinya dan mengajaknya ke istana untuk berdialog dengan para ulama. Utusan itu sampailah ke rumah Kasyful Ghita.
Begitu melihat perawakan Kasyful Ghita’, utusan itu tidak mempercayainya. “Kasyful Ghita’ dikenal sangat pandai dan cerdas. Penampilamu tidak menunjukkan kecerdasannyaâ€.
Pada masa itu orang yang cerdas biasanya berpenampilan menarik, tampan, gagah. Sedangkan Kasyful Ghita’ berperawakan pendek dan wajahnya tidak tampan. Utusan kedua dikirim dan kejadian yang sama terulang, sang utusan menyatakan ia tidak menemukan Kasyful Ghita’.
Akhirnya pergilah Kasyful Ghita’ ke pasar, dan disana ia mencari seorang pandai besi. Akhirnya ia menjumpai pandai besi yang berperawakan tegap, tinggi, dan kebetulan tampan.
“Aku akan mengupahmu, tetapi dengan satu syarat: engkau harus mengaku sebagai Kasyful Ghita’. Kita akan pergi ke istana Al Ma’mun, dan sesampainya di sana mereka akan mengajakmu berdialog dengan berbagai pertanyaan tentang agama. Tetapi engkau tidak perlu menjawabnya, cukup katakan:
Fi hi qawlaan, ada dua pendapat tentang itu.. bahkan asisten saya akan dapat menjawabnya. Lalu biarkan aku menjawab pertanyaan itu," kata Kasyful Ghita’ kepada pandai besi itu.
Mereka pun sepakat.
Singkat cerita, sampailah mereka di hadapan khalifah Al Ma’mun dan dimulailah dialog itu. Pertanyaan demi pertanyaan dilontarkan dari para ulama kepada Kasyful Ghita’ palsu, dan ia selalu menjawab “
fihi qawlaanâ€, ada dua pendapat tentang itu dan biarkan asisten saya yang menjawabnya. Dan Kasyful Ghita’ yang asli pun menjawab seluruh pertanyaan agama itu dengan baik.
Sampai suatu ketika seorang di antara para ulama itu mulai curiga. Lalu ia sampaikan pertanyaan yang menjebak, “apa pendapatmu tentang ke-Esa-an Allah swt?â€.
Ia berpikir bahwa tidak mungkin ada dua pendapat tentang hal itu. Dan dengan polos Kasyful Ghita’ palsu menjawabnya: “
fihi qawlaanâ€, ada dua pendapat tentang itu, biarkan asisten saya menjawabnya.
Dan benar, Kasyful Ghita’ mampu menjawab pertanyaan itu dan menjelaskan dua pendapat tentangnya. Kasyful Ghita’ ingin mengajarkan kepada kita bahwa tidak ada kebenaran mutlak atas segala pendapat kita, setidaknya ada dua pendapat sudah cukup mewakili ketidak-mutlakan itu.
Dialog tidak boleh didasarkan kepada keyakinan hanya ada satu kebenaran, karena dialog semacam itu hanya akan mengubah dialog menjadi perdebatan kusir yang tak berujung pangkal dan jauh dari tujuan dari dialog itu sendiri, yaitu mendekati kebenaran sedekat-dekatnya.
Seluruh penghormatan saya kepada panitia acara di LPPI dan Muthahhari dan untuk Ustad Miftah Rakhmat yang bersedia menjadi moderator pada acara bedah buku ini, seperti tokoh kita di awal tadi yang menjadi fasilitator, yang mungkin akan menelan kenyataan pahit pada kisah Rusia dan Chechnya, bahwa setelah acara dialog ini tidak akan ada kesepakatan apapun di antara kelompok-kelompok yang berselisih paham, atau justru tulisan saya ini akan menyebabkan pertikaian baru.
Wallahu a’lam.