M. Rizal Fadillah dalam tulisannya mengatakan bahwa langkah hukum Yusril Ihza Mahendra mendampingi empat mantan anggota Partai Demokrat kubu Moeldoko yang mengajukan uji materiil AD/ART Partai Demokrat Tahun 2020 ke Mahkamah Agung (MA) merupakan sebuah langkah yang berbahaya.
Pakar Hukum Tata Negara Universitas Muslim Indonesia, Fahri Bachmid menilai, pendapat yang dilontarkan oleh pemerhati politik itu harus direspons secara proporsional dan objektif. Hal tersebut agar tidak menciptakan suatu analisis yang distorsif di tengah politik.
Menurut Fahri Bachmid, basis analisis Rizal Fadillah dalam konteks ini adalah sangat politis dan subjektif, dengan tidak memandang persoalan tersebut secara lebih substansial dan komprehensif dengan mengunakan optik teori ilmu hukum, atau secara akademik mengunakan parameter yang jauh lebih filosofis untuk memahami pokok persoalan yang sesungguhnya.
"Sebenarnya persoalan perselisihan hukum kader PD yang telah dipecat oleh AHY merasa memiliki kepentingan hukum untuk mengajukan judicial review (JR) AD/ART ke Mahkamah Agung dengan menunjuk Yusril Ihza Mahendra sebagai kuasa hukumnya," kata Fahri dalam keterangannya, Sabtu (2/10).
Menurutnya, jika konteks perselisihan ini kemudian dibawa ke ranah hukum, maka tentu semua pihak harus menghormatinya sebagai konsekuensi penerapan prinsip negara hukum dan pengadilan adalah alat penyelesaian sengketa yang bermartabat dan terhormat.
"Seharusnya perdebatan ini idealnya jangan dicampuradukan secara politis, agar terbangun dengan spirit serta kehendak pencari keadilan itu sendiri, yang mana mengarahkan perselisihan ini ke koridor hukum," ujarnya.
Perselisihan ini, kata Fahri, sejatinya terkait dengan permohonan pengujian formil atas prosedur pembentukan AD/ART Partai Demokrat tahun 2020 yang telah disahkan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor: M.H-09.AH.11.01 Tahun 2020 tentang Pengesahan Perubahan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Partai Demokrat pada 18 Mei 2020.
"Ini murni masalah hukum yang tidak perlu ditafsirkan atau sengaja membangun tafsir yang bercorak politis. Sehingga dengan demikian, sangatlah elok jika segala berdebatan sedapat mungkin diorientasikan pada perdebatan yang jauh lebih akademik dan konstitusional, dan bukan perdebatan kusir yang bersifat politis,†tegasnya.
Fahri Bachmid menambahkan, permohonan JR AD/ART Partai Demokrat era AHY ke MA tersebut merupakan suatu isu sekaligus permasalahan negara yang harus dipecahkan secara serius dan tuntas melalui suatu terobosan hukum.
Menurutnya, ketika Yusril mengajukan permohonan ini ke MA, secara sadar harus mahfum bahwa masalah AD/ART partai politik dari sisi peraturan perundang-undangan, dalam hal penormaan, memang luput menjangkau serta mengatur soal masalah pelembagaan pranata pengujian norma AD/ART parpol ini.
"Karena UU Nomor 2 Tahun 2011 Tentang Partai Politik hanya mengharuskan bahwa AD/ART sebuah parpol memuat visi dan misi, azas dan ciri, nama, lambang, tanda gambar, kepengurusan dan mekanisme pemberhentian anggota, tidak ada satupun perintah yang bersifat imperatif dan mewajibkan bagi parpol agar AD/ART mereka sejalan dengan tujuan parpol yang dimandatkan oleh norma peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi di atasnya," jelasnya.
Kata Fahri, jika dilihat secara lebih seksama dan mendalam, terkait ketiadaan aturan hukum legal vacuum yang dapat menjangkau fenomena hukum tersebut di internal parpol, jika suatu AD/ART melanggar konstitusi atau UU di atasnya, maka yang dibutuhkan adalah suatu langkah terobosan breakthrough secara hukum sema-mata untuk tercipta tertib norma hukum secara berjenjang.
Fahri menilai, proses pengajuan judicial review AD/ART Partai Demokrat ke MA tersebut secara yuridis akan berimplikasi menjadi terobosan hukum rule breaking penting dan signifikan dalam tata hukum nasional oleh MA RI.
Sehingga secara teoritik hal tersebut sangat dibolehkan kalau bukan dikatakan dianjurkan. Artinya, ada implikasi yang ditimbulkan dengan adanya kekosongan hukum terhadap hal-hal atau keadaan yang tidak atau belum diatur itu dapat terjadi ketidakpastian hukum itu sendiri. Atau ketidakpastian peraturan perundang-undangan di masyarakat, yang lebih jauh lagi akan berakibat kepada kekacauan hukum
rechtsverwarring itulah urgensi dan pentingnya dari
lagal action ini sesungguhnya.
"Berangkat dari keadaan serta kebutuhan itu, maka idealnya pengaturan terhadap produk AD/ART partai politik harus diciptakan pranata pengujiannya oleh kekuasaan yudisial sesuai orientasi cita-cita negara hukum. Sebab, partai politik berkedudukan sebagai badan hukum publik sesuai putusan MK. Pasal 3 ayat (1) UU 2/2011 menyebutkan partai politik harus didaftarkan ke kementerian untuk menjadi badan hukum," jelasnya.
Fahri Bachmid, menjelaskan, Pasal 1 angka 3 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 34 Tahun 2017 tentang Tata Cara Pendaftaran Pendirian Badan Hukum, Perubahan AD/ART, serta Perubahan Kepengurusan Partai Politik (Permenkumham 34/2017) menyebutkan bahwa pendaftaran partai politik adalah pendaftaran pendirian dan pembentukan partai politik untuk mendapatkan pengesahan sebagai badan hukum partai politik.
Selanjutnya, Pasal 1 angka 2 Permenkumham 34/2017 kemudian menyebutkan Badan Hukum Partai Politik adalah subjek hukum berupa organisasi partai politik yang telah mendapat pengesahan dari Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, eksistensi Parpol sebagai Badan Hukum Publik juga telah ditegaskan dalam putusan MK Nomor 60/PUU- XV/2017 dan Putusan Nomor 48/PUU- XVI/2018.
Di mana MK telah menerima permohonan sebagai pihak pemohon dan membenarkan kedudukan hukum (legal standing) pemohon sebagai badan hukum publik sesuai ketentuan Pasal 3 Peraturan MK Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang Undang.
â€Dengan demikian, judicial review atas legalitas suatu AD/ART partai sesungguhnya merupakan kontrol hukum terhadap proses politik, yaitu penyusunan AD/ART yang dilakukan oleh internal partai politik,†bebernya.
Dia menjelaskan, urgensi judicial review sebagai alat kontrol yudisial terhadap konsistensi norma atas produk hukum partai politik dalam bentuk AD/ART dengan UU sebagai peraturan yang lebih tinggi. Hal itu dalam rangka menegakkan aturan-aturan hukum, termasuk dan tidak terkecuali AD/ART partai politik, sehingga diperlukan adanya institusi serta instrumen kekuasaan kehakiman judicative power yang diselenggarakan oleh badan-badan peradilan negara.
"Tugas pokok badan peradilan adalah memeriksa, mengadili, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara yang diajukan oleh masyarakat pencari keadilan. Pelaku inti yang secara fungsional melaksanakan kekuasaan kehakiman adalah hakim," terangnya.
Persoalan dan konteks ini harus diletakan pada suatu pemahaman bahwa ini merupakan suatu langkah secara legal konstitusional ditempuh untuk mengatasi kekosongan hukum problem pengujian norma AD/ART parpol. Selain itu, sebagai kontrol yudisial atas fenomena praktik despotisme, opresif dan oligarkis partai politik dalam pembentukan aturan pokok partai politik.