Direktur Eksekutif Indo Barometer M. Qodari/Net
Indonesia bakal absen menggelar hajatan politik akbar pasca berlalunya Pilkada Serentak 2020.
Direktur Eksekutif Indo Barometer M. Qodari menyampaikan, merujuk UU 10/2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota, pada tahun 2021, 2022 dan 2023 nanti, tidak akan ada pemilihan kepala daerah.
Pilkada serentak total baru dilaksanakan November 2024 usai Pemilu Legislatif dan Eksekutif pada April tahun yang sama.
“Jadi tidak ada pilkada pada tahun 2022 dan 2023 jika melihat peraturan yang ada di UU 10/2016. Artinya tidak ada pilkada gubernur di daerah strategis seperti DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur,†ujar Qodari dalam webinar Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) yang bertajuk “Indonesia’s Economic and Political Outlook 2021†Kamis, (17/12).
Meski begitu, kata Qodari, kemungkinan di tahun 2021 akan ada pembahasan mengenai revisi UU Pilkada dan Pemilu oleh DPR. Di mana isu yang akan dibahas diantaranya terkait kemungkinan akan diadakan lagi pilkada tahun 2022 dan 2023.
“Khususnya oleh partai-partai menengah dan kecil, tapi menurut saya partai-partai besar seperti PDIP, kemudian Gerindra dan Golkar ada kemungkinan menolak,†ungkapnya.
Penolakan tiga partai tersebut, menurutnya, dengan syarat mereka sudah mempunyai rencana atau kesepakatan mengenai ‘design’ politik pada Pilpres 2024 yang akan datang.
“Design politiknya seperti apa, ada beberapa kemungkinan termasuk kemungkinan-kemungkinan yang ‘extreme’ atau luar biasa,†jelasnya.
Qodari menerangkan, kemungkinan yang luar biasa itu setidaknya ada dua. Pertama, kemungkinan Joko Widodo maju sebagai calon presiden untuk ketiga kalinya.
"Tetapi kali ini dengan Prabowo Subianto sebagai wakil presidennya. Tentu saja hal ini memerlukan amandemen UU Dasar 1945,†bebernya.
Kedua, lanjut Qodari, Prabowo maju sebagai calon presiden dengan wakilnya berasal dari PDI Perjuangan.
“Kemungkinan skenario pertama bisa saja terjadi untuk menciptakan stabilitas politik sekaligus menghindari pemilu yang mengerikan seperti pada pilpres sebelum-sebelumnya yang melahirkan dikotomi cebong dan kampret,†terangnya.
Qodari menilai sosok Jokowi dan Prabowo merupakan representasi atau simbol dari pengelompokan di masyarakat Indonesia.
Sehingga, masih kata dia, jika keduanya bergabung maka tidak ada lagi dikotomi cebong dan kampret pada pemilu yang akan datang.
“Makanya kemungkinan semacam itu bisa saja terjadi, yaitu demi menjaga stabilitas dan menghindari pemilu presiden yang mengerikan di mana terjadi pembelahan seperti halnya cebong dan kampret di pilpres 2019,†tandasnya.