Berita

Fathullah Syahrul/RMOL

Publika

Demokrasi Dan Masyarakat Sipil

SENIN, 03 FEBRUARI 2020 | 16:24 WIB

DEMOKRASI dan Masyarakat Sipil diyakini menjadi satu kekuatan (one power) yang dapat kita jadikan sebagai alat bedah dalam melihat secara gamblang peta perpolitikan yang terjadi di Indonesia. Jika kita melihat sejarah perjalanan panjang demokrasi, di fase klasik misalnya; demokrasi diartikan Vox Populi, Vox Dei yaitu, suara rakyat adalah suara tuhan, kemudian pada fase sebelum kontemporer berubah menjadi one man one vote: satu orang satu suara.

Kemudian bertranformasi ke Indonesia yang dipahami bahwa demokrasi itu adalah dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat. Dalam aras ini, hal tersebut bagian dari representasi dari gagasan Montesquieu, Trias Politika yang kita kenal: legislatif, eksekutif dan yudikatif.

Namun, jauh sebelum gagasan Trias Politika ini hadir di Indonesia, sebenarnya masyarakat nusantara telah mengaplikasikan gagasan tersebut. Hal ini dapat dilihat saat beberapa imperium di nusantara tegak. Salah satunya adalah fase dimana kerajaan Kalingga, Demak, Majapahit dan beberapa kerajaan lainnya.


Dalam sistem monarki para raja-raja yang memimpin kerajaan telah mengimplementasikan Trias Politika tersebut. Raja dianggap sebagai eksekutif, para senopati dianggap sebagai legislatif dan penasehat kerajaan dianggap sebagai yudikatif.

Artinya adalah fase dimana pemikiran barat ingin mendefenisikan masyarakat di nusantara, masyarakat nusantara sendirilah yang sebenarnya telah melakukan hal tersebut dan mengimplementasikannya dalam sistem pemerintahan monarki kala itu.
Jika melihat arus balik dan pasang surutnya diskursus tentang demokrasi, dimana peran serta posisi masyarakat sipil? Secara umum, civil society atau masyarakat sipil dapat kita sebut sebagai entitas yang posisinya berada di luar negara. Masyarakat sipil tepat berada di antara ruang privat dan negara.

Para akademisi menerjemahkan masyarakat sipil sama posisinya dengan masyarakat madani, padahal antara masyarakat sipil dan masyarakat madani sebenarnya memiliki perbedaan yang cukup signifikan.

Dilihat secara etimologi, madani berasal dari bahasa Arab yang artinya Madinah (kota), artinya masyarakat madani ialah mereka yang bergelut dalam dunia gerakan, politik dan sosial yang wilayah berada pada tataran perkotaan sedang masyarakat sipil wilayahnya yang bergerak disemua sektor kepentingan.

Beberapa tokoh telah menerjemahkan masyarakat sipil, menurut Stepan (1998), masyarakat sipil merupakan wilayah dimana ia memiliki banyak gerakan sosial dan organisasi profesi yang berjuang membentuk diri mereka menjadi suatu kesatuan demi memperjuangkan kepentingannya.

Masyarakat diartikan sebagai social movement yang bergerak di ruang-ruang manapun demi menegakkan dan memperjuangkan kepentingannya. Sedangkan menurut Alexis de Tocqueville masyarakat sipil adalah non-state actor atau lembaga-lembaga otonom (dari negara) yang mampu menimbangi kekuasaan Negara.
Alexis telah memberikan kita gambaran yang lebih luas dimana masyarakat sipil ini memiliki peran yang dianggap sebagai aktor gerakan yang tidak berkutat didalam sebuah negara. Mereka memiliki kepentingan dalam mengawal kebijakan yang ditawarkan oleh pemerintah tetapi proses pengawalan tersebut kita anggap sebagai gerakan yang bergerak diluar kontrol negara.    

Antonio Gramsci (1971) juga menerjemahkan masyarakat sipil. Gramsci mengatakan bahwa masyarakat sipil sebagai kumpulan organisme privat yang berbeda dengan negara yang disebutnya sebagai masyarakat politik (political society). Di fase ini, Gramsci membagi tiga tipologi masyarakat diantaranya; masyarakat sipil (civil society), masyarakat politik (political society) dan masyarakat ekonomi (civil economic).

Gramsci melihat ketiga tipologi ini berperan aktif dalam sebuah gerakan sosial, dimana masyarakat sipil itu ialah masyarakat yang turut andil dalam mengawasi dan memberi evaluasi pada pemerintah. Kata Gramsci, masyarakat ekonomi adalah masyarakat yang bergerak dan mencari keuntungan dan masyarakat politik adalah masyakat yang mempunyai peran dan fungsi bergerak pada wilayah kekuasaan.

Praktisnya adalah posisi dan peran masyarakat sipil dianggap sebagai satu kesatuan gerakan sosial yang dianggap mampu untuk mengimbangi dominasi negara sehingga tidak terjadi kekuasaan yang absolut.

Beberapa penjelasan diatas dapat dilihat keterkaitan antara demokrasi dan masyarakat sipil. Dalam fase perkembangan demokrasi di Indonesia, di bawah kepemimpinan Soekarno kita kenal dengan demokrasi terpimpin. Isinya ingin menjadikan Soekarno sebagai presiden seumur hidup. Tetapi gagasan tersebut tidak terimplementasi hingga akhirnya orde lama runtuh.

Pada masa orde lama Pemilu pertama digelar pada tahun 1955, empat partai pemenang Pemilu diantaranya; Partai Nasionalis Indonesia (PNI), Partai Islam Masyumi, Partai NU dan Partai Komunis Indonesia. Demokrasi terpimpin yang diungkapkan oleh Soekarno telah terimplementasi saat Orde Baru berdiri, hal tersebut dapat dilihat dalam kontekstualisasi demokrasi saat di fase Orde Baru menggelar Pemilu sebanyak enam kali; 1971, 1977, 1982, 1987, 1992 dan 1997.

Enam kali penyelenggaraan Pemilu sebagi bukti bahwa, meski demokrasi terpimpin digagas oleh Soekarno di Orde Lama tetapi implementasinya ada saat Soeharto memimpin negara di Orde Baru. Diskursus semakin seksi dibicarakan saat gerbang menuju reformasi dan runtuhnya Orde Baru pada tahun 1998. Peran dan andil masyarakat sipil begitu besar dalam meruntuhkan pemerintah yang dianggap otoriter itu.

Reformasi telah hadir, masyarakat sipil kembali berbenah dalam menyusun sebuah gerakan lainnya. Aksi, demontrasi dan kesolidan menjadi satu kekuatan yang dilakukan oleh masyarakat sipil dalam menekan pemerintahan yang otoriter.

Di era reformasi, Pemilu telah digelar sebanyak 4 kali; 1999, 2004, 2009 dan 2014. Hingga akhirnya, masyarakat tetap tegak berdiri sebagai actor non-state yang sekarang mereka telah berafisiliasi ke lembaga-lembaga seperti Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan Non Government Organization (NGO).

Fathullah Syahrul

Penulis adalah Mahasiswa Jurusan Ilmu Politik di Universitas Padjadjaran 

Populer

Masih Sibuk di Jogja, Pimpinan KPK Belum Tahu OTT di Lampung Tengah

Selasa, 09 Desember 2025 | 14:21

Pura Jadi Latar Film Porno, Hey Bali: Respons Aparat Dingin

Selasa, 09 Desember 2025 | 21:58

Pasutri Kurir Narkoba

Rabu, 03 Desember 2025 | 04:59

Kebun Sawit Milik POSCO Lebih dari Dua Kali Luas Singapura

Senin, 08 Desember 2025 | 19:12

Berjuang Bawa Bantuan Bencana

Kamis, 04 Desember 2025 | 05:04

Mahfud MD soal Bencana Sumatera: Menyuruh Pejabat Mundur Tidak Relevan

Rabu, 10 Desember 2025 | 05:53

Cegah Penimbunan BBM

Jumat, 05 Desember 2025 | 02:00

UPDATE

Rais Syuriyah PBNU: Ada Indikasi Penetrasi Zionis

Sabtu, 13 Desember 2025 | 23:49

Prabowo: Saya Tidak Punya Tongkat Nabi Musa, Tapi Semua Bekerja Keras

Sabtu, 13 Desember 2025 | 23:42

Mohammad Nuh Jabat Katib Aam PBNU Kubu Sultan

Sabtu, 13 Desember 2025 | 23:19

Konstitusionalitas Perpol Nomor 10 Tahun 2025

Sabtu, 13 Desember 2025 | 23:18

Pemeriksaan Kargo Diperkuat dalam Pemberantasan Narkoba

Sabtu, 13 Desember 2025 | 23:11

Korban Meninggal Akibat Banjir dan Longsor Sumatera Tembus 1.006 Jiwa

Sabtu, 13 Desember 2025 | 22:53

Aktivis 98 Bagikan Paket Bantuan Tali Kasih Natal untuk Masyarakat

Sabtu, 13 Desember 2025 | 22:52

Kader Pemuda Katolik Bali Cetuskan Teori PARADIXIA Tata Kelola AI Indonesia

Sabtu, 13 Desember 2025 | 22:39

Ketika Jabatan Menjadi Instrumen Pengembalian Modal

Sabtu, 13 Desember 2025 | 22:35

Tokoh Muda Dukung Prabowo Kejar Lompatan Gizi dan Pendidikan Indonesia

Sabtu, 13 Desember 2025 | 22:29

Selengkapnya