Kinerja Komisi Pemilihan Umum (KPU) kali ini dinilai terburuk sepanjang sejarah pemilihan umum (Pemilu) di Indonesia.
Peneliti politik Universitas Telkom Dedi Kurnia Syah melihat banyaknya laporan kecurangan yang terjadi selama proses pemungutan suara.
"Setidaknya sepanjang 12 kali Pemilu, tidak ada yang lebih buruk dari penyelenggaraan kali ini. Selain persoalan administratif hingga kualitas logistik pemilihan, massifnya laporan kecurangan semakin menguatkan argumen bahwa KPU berkinerja buruk," katanya.
Melihat kondisi itu, Dedi khawatir bahwa legitimasi hasil Pemilu 2019 dipertanyakan publik.
"Setiap kemungkinan selalu ada, termasuk resiko delegitimasi hasil Pemilu jika kecurangan sekecil apapun tidak segera direspon oleh pihak berwenang," tuturnya di Jakarta, Rabu (17/4).
Dedi menekankan, Pemilu seharusnya tidak saja menjadi ajang pergantian kekuasaan, tetapi sarana pembangunan yang lebih baik.
"Untuk itu Pemilu tidak boleh tercederai dengan kecurangan," tegasnya.
Disinggung soal hasil hitung cepat yang dipublikasikan berbagai lembaga survei, Dedi menilai hal itu tidak bisa dijadikan rujukan utama.
"Hitung cepat dari lembaga bereputasi boleh kita percaya, meskipun tidak bisa dijadikan rujukan utama, ia hanya menggambarkan sesuai sample yang digunakan," terangnya.
"Tetapi yang menjadi persoalan, apabila hasil hitung cepat itu dimanipulasi, atau ada kesengajaan memilih karakter wilayah yang memang sudah menjadi basis pemilih kubu tertentu." imbuh Dedi.
Itulah sebabnya selalu ada sisi gelap hitung cepat. Saran dia, cara terbaik dengan menghitung konvensional dari TPS ke TPS.