KAMIS, 14 Desember 2017, Andi Mappetahang Fatwa meninggal di Rumah Sakit MMC, Jakarta dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan, Kalibata. AM Fatwa pernah menjabat Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat periode 1999-2004 dan Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat pada 2004-2009.
AM Fatwa dikenal sebagai ikon perlawanan terhadap rezim Orde Lama dan Orde Baru serta tercatat sebagai satu di antara 50 penanda tangan Petisi 50. Akibat perjuangannya, dia menghabiskan waktu 12 tahun di penjara atas kasus Lembaran Putih Tanjung Priok, yang menuntut dibentuknya komisi pencari fakta korban-korban Peristiwa Tanjung Priok 1984. AM Fatwa merupakan tokoh yang ikut menggulirkan reformasi 1998. Pada tahun 1999, bersama Amien Rais, AM Fatwa ikut mendirikan Partai Amanat Nasional.
KEBERANIAN
Saya mengagumi keberanian AM Fatwa menyatakan yang tidak benar sebagai tidak benar terhadap penguasa yang bahkan tidak gentar dijebloskan ke dalam penjara. Berbagai pihak yang tidak mengenal AM Fatwa, menilai ikon kontra rezim Orba ini sebagai tokoh garis keras namun saya tahu benar bahwa sebenarnya AM Fatwa tidak pernah membenarkan kekerasan. Justru putera terbaik Nusantara kelahiran Bone 1939 ini merupakan korban kekerasan.
Saya mengagumi keberanian AM Fatwa menyatakan yang tidak benar sebagai tidak benar terhadap penguasa yang bahkan tidak gentar dijebloskan ke dalam penjara. Berbagai pihak yang tidak mengenal AM Fatwa, menilai ikon kontra rezim Orba ini sebagai tokoh garis keras namun saya tahu benar bahwa sebenarnya AM Fatwa tidak pernah membenarkan kekerasan. Justru putera terbaik Nusantara kelahiran Bone 1939 ini merupakan korban kekerasan.
Adalah AM Fatwa di samping Hidayat Nur Wahid yang menyarankan saya menjumpai serta mewawancarai Habib Rieziq Shihab demi tabayyun mengetahui apa sebenarnya misi dan visi FPI yang terlanjur tersohor sebagai ormas LSM garis keras pelaku kekerasan. Adalah AM Fatwa di samping Gus Dur, Gus Mus dan Cak Nur yang meyakinkan saya bahwa Islam tidak membenarkan kekerasan.
BUAH PIKIRAN
Dari buah pikiran AM Fatwa telah lahir tidak kurang dari 29 buku, yaitu: Dulu Demi Revolusi, Kini Demi Pembangunan, eksepsi di pengadilan (1985), Demi Sebuah Rezim, Demokrasi dan Keyakinan Beragama Diadili, pembelaan di pengadilan (1986, cetakan kedua 2000), Saya Menghayati dan Mengamalkan Pancasila Justru Saya Seorang Muslim, pidato pada acara pembebasan di penjara Cipinang (1994), Islam dan Negara (1955), Menggugat dari Balik Penjara (1999), Dari Mimbar ke Penjara (1999), Satu Islam Multipartai (2000), Demokrasi Teistis (2001), Otonomi Daerah dan Demokratisasi Bangsa (2003), Kampanye Partai Politik di Kampus (2003), PAN Mengangkat Harkat dan Martabat Bangsa (2003), Dari Cipinang ke Senayan (2003), Catatan dari Senayan (2004), Problem Kemiskinan, Zakat sebagai Solusi Alternatif (bersama Djamal Doa dan Aries Mufti, 2004), PAN Menyongsong Era Baru, Keharusan Reorientasi (2005), Pengadilan HAM Ad Hoc Tanjung Priok: Pengungkapan Kebenaran untuk Rekonsiliasi Nasional (2005), Menghadirkan Moderatisme Melawan Terorisme (2006 & 2007), Khutbah-Khutbah Politik AM Fatwa di Masa Orde Baru (2007), Satu Dasawarsa Reformasi-Antara Harapan dan Kenyataan (2008), Grand Design Penguatan DPD RI (2009), Potret Konstitusi Pasca Amandemen UUD 1945 (2009), Pendidikan Politik Bernegara dengan Landasan Moral dan Etika (2009).
Pancasila Karya Bersama Milik Bangsa Bukan Hak Paten Suatu Golongan (2010). Transisi Demokrasi di Atas Hamparan Korupsi: Buah Pikir Reflektif Atas Carut Marut Reformasi (2013), Meretas Jalan Membentuk Karakter (2013), Mobil Murah dan Kemacetan Jakarta (2014). Mengatasi Banjir Jakarta: Diangkat dari Dialog Bersama Warga (2015), Pahlawan Nasional KH Noer Alie (2016), Menggugat Kereta Cepat Api Jakarta-Bandung (bersama Ayi Hambali, 2017).
MURI
Museum Rekor Dunia Indonesia memberi AM Fatwa tiga penghargaan. Pertama, sebagai Anggota Parlemen paling produktif menulis buku (2004). Kedua, penghargaan atas pledoi terpanjang di Pengadilan Negeri 1985 (2004). Dan ketiga, dalam upayanya merintis penggunaan Hak Bertanya Anggota DPD RI kepada Presiden tentang kebijakan ‘Mobil Murah’, wewenang yang pertama kali digunakan oleh DPD RI dengan memecahkan rekor terbesar penanda tangan, 96 Anggota DPD RI (2013).
Sejumlah masyarakat adat juga tak ketinggalan memberinya gelar kehormatan, seperti Marga Ginting dari Tokoh Adat Brastagi (1999), Marga Harahap dari masyarakat Adat Padang Sidempuan (2001), Gelar Tumenggung Alip Jaya dari Adat Keratuan Paksi Pak Skala Brak (Kerajaan Tua di Lampung, 2006), dan Gelar Kanjeng Pangeran Notohadinagoro dari Pakubuwono XII (2002).
[***]