Tuduhan terhadap Pondok Pesantren Ibnu Mas'ud di Bogor sebagai tempat belajar paham radikalisme sangat tidak tepat.
Karena tidak mungkin pondok pesantren yang muridnya kebanyakan anak-anak kecil diajarkan paham radikalisme.
Demikian disampaikan Direktur Pusat Bantuan Hukum (PBH) Dompet Dhuafa, Evi Risna Yanti dalam jumpa pers di gedung HDI Hive, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (14/9).
"Saya sudah pernah kesana. Melihat anak-anak yang masih kecil-kecil yang kemudian akan dibubarkan tempat pendidikannya," kata Evi
"Kebanyakan anak-anak usia 5 hingga 9 tahun. Yang berusia diatas 12 tahun sangat jarang belajar di Ponpes Ibnu Mas'ud," imbuhnya.
Evi menjelaskan, mereka yang belajar di pondok pesantren tersebut kebanyakan anak-anak kecil yang lucu-lucu, mungil-mungil, dan kebanyakan anak perempuan. Dalam logika, tidak mungkin anak-anak ini diajarkan paham radikalisme oleh para pendidiknya.
"Saya lihat langsung anak-anak itu sedang menghafal Alquran di sudut tempat tidurnya. Mereka ada yang berkumpul, ada yang sendiri, menghafal Quran. Bukan melakukan tindakan-tindakan lain. Jadi jauh sekali dari apa yang telah digambarkan di luar sana," tegasnya.
Menurut Evi, yang telah diberitakan oleh media bahwa pembakaran umbul-umbul sebagai pembakaran bendera sangat tidak seimbang pada fakta kejadian yang sebenarnya.
"Ketika umbul-umbul diberitakan sebagai bendera, kita keberatan. Karena jelas di dalam undang-undang apa yang dimaksud dengan bendera, dan umbul-umbul itu seperti apa. Jadi ini kita tolak sama sekali," ujarnya.
Dia juga meminta adanya pemisahan antara kasus pembakaran umbul-umbul dengan intimidasi dan pemaksaan untuk pembubaran Pondok Pesantren Ibnu Mas'ud.
'Karena pembakaran umbul-umbul yang dilakukan oleh Supriyadi merupakan tindakan pribadi. Supriyadi ini anak disabilitas, secara fisik tidak sempurna. Dia juga minta prosesnya dipisahkan karena tidak ada hubungannya dengan Ponpes Ibnu Mas'ud," demikian Evi.
[zul]