Berita

Pius Ginting/Net

Politik

Mengecam Penerapan UU 2/2012 Yang Bias Kelas Ekonomi Untuk Pengembangan Kelistrikan

SENIN, 11 SEPTEMBER 2017 | 11:18 WIB | OLEH: PIUS GINTING

PEMERINTAHAN Jokowi selama ini gencar dalam pembangunan pembangkit listrik. Bahkan rakyat dipaksa menjual tanah untuk pengadaan proyek ini menggunakan UU 2/2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.

Sebagai contoh, petani di Batang, Jawa Tengah, tidak hendak melepaskan sawah pertaniannya untuk proyek listrik 2×1000 MW. Namun pemerintahan Jokowi mendorong proyek yang sempat terkendala selama dua tahun soal pembebasan proyek. TNI dan Polri dikerahkan agar warga melepaskan tanahnya. Mekanisme yang kerap dilakukan pada masa pemerintahan Orde Baru diberlakukan, yakni pengembang proyek mengalokasikan duit ganti rugi ke pengadilan untuk diakses warga. Sementara itu, proyek tetap dijalankan.

Pemaksaan penjualan tanah untuk kelistrikan juga terjadi di Cirebon. Umumnya, proyek kelistrikan ini adalah pembangkit listrik batubara, sumber energi yang memiliki daya rusak lingkungan berupa pencemaran udara, air dalam skala luas.

Namun penerapan UU 2/2012 tidak berlaku bagi semua kelompok. Hanya berlaku bagi kelompok kelas bawah yang bermata pencarian sebagai petani dan nelayan.

Pembangunan listrik energi terbarukan menggunakan tenaga angin di Pantai Samas, yang terletak antara Kabupaten Bantul dan Kabupaten Kulon Progo terancam batal dibangun. Proyek pembangkit listrik tenaga energi terbarukan ini sendiri telah diresmikan oleh Presiden Jokowi pada tahun 2015. Proyek ini pun telah dimuat dalam RUPTL (Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik) yang dibuat oleh PLN. Rencananya akan ada 20 sampai 25 titik kincir angin di sepanjang kurang lebih 10 kilometer dari Pantai Samas sampai Sungai Progo secara keseluruhan mencapai kapasitas 50 MW. Salah satu kendala pembangunan proyek ini adalah persoalan tanah yang sebagian besar merupakan tanah kesultanan.

Dengan demikian, pemerintahan Jokowi menerapkan UU 2/2012 hanya kepada kelompok kelas bawah. Tidak kepada kelompok elit seperti Kesultanan Jogyakarta. Padahal UUD NRI mengakui kepemilikan pribadi warga negara sebagaimana tercantum dalam Pasal 28H  yang menyatakan bahwa: "setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-sewenang oleh siapapun".

Dengan kejadian ini, pemerintahan Jokowi seharusnya menghentikan kebijakan sepihak pengadaan tanah untuk kepentingan investasi, termasuk investasi kelistrikan. Dan kembali harus menerapkan proses free prior informed and consent secara konsisten bagi warga pemilik tanah dan warga yang terdampak. Warga memliki veto atas pelaksanaan proyek. Dengan kata kalian, pemerintah dan pelaksanaan proyek mengedepankan proses pemberian informasi yang lengkap tentang dampak proyek kedepan, dialogis tidak mengikutsertakan aparat bersenjata negara, dan bila warga pada akhirnya menyatakan sikap menolak proyek, maka sikap tersebut harus dihormati. Menghentikan proses jual paksa yang telah terjadi di beberapa proyek infrastruktur kelistrikan.

Khusus untuk pengembangan energi terbarukan di Samas, seharusnya kesultanan merelakan tanah kesultanan untuk pengembangan energi terbarukan. Sebab dengan menolak pengembangan proyek ini, berarti kesultanan mendapatkan listrik berbahan fosil dimana kesehatan masyarakat di sekitar pembangkit telah lama mengalami penurunan, sebagaimana terjadi di Indramayu, Cilacap.

Sangat disayangkan, kesultanan ambisius mendorong proyek memiliki daya rusak lingkungan besar seperti tambang besi di Kulon Progo, dan mengganggu ruang hidup rakyat seperti proyek Bandara di Kulonprogo, namun menghambat proyek pembangunan energi terbarukan. Proyek energi energi terbarukan di Samas adalah langkah baik untuk mengurangi biaya kesehatan warga di sekitar wilayah pembangkit listrik bahan bakar batubara. [***]

Penulis adalah Koordinator Perkumpulan Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER)

Populer

Duit Sitaan Korupsi di Kejagung Tak Pernah Utuh Kembali ke Rakyat

Senin, 10 Maret 2025 | 12:58

Menag Masih Pelajari Kasus Pelarangan Ibadah di Bandung

Senin, 10 Maret 2025 | 20:00

Polda Metro Didesak Segera Periksa Pemilik MNC Asia Holding Hary Tanoe

Minggu, 09 Maret 2025 | 18:30

Nyanyian Riza Chalid Penting Mengungkap Pejabat Serakah

Minggu, 09 Maret 2025 | 20:58

Usia Pensiun TNI Bakal Diperpanjang, Ketum PEPABRI: Kalau 58 Tahun Kan Masih Lucu-Lucunya

Senin, 10 Maret 2025 | 19:58

KPK Kembali Panggil Pramugari Tamara Anggraeny

Kamis, 13 Maret 2025 | 13:52

Ekonom: Hary Tanoe Keliru Bedakan NCD dan ZCB

Kamis, 13 Maret 2025 | 19:53

UPDATE

Loyalis Jokowi, Jeffrie Geovanie Sangat Tidak Layak Gantikan Menteri BUMN Erick Thohir

Sabtu, 15 Maret 2025 | 11:22

Rapor IHSG Sepekan Lesu, Kapitaliasi Pasar Anjlok Rp215 Triliun

Sabtu, 15 Maret 2025 | 11:07

DJP: Pajak Ekonomi Digital Capai Rp33,56 Triliun hingga Akhir Februari 2025

Sabtu, 15 Maret 2025 | 10:47

Kualitas Hilirisasi Ciptakan Lapangan Kerja Lebih Luas

Sabtu, 15 Maret 2025 | 10:44

Pengacara Klaim Duterte Diculik karena Dendam Politik

Sabtu, 15 Maret 2025 | 10:19

Harga Emas Antam Lebih Murah Hari Ini Usai Cetak Rekor Tertinggi

Sabtu, 15 Maret 2025 | 10:08

Menko Airlangga Ajak Pengusaha Gotong Royong

Sabtu, 15 Maret 2025 | 09:48

Fraksi PAN Salurkan 3.000 Paket Sembako untuk Rakyat

Sabtu, 15 Maret 2025 | 09:47

Universitas Columbia Cabut Gelar Akademik 22 Mahasiswa

Sabtu, 15 Maret 2025 | 09:34

Tanggapi Usulan Menhub, Kadin: Tidak Semua Usaha Bisa Terapkan WFA Saat Mudik

Sabtu, 15 Maret 2025 | 09:13

Selengkapnya