PULUHAN warga adat Karuhun Urang Sunda Wiwitan Cigugur melakukan aksi tidur di jalan menuju lokasi eksekusi penggusuran di Desa Cigugur, Kecamatan Cigugur, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, Kamis pagi 24 Agustus 2017.
Masyarakat adat Sunda Wiwitan yang didampingi Ormas Gerakan Masyarakat Bawah Indonesia (GMBI) sebelumnya sudah memohon penundaan penggusuran.
Sunda Wiwitan
Cigugur merupakan tempat kelahiran Sunda Wiwitan yang menyebar ke pelosok Jawa Barat, pada masa jauh sebelum Indonesia merdeka. Penganut ajaran ini menyebar di beberapa desa di daerah Provinsi Banten dan Jawa Barat, seperti di Kanekes, Lebak (Banten), Ciptagelar Kasepuhan Banten Kidul, Cisolok (Sukabumi), Kampung Naga (Tasikmalaya), Cirebon dan Cigugur (Kuningan).
Edi S Ekadjati dalam bukunya Kebudayaan Sunda: Suatu Pendekatan Sejarah I menyebut, Wiwitan mempunyai arti 'pertama, asal, pokok, dan jati'. Maka Sunda Wiwitan bisa dipahami sebagai agama Sunda asli atau Sunda awal.
Karena itu, Sunda Wiwitan merupakan agama bagi masyarakat Sunda zaman dulu. Masyarakat tradisional Sunda yang menganut Sunda Wiwitan melakukan pemujaan terhadap kekuatan alam dan arwah leluhur.
Meski Sunda Wiwitan merupakan kepercayaan yang dianut sejak lama oleh orang Sunda sebelum datangnya ajaran Hindu dan Islam, namun pemerintah menetapkan Sunda Wiwitan bukan sebagai agama, melainkan hanya aliran kepercayaan atau animisme.
Sunda Wiwitan pada dasarnya memiliki dua ajaran utama yaitu 'Cara Ciri Manusia' dan 'Cara Ciri Bangsa'. Prinsip 'Cara Ciri Manusia' adalah unsur-unsur dasar yang ada di dalam kehidupan manusia yakni welas asih (cinta kasih), undak usuk (tatanan dalam kekeluargaan), tata krama (tatanan perilaku), budi bahasa dan budaya, wiwaha yudha naradha (sifat dasar manusia yang selalu memerangi segala sesuatu sebelum melakukannya).
Sementara prinsip 'Cara Ciri Bangsa' dapat dipahami bahwa manusia memang memiliki persamaan, namun tetap ada banyak pula perbedaan antar sesama manusia yaitu rupa, adat, bahasa, aksara, dan budaya.
Cagar BudayaKini, setelah perayaan proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 2017, Kesatuan Masyarakat Adat Karuhun Urang (Akur) Sunda Wiwitan Cigugur menghadapi tragedi penggusuran sebagai eksekusi keputusan PN Kuningan. Mereka menolak penggusuran.
Pangaping Adat Sunda Wiwitan Okki Satria Djati berpendapat, eksekusi ini tidak sejalan dengan prinsip keadilan hukum. Pasalnya, lahan eksekusi tersebut merupakan zona cagar budaya nasional sesuai dengan SK Direktur Direktorat Sejarah dan Purbakala Direktorat Jendral Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan No 3632/C.1/DSP/1976.
Amar putusan pengadilan dinilai diskriminatif dan cacat hukum karena meminggirkan nilai sejarah dan budaya di dalamnya.
Lebih jauh, kata Okki, dalam objek sengketanya mengabaikan esensi hak hukum masyarakat adat. Pihaknya pun menyerukan kepada seluruh jaringan budaya, adat, jawara, pesilat, pemuda, ibu-ibu dan perempuan untuk melawan proses eksekusi besok.
Mereka berharap seluruh elemen masyarakat peduli terhadap warga adat yang selama ini berkontribusi pada peradaban nusantara.
"Kami warga adat Karuhun Sunda Wiwitan sudah memutuskan lebih baik gugur dalam membela wilayah adat kami," demikian penegasan Okki
Kemanusiaan
Tragedi Cigugur sesukma dengan tragedi Bukit Duri, Luar Batang, Kalijodo, Kalibata, Sukamulya, Kendeng, Lampung, Papua dan lain sebagainya.
Tragedi konflik pertanahan merupakan bagian dampak kelam gelora semangat pembangunan infrastruktur yang keliru diejawantahkan oleh para pelaksana pembangunan dengan cara-cara yang melanggar hukum, hak asasi manusia, agenda Pembangunan Berkelanjutan, kontrak politik Ir. Joko Widodo dengan rakyat miskin Jakarta, Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, dan Keadilan Sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia, dan Undang-Undang Dasar 1945.
Pada hakikatnya, pelanggaran kemanusiaan seperti yang dilakukan oleh kaum penjajah sebelum 17 Agustus 1945 tidak boleh terjadi pada masa setelah 72 tahun bangsa, negara dan rakyat Indonesia bebas merdeka dari belenggu angkara murka penindasan kaum penjajah. [***]
Penulis adalah pendiri Sanggar Pembelajar Kemanusiaan