Berita

Yusril Ihza Mahendra/Net

Politik

HTI Dibubarkan, Pemerintah Mulai Bertindak Diktator

RABU, 19 JULI 2017 | 13:46 WIB | OLEH: YUSRIL IHZA MAHENDRA

PAGI ini Kemenhumkan dengan resmi telah mencabut status badan hukum Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) disertai dengan pembubaran ormas yang berstatus badan hukum perkumpulan atau vereneging itu. Kewenangan Pemerintah, dalam hal ini Menkumham, mencabut status badan hukum dan sekaligus membubarkan ormas tanpa proses peradilan, adalah kewenangan yang diberikan oleh Perppu Nomor 2/2017 yang kontroversial itu.

Saya sejak awal mengatakan bahwa Perppu ini membuka peluang bagi Pemerintah menjadi diktator. Pemerintah secara sepihak berwenang membubarkan ormas tanpa hak membela diri dan tanpa "due process of law" atau proses penegakan hukum dan adil dan benar sesuai asas negara hukum yang kita anut.

Pemerintah sebagaimana berulangkali ditegaskan oleh Menko Polhukam Wiranto, telah dengan sesat pikir menerapkan asas "contrarius actus" dalam hukum Romawi ke hukum nasional kita. Dengan asas itu, menurut Menko Polhukam, Pemerintah yang berwenang "menerbitkan izin" berdirinya ormas, maka dengan sendirinya berwenang pula mencabut "izin" tersebut. Padahal mendirikan ormas bukanlah sesuatu yang perlu izin Pemerintah.

SK Menhumkan tentang pengesahan berdirinya sebuah badan hukum, samasekali bukan surat izin seperti Surat Izin Mengemudi yang dikeluarkan Polisi. Izin, dikeluarkan agar seseorang boleh melakukan sesuatu yang dilarang. Mengemudi di jalan raya itu prinsipnya dilarang karena bisa membahayakan orang lain. Namun, seseorang boleh melanggar larangan itu, kalau dia punya Surat Izin yang disebut SIM itu.

Kebebasan berserikat dan berkumpul bukanlah sesuatu yang dilarang seperti mengemudi di jalan raya, melainkan adalah hak konstitusional yang dijamin oleh UUD 45. Karena itu, SK Menkumham tentang pengesahan badan hukum ormas yang didirikan, bukanlah surat izin sebagaimana dengan sesatnya dipahami oleh Menko Polhukam.

Tadi malam dalam dialog ILC di TVOne, salah satu pendukung Perppu 2/2017 ini, Prof Dr T Mulya Lubis membantah pendapat saya bahwa Pemerintah ini bisa bertindak laksana diktator dalam membubarkan ormas. Dalam dunia yang makin terbuka ini, tidak mungkin Pemerintah bisa jadi diktator, kata Mulya Lubis.

Saya hanya mengatakan kepada T Mulya Lubis "anda lihat saja besok, HTI dibubarkan sepihak atau tidak oleh Pemerintah". Mulya Lubis bilang "masa, gak mungkinlah". Pagi ini mudah-mudahan Mulya Lubis bangun dari siuman dan mulai menyadari mulai pahit getirnya demokrasi di bawah Pemerintahan Presiden Jokowi ini.

Pembubaran terhadap HTI pagi ini sudah dapat kita duga alasannya. Ormas ini dianggap "menganut, mengembangkan, serta menyebarkan ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila" sebagaimana diatur dalam Pasal 59 ayat 4 huruf c Perpu. Pelanggaran terhadap pasal ini dijatuhi sanksi administratif dan/atau pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 60 ayat (2) huruf a jo Pasal 61 ayat (1) huruf c jo ayat (3) huruf b.

Sanksi administratif pencabutan status badan hukum disertai dengan pembubaran berdasarkan pasal2 Perpu di atas sudah dijatuhkan oleh Menkumham kepada HTI. Saya belum tahu apakah sanksi pidana akan dijatuhkan atau tidak. Seandainya dijatuhkan, maka sanksi pidana bagi setiap orang yang menjadi anggota dan/atau pengurus ormas yang menganut, mengembangkan dan menyebarkan ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila, menurut Pasal 59 ayat (4) Perpu "dipidana dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun sebagaimana diatur dalam Pasal 82A ayat (2).

Dalam acara ILC tadi malam Prof Dr Romli Atmasasmita mengatakan sanksi pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 82A ayat (2) di atas hanya dijatuhkan kepada pimpinan ormas atau mereka yang menjadi aktor intelektual menganut, mengembangkan dan menyebarkan paham yang bertentangan dengan Pancasila saja, bukan kepada semua pimpinan dan anggota ormas yang dibubarkan.

Namun kalau kita baca bunyi rumusan norma Pasal 82A ayat (2), kata-katanya berbunyi "Setiap orang yang menjadi anggota dan/atau pengurus Ormas yang dengan sengaja dan secara langsung atau tidak langsung melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (3) huruf a dan b, dan ayat (4) dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun".

Dengan membaca rumusan pasal 82A ayat (2) Perpu, jelaslah bahwa terhadap pengurus dan anggota ormas "anti Pancasila" bisa dipidana, tidak terbatas hanya kepada aktor intelektualnya saja. Ini jelas merupakan sanksi pidana yang tidak pernah ada di zaman penjajahan Belanda, zaman Orde Lama dan Orde Baru. Bayangkan kalau ada 1 juta anggota ormas, begitu dikenakan sanksi pidana, semuanya bisa dipenjara sampai seumur hidup.

HTI kemarin telah mendaftarkan permohonan uji materil atas Perppu 2/2017 ini ke Mahkamah Konstitusi. Namun karena hari ini HTI telah resmi dicabut status badan hukumnya dan dibubarkan, maka tentu HTI bukan lagi subyek yang menurut UU 24/2003 jo UU 8/2011 tentang Mahkamah Konstitusi dan perubahannya dapat mengajukan permohonan pengujian UU ke mahkamah itu. Kami kini sedang memikirkan langkah terbaik untuk mengatasi masalah ini.

Kami juga sedang menyiapkan langkah untuk menggugat pencabutan status badan hukum dan pembubaran HTI ini ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Kami sadar posisi kami lemah berhadapan dengan Pemerintah yang menggunakan Perppu 2/2017 dalam membubarkan HTI ini. Namun kami tidak boleh menyerah untuk menegakkan hukum dan keadilan, betapapun perjuangan itu berat, panjang dan berliku. Kezaliman jangan dibiarkan. Kediktatoran jangan diberi tempat di negeri tercinta ini. [***]

Penulis adalah pakar hukum tata negara

Populer

KPK Kembali Periksa Pramugari Jet Pribadi

Jumat, 28 Februari 2025 | 14:59

Sesuai Perintah Prabowo, KPK Harus Usut Mafia Bawang Putih

Minggu, 02 Maret 2025 | 17:41

Digugat CMNP, Hary Tanoe dan MNC Holding Terancam Bangkrut?

Selasa, 04 Maret 2025 | 01:51

Lolos Seleksi TNI AD Secara Gratis, Puluhan Warga Datangi Kodim Banjarnegara

Minggu, 02 Maret 2025 | 05:18

CMNP Minta Pengadilan Sita Jaminan Harta Hary Tanoe

Selasa, 04 Maret 2025 | 03:55

KPK Terus Didesak Periksa Ganjar Pranowo dan Agun Gunandjar

Jumat, 28 Februari 2025 | 17:13

Bos Sritex Ungkap Permendag 8/2024 Bikin Industri Tekstil Mati

Senin, 03 Maret 2025 | 21:17

UPDATE

BRI Salurkan KUR Rp27,72 Triliun dalam 2 Bulan

Senin, 10 Maret 2025 | 11:38

Badai Alfred Mengamuk di Queensland, Ribuan Rumah Gelap Gulita

Senin, 10 Maret 2025 | 11:38

DPR Cek Kesiapan Anggaran PSU Pilkada 2025

Senin, 10 Maret 2025 | 11:36

Rupiah Loyo ke Rp16.300 Hari Ini

Senin, 10 Maret 2025 | 11:24

Elon Musk: AS Harus Keluar dari NATO Supaya Berhenti Biayai Keamanan Eropa

Senin, 10 Maret 2025 | 11:22

Presiden Prabowo Diharapkan Jamu 38 Bhikkhu Thudong

Senin, 10 Maret 2025 | 11:19

Harga Emas Antam Merangkak Naik, Cek Daftar Lengkapnya

Senin, 10 Maret 2025 | 11:16

Polisi Harus Usut Tuntas Korupsi Isi MinyaKita

Senin, 10 Maret 2025 | 11:08

Pasar Minyak Masih Terdampak Kebijakan Tarif AS, Harga Turun di Senin Pagi

Senin, 10 Maret 2025 | 11:06

Lebaran di Jakarta Tetap Seru Meski Ditinggal Pemudik

Senin, 10 Maret 2025 | 10:50

Selengkapnya