Nasaruddin Umar/Net
Nasaruddin Umar/Net
EGOISME bukan hanya meÂlekat pada individu tetapi juga kepada umat. Dalam IsÂlam dan mungkin juga dalam agama lain, egoisme tidak pernah berkonotasi positif. Kita perlu berkontemplasi sejenak, betulkah kita sudah khaira ummah sehingga daÂpat digunakan rujukan untuk menilai orang dan masyarakat lain. Motivasi apa dan referensi apa yang paling dominan di dalam diri kita untuk berjihad mewujudkan khaira umÂmah? Jangan sampai kriteria yang kita gunakan untuk menyasar orang lain justru lebih menonÂjol subjektifitas kita yang berbeda dengan orang atau kelompok sasaran. Jangan sampai kita terÂmasuk pihak yang disindir pepatah: "Semut mati di seberang laut kelihatan, gajah mati di pelupuk mata tidak kelihatan". Selama namanya manuÂsia, pasti subjektifitas pernah mendominasi diÂrinya. Dalam keadaan seperti ini manusia cendÂerung bukan hanya mengakukan dirinya sendiri tetapi juga berharap mengakukan orang lain.
Ada orang ingin melihat orang lain seperti keakuan dirinya, bukan sesuai dengan esensi universal yang menjadi inti ajaran agama. Kita sering menjumpai orang memaksakan persepsi dan keakuan dirinya diimplementasikan orang lain. Ia kecewa bahkan marah kalau keinginan dirinya berjarak dengan kenyataan. Celakanya, terkadang seseorang menggunakan bahasa agama untuk melegitimasi dan menjustifikasi keakuan diri tersebut, sehingga siapapun yang berbeda dengan dirinya maka salah menurut agama. Atas nama "kebenaran" itu, seseorang bisa menghalalkan yang haram, termasuk menÂgalirkan darah saudaranya sendiri. Kondisi sedeÂmikian ini bukanlah sesuatu yang ideal dan tidak akan pernah menghasilkan sesuatu yang ideal. Kini sudah saatnya kita melakukan interiorisasi ajaran agama. Jika nilai-nilai ajaran agama menÂjadi bagian yang integral, internal, dan inherent di dalam diri setiap individu, maka akan tercipÂta universalitas nilai-nilai ajaran agama di daÂlam lingkungan pacu kehidupan kita. Interiorisasi nilai-nilai luhur ajaran agama ke dalam pribadi akan melahirkan kesadaran kolektif dan univerÂsal. Betapa tidak, karena kita sudah melihat subÂstansi diri sendiri di dalam diri orang lain, bahkan pada seluruh alam raya.
Setiap kali kita melihat orang lain atau apapun yang kita lihat, seolah-olah substansi diri kita juga ada di sana. Seolah-olah kata "I", "You", dan "he/ she/they/it" menjadi tidak relevan lagi. Seolah-olah kata "I", "You", dan "he/she/they/it" larut menjadi (We). Tidak lagi ada kamus "orang lain" di luar diri kita. Kamus aku adalah kamus engkau dan kamus mereka juga. Dengan demikian, lingkungan sosial tercipta sebuah keindahan. Perbedaan yang ada bukan lagi sesuatu yang menyedot energi, tetapi bagaikan ornamen lukisan warna-warni yang inÂdah dan menyejukkan hati dan pikiran. Bukanlah alam in adalah sebuah lukisan, lukisan Tuhan (The Painting of God)? Siapa yang menentang realitas pluralis berarti tidak takjub melihat lukisan Tuhan. Orang yang demikian boleh jadi itulah yang dicap dengan fi qulubihim maradl (dalam hatinya ada yang tidak beres). Jika hal ini berlanjut maka dikhaÂwatirkan berada dalam posisi khatamallah ‘ala qulubihim (Allah mengunci mati hatinya), na’udzu billah.
Populer
Selasa, 09 Desember 2025 | 14:21
Selasa, 09 Desember 2025 | 21:58
Rabu, 10 Desember 2025 | 05:53
Kamis, 18 Desember 2025 | 20:29
Selasa, 09 Desember 2025 | 17:12
Selasa, 09 Desember 2025 | 18:00
Rabu, 17 Desember 2025 | 08:37
UPDATE
Jumat, 19 Desember 2025 | 20:12
Jumat, 19 Desember 2025 | 20:10
Jumat, 19 Desember 2025 | 19:48
Jumat, 19 Desember 2025 | 19:29
Jumat, 19 Desember 2025 | 19:24
Jumat, 19 Desember 2025 | 19:15
Jumat, 19 Desember 2025 | 18:58
Jumat, 19 Desember 2025 | 18:52
Jumat, 19 Desember 2025 | 18:34
Jumat, 19 Desember 2025 | 18:33