Nasaruddin Umar/Net
Nasaruddin Umar/Net
PERJALANAN haji bukan hanya perjalanan biasa. Perjalanan haji merupakan soiritual journey yang tidak akan pernah dilupakan setÂiap hujjaj. Bukan saja demi mempertahankan kesucian dan kemabruran haji tetapi terlalu banyak oengalaman batin yang di alami di tanah suci tidak akan pernah dialami di tempat lain. Mungkin setiap orang merasa tidak pernah meÂnempuh perjalanan emosional selain ibadah haji dan umrah. Itulah sebabnya banyak hujjÂaj yang mengabadikan gelar Haji di depan naÂmanya. Banyak di antara para hujjaj meninggalÂkan peci hitam lalu diganti peci putih yang lebih dikenal dengan peci haji. Sementara hujjaj dari kalangan perempuan juga menggunakan keruÂdung spesifik kerudung haji, yang tidak lazim dugunakan oleh orang yang belum pernah haji.
Para hujjaj di Indonesia amat dahsyat. Bukan saja dari segi jumlah tetapi juga potensi strategis yang dimilikinya. Hampir semua hujjaj sekaligus tokoh konci (key persons) di dalam masyarakat. Seluruh lapisan masyarakat menÂjadi anggotanya. Susasan batin dan emosionÂal ini seharusnya mampu menjadikan Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (IPHI), sebagai wadah tunggal para "alumni" haji ini lebih ekÂsis dan lebih berpengaruh. Tak terbayang jumÂlahnya para alumni haji di Indonesia. Jika IPHI disentuh dengan manajmen modern maka pasÂti wadah ini akan menjadi wadah yang sangat diperhitungkan, karena bukan hanya jumlahnya yang mat besar tetapi juga terdiri atas seluruh lapisan masyakarakat. Anggotanya seluruh kelÂompok umur, seluruh jenis pekerjaan, misalnya dari Pegawai Negeri Sipil, Tentara, Polisi, penÂgusaha, pelajar dan mahasiswa, pengusaha, petani, nelayan dan pembantu Rumah tangga. Tegasnya, dari Tukang becak sampai kepala negara.
Budaya Indonesia menempatka para hujjaj sebagai kelompok elit masyarakat. Ketokohan para hujjaj bukan hanya dalam soal ekonomi yang terbukti mampu menyiapkan dana tidak sedikit untuk menunaikan ibadah haji, tetapi juga sekaligus sebagai tokoh agama, tokoh budaya, dan tokoh politik. Sebagai contoh masyarakat Sulawesi Selatan. Sebelum haji, seseorang yang bukan bangsawan, ilmuan, atau pejabat tidak bisa duduk di samping atau berhadapan dengan tokoh birokrasi seperti camat atau luÂrah. Ia juga tidak diajak untuk mengantar penÂgantin dalam adat perkawinan. Terkadang juga tidak bisa duduk di belakang imam di shaf perÂtama di masjid atau mushalah. Akan tetapi jika mereka sudah menunaikan ibadah haji, maka mereka dapat duduk bersebelahan dengan peÂjabat daerah, selalu diundang mengantar romÂbongan keluarga pengantin dengan pakaian formal hajinya, dan sudah dipersilahkan duduk di shaf pertama belakang imam di masjid atau mushalah. Bahkan orang yang mengenakan simbol dan atribut haji, pedagang grosir atau eceran bersedia bahkan menawarkan barang dagangannya untuk dicicil atau dipinjam oleh para hujjaj. Ini artinya para hujjaj memiliki keÂpercayaan, legitimasi, dan kelas sosial tersendÂiri di dalam masyarakat. Seolah-olah para hujÂjaj sudah masuk ke dalam kategori shalih dan amanah.
Populer
Selasa, 09 Desember 2025 | 14:21
Selasa, 09 Desember 2025 | 21:58
Rabu, 10 Desember 2025 | 05:53
Rabu, 17 Desember 2025 | 08:37
Jumat, 19 Desember 2025 | 03:10
Kamis, 18 Desember 2025 | 20:29
Selasa, 09 Desember 2025 | 17:12
UPDATE
Jumat, 19 Desember 2025 | 20:12
Jumat, 19 Desember 2025 | 20:10
Jumat, 19 Desember 2025 | 19:48
Jumat, 19 Desember 2025 | 19:29
Jumat, 19 Desember 2025 | 19:24
Jumat, 19 Desember 2025 | 19:15
Jumat, 19 Desember 2025 | 18:58
Jumat, 19 Desember 2025 | 18:52
Jumat, 19 Desember 2025 | 18:34
Jumat, 19 Desember 2025 | 18:33