nasaruddin umar:net
nasaruddin umar:net
ADA dua istilah sering tumpÂang tindih digunakan di daÂlam memknai kasus keaÂgamaan. Kedua istilah itu ialah blasphemy dan ReliÂgious-Hate Speech (RHS). Menurut bahasa blasphemy berarti penghujatan, penceÂmaran, penjelekan, dan pemfitnahan. Dalam bahasa populer blasphemy sering diartikan sebaÂgai penghinaan, penistaan, atau penodaan terÂhadap hal-hal yang menyangkut agama dan keyakinan seseorang atau kelompok. PeniÂstaan atau penodaan tersebut bisa dalam benÂtuk kata-kata, tulisan, display gambar, karikatur, film, dan aksi karikatur. Blasphemy dalam arti ini dapat disamakan dengan RHS. Bedanya kalau blasphemy sudah tegas sebagai suatu bentuk pelanggaran hukum yang diancam denÂgan beberapa pasal dalam hokum perundang-undangan. Sedangkan RHS tidak semuanya dikategorikan tindakan criminal yang diancam sanksi pidana. RHS masih banyak bersifat abu-abu, belum jelas apakah peristiwanya sudah masuk wilayah pelanggaran atau penggunaan kebebasan berbicara (free of speech).
Persentuhan antara blasphemy dan RHS lebih banyak, mungkin sudah sampai sekitar 70 %. Kedua persoalan ini memang mendeÂsak untuk dijelaskan dan harus ada kepastian hokum di dalamnya. Mungkin itulah sebabnya mengapa piagam International Covenant on Civil and Political Rights dideklarasikan, keÂmudian diserukan untuk diratifikasi seluruh negara. Indonesia termasuk salahsatu negara yang meratifikasinya menjadi UU No. 12 TaÂhun 2005. Salahsatu pasal penting UU ini ialah pasal 18 Ayat (1) dan (2) sebagai berikut: (1) Setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama. Hak ini mencakÂup kebebasan untuk menganut atau menerima suatu agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri, dan kebebasan baik secara individu maupun bersama-sama dengan orang lain, dan baik di tempat umum atau tertutup, untuk menÂjalankan agama atau kepercayaannya dalam kegiatan ibadah, ketaatan, pengamalan dan pengajaran. (2) Tidak seorang pun boleh dipakÂsa sehingga mengganggu kebebasannya untuk menganut atau menerima suatu agama atau kepercayaannya sesuai dengan pilihannya.
Indonesia sesungguhnya jauh sebelumnya sudah menyadari masalah ini. Jauh sebelum UU No. 12 Tahun 2005 ini, Indonesia sudah meÂnetapkan UU PNPS No. 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau PenoÂdaan Agama, yang menegaskan dalam pasal 1 dan 2 sebagai berikut: Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu, penafsiran dan kegiatan mana meÂnyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu. Barang siapa melanggar ketentuan tersebut dalam pasal 1 diberi perintah dan peringatan keras untuk menghentikan perbuatannya itu di dalam suatu keputusan bersama Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung dan Menteri DaÂlam Negeri. Apabila pelanggaran tersebut dalam ayat (1) dilakukan oleh organisasi atau sesuatu aliran kepercayaan, maka Presiden Republik Indonesia dapat membubarkan organisasi itu dan menyatakan organisasi atau aliran tersebut sebagai organisasi/aliran terlarang, satu dan lain setelah Presiden mendapat pertimbangan dari Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri. ***
Populer
Selasa, 09 Desember 2025 | 14:21
Selasa, 09 Desember 2025 | 21:58
Rabu, 03 Desember 2025 | 04:59
Senin, 08 Desember 2025 | 19:12
Kamis, 04 Desember 2025 | 05:04
Rabu, 10 Desember 2025 | 05:53
Jumat, 05 Desember 2025 | 02:00
UPDATE
Sabtu, 13 Desember 2025 | 23:49
Sabtu, 13 Desember 2025 | 23:42
Sabtu, 13 Desember 2025 | 23:19
Sabtu, 13 Desember 2025 | 23:18
Sabtu, 13 Desember 2025 | 23:11
Sabtu, 13 Desember 2025 | 22:53
Sabtu, 13 Desember 2025 | 22:52
Sabtu, 13 Desember 2025 | 22:39
Sabtu, 13 Desember 2025 | 22:35
Sabtu, 13 Desember 2025 | 22:29