nasaruddin umar:net
nasaruddin umar:net
DALAM era reformasi serÂingkali sulit dibedakan antara Religious-Hate Speech (RHS) dan Free of Speech. Satu sisi orang berada di daÂlam suasana bebas berbiÂcara, bebas mengemukakan pendapat, bebas mengungÂkapkan pikiran dan gagasan, suatu era di mana hak asasi manusia harus dihargai, tetapi pada sisi lain ada pembatasan yang tidak bisa disepelekan bagi siaÂpapun. Pembatasan ini agak kontroversi bukan hanya di dalam masyarakat umum (grass root) tetapi juga para ilmuan, termasuk para pengabÂdi kemanusiaan. Jika kebebasan berbicara dan mengemukakan pendapat tidak dibatasi, maka justru bukannya meningkatkan martabat kemanuÂsiaan tetapi justru bisa menurunkan derajat dan martabat kemanusiaan.
Pro-kontra antara kebebasan berekspresi dan RHS perlu dijelaskan. Dalam batas mana kebeÂbasan berpendapat dan berekspresi soal agama dimungkinkan, dan dalam wilayah apa saja yang masuk kategori RHS dan sebaliknya bahkan harus dihindari. Pertanyaan ini lebih rumit karena subyekÂtifitas pemahaman keagamaan setiap orang berÂbeda satu sama lain. Boleh jadi suatu pernyataan dianggap biasa oleh sekelompok orang, tetapi hal sama dianggap RHS oleh kelompok lain. Dari sini perlu ada aturan agar orang tidak terjebak dengan sesuatu yang seharusnya tidak perlu terjadi. SepaÂnjang tidak ada aturan yang jelas maka sepanjang itu masalah konseptual akan muncul. Peraturan dan perundang-undangan yang ada bisa ditafsirkan seÂcara subyektif dan riskan untuk dipolitisir. Akhirnya ada orang yang sesungguhnya berniat baik tetapi disangka berbuat pelanggaran. Sebaliknya ada yang nyata-nyata melakukan pelanggaran tetapi diÂmaafkan karena yang bersangkutan memiliki power yang kuat.
Kebebasan berpendapat dan berekspresi juga bisa dibedakan antara mereka yang berangkat dari niat yang buruk dan orang yang tidak sengaja atau tidak memperkirakan akan memiliki dampak lebih jauh terhadap pernyataannya. Persoalan ini juga tidak mudah karena bagaimana caranya menghukum niat. Seburuk apapun sebuah niat jika belum direalisasikan dalam bentuk perbuaÂtan maka tidak bisa disebut pelanggaran. Nabi Muhammad Saw sendiri pernah marah besar keÂpada panglima angkatan perangnya, Usama bin Zaid karena membunuh seorang musuh yang suÂdah bersyahadat. Peristiwanya ketika Usama bin Zaid mengejar seorang musuh. Ketika musuh itu terjebak di antara tebing dan gunung terjal tiba-tiba ia bersyahadat. Usama menafsirkannya seÂbagai upaya penyelamatan diri. Dengan kata lain syahadatnya palsu. Akhirnya sampai berita itu keÂpada Nabi, lalu Nabi memanggil Usamah dan meÂmarahinya lantaran membunuh orang yang suÂdah bersyahadat. Nabi memberikan pernyataan penting di situ dengan mengatakan: Nahnu nahÂkumu bi al-dhawahir wallahu yatawalla al-sarair (kita hanya menghukum apa yang tampak, dan hanya Allah Yang Maha Mengetahui yang terseÂbunyi di dalam pikiran orang).
Populer
Selasa, 09 Desember 2025 | 14:21
Selasa, 09 Desember 2025 | 21:58
Rabu, 10 Desember 2025 | 05:53
Rabu, 17 Desember 2025 | 08:37
Jumat, 19 Desember 2025 | 03:10
Kamis, 18 Desember 2025 | 20:29
Selasa, 09 Desember 2025 | 17:12
UPDATE
Sabtu, 20 Desember 2025 | 05:59
Sabtu, 20 Desember 2025 | 05:45
Sabtu, 20 Desember 2025 | 05:05
Sabtu, 20 Desember 2025 | 04:51
Sabtu, 20 Desember 2025 | 04:24
Sabtu, 20 Desember 2025 | 03:50
Sabtu, 20 Desember 2025 | 03:25
Sabtu, 20 Desember 2025 | 02:59
Sabtu, 20 Desember 2025 | 02:42
Sabtu, 20 Desember 2025 | 02:25