Waktu menunjukkan pukul 7 pagi. Balita hingga remaja berdatangan ke masjid di samping Terminal Depok, Jawa Barat. Di depan masjid, bocah-bocah peserta Pendidikan Anak Usaha Dini (PAUD) itu membentuk barisan. Satu per satu diminta menanggalkan sepatunya lalu duduk di teras depan masjid.
Siswa tingkat SMP tak perlu disuruh lagi untuk melepas alas kakinya sebelum memasuki rumah ibadah. Siswa kelas 1 berkumpul di teras kanan. Mereka duduk membentuk dua barisan. Barisan terdepan siswa perempuan. Siswa laki-laki di baris kedua.
Siswa kelas 2 menempati teras di sebelah kiri. Sama seperti juniornya, siswa kelas ini dipisahkan berdasarkan jenis kelaminnya. "Aturan di sini, murid perempuan dan laki-laki meÂmang dipisah," kata Nurrohim, pembina Sekolah Master.
Nama sekolah ini merupakan kependekan dari masjid termiÂnal, menunjuk tempat pendidiÂkan berada. Sekolah ini menamÂpung siswa dari kalangan bawah maupun anak-anak jalanan. Mereka tidak dikenakan biaya bersekolah di sini.
Sarana belajar untuk siswa kelas 3 lebih baik. Mereka beÂlajar di dalam ruang kelas yang terbuat dari peti kemas. "Untuk murid kelas 3 belajarnya di kontainer sana," ucapnya sembari menujuk ke kontainer yang berada tak jauh dari mesjid.
Kontainer itu berada di gang yang menghubungkan sekolah dengan Jalan Margonda Raya. Ada dua kontainer yang ditumÂpuk menjadi ruang belajar dan kantor pengelola sekolah.
Mengintip ke dalam ruang kelas, ada deretan meja kecil untuk tempat siswa menulis. Siswa belajar duduk di lantai. Begitu pula gurunya. Papan tulis juga diletakkan di lantai. Diberdirikan bersandar di dinding kontainer.
Di teras masjid, siswa kelas 1 dan 2 menulis sambil memÂbungkuk. Bukunya diletakkan di lantai. Beberapa siswa tampak kerepotan menulis pelajaran yang disampaikan gurunya.
Nurrohim mengatakan tidak bisa menyediakan sarana penÂdidikan yang lebih baik kepada siswa yang belajar di sekolah ini. "Yang penting siswa masih ada tempat belajar," katanya.
Akhir Agustus, 12 kelas Sekolah Master dibongkarPemerintah Kota Depok. Delapan ruang kelas untuk SMP dan PAUD telah rata dengan tanah. Puing-puingnya masih berseraÂkan belum dibersihkan.
Pembongkaran dilakukan Pemkot Depok dan developer lantaran lahan yang dipakai untuk Sekolah Master akan digunakan untuk pengembangan terminal terpadu. Sekolah Master dianggap menempati lahan faÂsum dan fasos seluas sekitar 2 ribu meter persegi.
Khawatir pembongkaran diÂlakukan serampangan, pihak sekolah memutuskan melucuti sendiri sarana pendidikan diangÂgap berdiri di atas lahan bukan miliknya. "Mereka kan prinsipÂnya yang penting hancur. Kalau kami kan hati-hati bongkarnya, pilih-pilih yang bisa dimanfaatin lagi," kata Nurrohim.
Sekolah mempekerjakan lima orang untuk melakukan pembongkaran. Para pedagang yang berjualan ini di lokasi ini ikut membantu pengosongan lahan. Sasaran pertama yang dibongkar adalah ruang kelas siswa SMP. Berikutnya bangunan untuk PAUD.
"Pembongkaran itu dilakukan dengan menggunakan perkaÂkas sederhana, seperti linggis. Makanya walau sudah 2 minggu, yang di PAUD bentuk bangunanÂnya masih terlihat," kata dia.
Pihak sekolah menempuh upaÂya ini untuk mengurangi konflik dengan Pemkot Depok maupun pengembang. Apalagi, orang siswa dan para pedagang sempat hendak menggerak aksi meÂnyikapi tindakan pembongkaran yang sewenang-sewenang.
"Sebelumnya sudah ada perÂjanjian dengan Pemkot Depok. Kami sepakat di bongkar. Tapi sebelum dibongkar, seharusnya disediakan ruangan pengganti dulu untuk siswa belajar," ungÂkap Nurrohim.
Perjanjian itu disepakati taÂhun lalu. Yayasan Bina Insan Mandiriâ€"pengelola Sekolah Masterâ€"bersedia memindahkan sarana pendidikan dari lahan terminal. Sedangkan Pemkot Depok dan developer PT Andyka Investa, membantu pengadaan kelas kontainer.
"Harusnya paling lambat akhir Februari 2015 sudah tersedia. Tapi kenyataannya sampai hari ini belum, tapi kelas sudah diÂbongkar," ujar Nurrohim.
Beberapa waktu lalu, pengemÂban sudah memberikan kontainer. Jumlahnya hanya satu unit. Kontainer berwarna merah diletakÂkan di lapangan tak jauh dari masjid. Rencananya, kontainer ini untuk pengganti ruang kelas PAUD yang akan dibongkar.
"Itu pun belum jadi kelas, masih kontainer biasa. Sementara untuk dijadikan kelas harus dipoÂtong dulu, dan itu butuh biaya," tukas Nurrochim.
Dalam perjanjian, Pemkot Depok dan pengembang akan menyediakan masing-masing dua bangunan permanen untuk pengganti kelas yang bakal dibongkar. Namun bangunan itu di Beji. Lokasinya jauh dari sekolah ini. "Kasihan murid harus jalan jauh begitu. Padahal, kebanyakan tinggal di sekitar terminal ini," kata Nurrohim.
Setelah kelasnya dibongkar, siswa PAUD dan SMP belajar di masjid. Nurrohim kasihan dengan para siswanya. Sebab mereka sulit fokus belajar denÂgan kondisi seperti itu. "Untung anak-anak dan para guru tetap semangat, dan tidak mengeluh. Jadi sejauh ini proses belajar tidak terganggu," katanya.
Sementara, siswa SD dan SMA tak terganggu proses belaÂjarnya. Ruang kelas mereka tak dibongkar karena berdiri di atas lahan yang memiliki sertipikat.
Nurrohim berharap Pemkot Depok dan pengembang meÂmenuhi janjinya untuk menyeÂdiakan kelas pengganti.
"Tidak usah sampai 12. Empat saja saya sudah cukup bersyukur, dan merasa sangat terbantu," ujarnya.
Diterima di PTN, Ada yang Dapat Beasiswa ke Rusia Alumni Sekolah Master
Penggusuran Sekolah Master memicu aksi solidaritas para alumni yang kini kuliah di sejumlah kampus negeri. Para mahasiswa itu akan mengÂgelar unjuk rasa memprotes pembongkaran bekas sekolah mereka ke Pemkot Depok.
Dzulfikar Akbar Cordova kecewa dengan Pemkot Depok dan pengembang yang ingkar janji. "Janjinya mau ada ruang kelas pengganti baru dibongÂkar. Tapi mereka melanggar janji," kata Dodo, sapaan akrab Dzulfikar.
Dodo adalah alumni Sekolah Master yang diterima di Universitas Indonesia dari jalur siswa prestasi. Pria berkulit putih ini mengatakan, Senin pekan depan, alumni dan para mahasiswa UI serta Universitas Negeri Jakarta akan berunjuk rasa. "Kami akan memperliÂhatkan prestasi sekolah Master sejak berdiri sampai sekarang," terangnya.
Dodo menyayangkan Pemkot Depok lebih mengutamakan kepentingan bisnis ketimbang pendidikan. Menurut dia, keÂberadaan sekolah ini justru membantu pemerintah mengaÂtasi masalah sosial di Depok.
Selain menyediakan pendidikan gratis, sekolah ini memÂberdayakan pengamen jalanan agar mereka bisa mandiri. Sehingga tak perlu lagi turun ke jalan yang bisa menyebabkan masalah sosial.
"Memang lahan itu milik pemerintah. Tapi harus berkaca juga pada kontribusi. Jangan seenaknya melanggar janji," kata Dodo.
Ia prihatin dengan adik-adik kelasnya yang harus belajar di masjid. "Ada 120 siswa TK dan 380 siswa SMP yang menumpuk belajar gantian di musala karena 12 kelas sudah dibongkar," kata dia.
Untuk diketahui, Sekolah Master yang berdiri sejak tahun 2000 sudah meluluskan lebih 8.000 siswa. Beberapa alumni sekolah ini diterima di Perguruan Tinggi Negeri (PTN). Juga ada yang mendaÂpat beasiswa pendidikan lanjuÂtan di luar negeri.
"Alhamdulillah, lulusan kita ada yang masuk Perguruan Tinggi Negeri, bahkan mendaÂpatkan beasiswa," kata Sugeng Riyanto, relawan yang menÂgelola Sekolah Master.
Lulusan sekolah ini diteriÂma di Universitas Indonesia, Universitas Jenderal Sudirman, Universitas Diponegoro, Universitas Islam Negeri dan Universitas Negeri Jakarta.
Tahun ini, dua orang diterÂima di Universitas Indonesia. Mereka akan menempuh kuÂliah di Fakultas Ekonomi dan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik sebagai penerima beaÂsiswa. Lalu, "ada yang melanÂjutkan sekolah yang diterima Sastra Rusia UI mendapatkan beasiswa ke Moskow," samÂbung Sugeng.
Kini keberadaan sekola h unÂtuk kaum marginal ini terancam. Dua belas ruang kelas dibongkar. Pemkot Depok bersikukuh melakukan pembongkaran demi perluasan terminal. ***