Abdul Syukur duduk termenung di kompleks Lapas Kelas I Surabaya (Porong), Jawa Timur. Tatapan mata narapidana berusia 73 tahun itu kosong. Raut wajahnya datar. Hanya sedikit kata yang keluar dari mulutnya saat disapa.
Ketika ditanya soal keluarga, pria tua itu tiba-tiba sedih. Pipinya yang keriput dilintasi air mata. Tangan kanannya langÂsung mengusap kedua matanya. "Mesakaken bojo kulo. Kulo mboten tego (kasihan istri saya. Tidak tega)," ujar Abdul dengan terbata.
Tangis pecah lantaran mengingat sang istri di rumah sendiÂrian. Si istri sudah lama tidak membesuknya di lapas. Dia ingin bebas agar bisa berkumpul dan menemani Sunar, istrinya yang juga sudah sepuh.
Namun, pria asal Pasuruan itu masih lama keluar dari penjara. Dia baru menjalani hukuman delapan bulan. Padahal, hakim memvonisnya dengan pidana penjara lima tahun. Itu masih ditambah denda Rp 60 juta, subsider tiga bulan kurungan karena tindak pidana yang dilakukannya.
Hampir di semua lapas terdaÂpat napi berusia lanjut. Namun, Lapas Kelas I Surabaya menyÂimpan problem unik. Selama bertahun-tahun mereka selalu kedatangan narapidana berusia lanjut. Bahkan, ada yang sangat tua. Mereka rata-rata sakit-sakiÂtan dan tanggal pembebasannya masih sangat lama. Remisi lanÂsia yang diharapkan jadi solusi percepatan bebas tidak kunjung terealisasi.
Muniwar napi. Usianya, sudah memasuki angka 73 tahun. Munawir ingin segera menghirupudara bebas. "Kulo mboten ngerÂtos angsal remisi nopo mboten (saya tidak tahu dapat remisi atau tidak)," ucap Muniwar samÂbil menggelengkan kepala saat ditanya soal diskon hukuman untuknya.
Berdasar data di lapas, Muniwar telah mendapat remisi umum pada hari kemerdekaan dan reÂmisi khusus keagamaan selama empat bulan. Namun, dia tidak terlalu peduli dengan pengurangan hukuman itu lantaran yang dia tunggu adalah remisi lansia.
Kakek empat orang cucu terseÂbut sedih bila membayangkan akan bertambah tua di tahanan. Sebab, hakim memvonisnya dengan pidana penjara selama 6,5 tahun. Belum lagi hukuman tambahan berupa denda Rp 100 juta, subsider tiga bulan kurungan. Muniwar tidak sanggup membayar uang sebanyak itu seÂhingga memilih hukuman badan. Itu membuatnya semakin lama berada di dalam penjara.
Seperti warga binaan lainnya, napi lansia juga berhak memperÂoleh remisi. Baik remisi khusus, umum, remisi dasawarsa, mauÂpun remisi untuk kepentingan kemanusiaan. Khusus remisi untuk kepentingan kemanusiaan, Menteri Hukum dan HAM dapat memberikan pengurangan hukuÂman bagi pelaku tindak pidana dengan masa hukuman maksimal setahun. Itu bisa didapat napi yang berusia di atas 70 tahun maupun mereka yang menderita sakit berkepanjangan.
Ketentuan ini dituangkan daÂlam Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor 21 Tahun 2013. Kepmen itu mengatur syarat dan tata cara pemberian remiÂsi, asimilasi, cuti mengunjungi keluarga (CMK), pembebasan bersyarat (PB), cuti menjelang bebas (CMB), dan cuti bersyarat (CB) bagi napi yang mendekam di bui.
Soal pemberian remisi untuk kemanusiaan, diatur dalam pasal 18. Kemudian, itu diperkuat pasal 20 yang menyebutkan bahwa remisi diberikan atas dasar pertimbangan kemanusiaan. "Jadi, napi yang berumur 70 tahun ke atas dapat mengajukan remisi khusus untuk lansia," kata Kepala Subdit Komunikasi Ditjen Pemasyarakatan Akbar Hadi.
Itu berarti Muniwar dan Abdul Syukur sebenarnya bisa meÂnikmati remisi lansia dengan alasan kemanusiaan tersebut. Hanya, mendapatkan remisi "khusus" itu tidak mudah. Ketika mengajukan permohonan, napi yang bersangkutan harus meÂnyertakan bukti akta kelahiran atau surat keterangan kenal lahir yang sudah dilegalisasi instansi berwenang.
Sewaktu menjabat Kepala Kantor Wilayah (Kanwil) Kementerian Hukum dan HAM Jatim I Wayan K. Dusak menyaÂtakan tidak tidak tinggal diam menghadapi problem lansia di penjara. Kanwil pun senantiasa membantu pengajuan permoÂhonan para napi uzur tersebut. Hanya, kanwil tidak berhak memberikan persetujuan atas usul itu. Sebab, remisi diajukan langsung ke direktur jenderal pemasyarakatan (Dirjen Pas).
"Nanti ada evaluasi lagi agar aturan yang diterapkan memenuhi rasa keadilan bagi napi maupun masyarakat," ujar Dusak kini dipercaya sebagai Ditjen Pemasyarakatan itu. Menurut dia, perasaan keluarga korban tindak pidana juga harus tetap dijaga.
Khusus untuk remisi, dia menjelaskan bahwa dalam waktu empat belas hari setelah diteriÂma, permohonan harus mendaÂpat jawaban. "Jika belum disetujui, dicari apa kendalanya," lanjut Dusak.
Pihak lapas juga tidak dapat seenaknya membebaskan napi lansia dari penjara. Mereka juga tidak bisa menempatkan mereka di panti jompo atau sosial denÂgan asal-asalan. Sebab, payung hukum untuk melakukan hal itu belum ada. Lagi pula, rasa keadilan masyarakat belum tentu menerimanya.
Salah satu solusinya adalah penjara berupaya memberikan pelayanan bagi lansia seperti di panti jompo. Meski sejatinya tidak ada kewajiban bagi penjara untuk memelihara orang tua. Tapi, sebagai pihak yang dititipi napi, mereka harus melaksanaÂkan tugas dengan maksimal.
Dengan menempatkan para lansia di blok tersendiri, bisa dipilih petugas penjara yang senanÂtiasa sabar dan pengertian untuk mendampingi dan mengingatkan kala mereka harus minum obat. Dengan begitu, para napi tua akan merasa diperhatikan dan tidak ngenes menjalani hukuman di penjara.
"Saya Ingin Kumpul Dengan Keluarga, Tanam Jagung di Sawah…"Usia Sudah Kepala Tujuh, Tak Ingin Mati Di PenjaraPara narapidana (napi) sepuh di dalam lembaga pemasyarakaÂtan berharap senantiasa sehat hingga keluar penjara nanti. Sering kali mereka berdoa agar tidak meninggal di bui.
"Sekarang bertobat saja. Umur sudah tua, tidak betul kalau hanya mengejar duniawi," ucap Abdul Syukur. Pria 73 tahun itu memendam keinginan mulia bila diberi kesempatan hidup di luar penjara. Yakni, meninÂgkatkan ibadah sebagai bekal menghadap kepada-Nya kelak. Sekaligus, menemani istri terÂcinta dan berkumpul bersama keluarga dengan tetap bekerja sekuat tenaga.
Syukur bercerita tentang tindak pidana yang dituduhkan kepadanÂya. Kasus itu melibatkan empat orang dan semuanya menjadi terÂsangka. Tapi, seorang lagi temanÂnya meninggal dunia saat menÂjalani persidangan di pengadilan. Ia berharap bisa menjadi orang beÂbas dan tidak menyandang status napi ketika menyusul temannya ke liang lahat nanti.
Keinginan yang sama dilontarÂkan Muniwar. "Saya ingin berÂkumpul keluarga juga. Nandur jagung dateng sawah (menanam jagung di sawah)," katanya. Jagung yang ditanam itu nanti dikonsumsi sendiri untuk makan sehari-hari. Kelebihan hasil panen baru dijual di pasar.
Pria asal Probolinggo itu menÂgaku kapok berurusan dengan hukum. Apalagi, dia mengaku tidak pernah melakukan kesÂalahan seperti yang dituduhkan, yakni mencabuli anak di bawah umur. Pria 73 tahun tersebut tidak pernah menjamah Melati (nama samaran) yang masih berumur lima tahun. Tapi, di pengadilan dia tetap dinyatakan bersalah. Majelis hakim memiÂliki pertimbangan sendiri sampai menjatuhkan pidana.
Meski demikian, Muniwar tetap berupaya tabah. Mengambil hikmah dari peristiwa yang diaÂlaminya. Dia juga sudah mulai menerima hidupnya di penjara. Setidaknya, di penjara, Muniwar bisa lebih giat beribadah di sisa umurnya.
Begitu pula rekannya yang lain. Parmin, Maludin, Ismail, dan Irsad. Mereka berlomba-lomba mengumpulkan pahala di hari tua. Parmin merupakan salah seorang napi yang rajin ke masjid. Setiap kali ada jadwal salat jamaah, dia selalu datang. Bahkan, saat wawancara dan terÂdengar suara azan, dia buru-buru meminta izin untuk menunaikan salat terlebih dahulu.
Meski dikenal sebagai napi bertemperamen tinggi, dia bisa diajak mengikuti aktivitas pemÂbinaan. "Kalau saya keluar nanti mau apa ya? Terserah nanti, itu gampang," katanya enteng. Ditanya apa masih kuat mbecak, pria 95 tahun itu menjawab, masih bisa. Mengayuh pedal transportasi roda tiga menjadi salah satu keahliannya.
Ismail pun mengaku ingin menarik becak lagi setelah beÂbas. Tapi, dia tidak yakin masih kuat mengayuh pedalnya atau tidak. Sebab, tubuh pria 79 tahun tersebut jauh dari kata kekar. Badannya kurus, kulit keriputÂnya memperlihatkan otot-otot di baliknya. Rambut, kumis, dan janggutnya dibiarkan panjang. Berjalannya pun sering tertatih karena sendi di kakinya sakit.
Maludin, 79, napi lansia lain, malah ingin mencangkul di sawah setelah bebas nanti. Angan-angannya segera terÂlaksana karena tahun depan, tepatnya pada 16 November 2016, dia bebas. Kebebasan itu bisa lebih awal bila permoÂhonan pengajuan remisi lansia dikabulkan. Termasuk, bonus reÂmisi dasawarsa tahun ini, remisi umum, dan khusus tahun depan lagi. Jumlah pengurangannya lumayan besar.
"Saya juga ingin bertani. Pulang ke anak nanti," imbuh Irsad, 72. Irsad merupakan napi yang sering mendapat remisi. Selain remisi umum dan khusus, dia mendapat remisi kesehatan. Sama halnya dengan remisi lansia, untuk remisi kesehatan juga harus ada syaratnya, yakni surat keterangan dari tim medis yang menyatakan napi tersebut menderita sakit menahun atau permanen.
Nah, Irsad memperoleh reÂmisi karena dia memang sakit. Pihak lapas menyebut dia terkena stroke. Pria yang telah mendapat remisi delapan bulan itu tidak bisa berbicara jelas. Jalannya pun sangat pelan dan terlihat kesulitan.
Remisi memang menjadi salah satu bentuk penyemangat para lansia. Semangat untuk tetap bertahan di penjara meski jaÂrang bertemu dengan keluarga. Mereka juga diberi kesempatan untuk berinteraksi dengan pengÂhuni lain, khususnya yang akan bebas. Harapannya, kebebasan yang bakal didapat penghuni lain menjadi pemompa semangat para napi tua.
"Para pelaku tindak pidana lansia cukup senang bisa berÂinteraksi dengan penghuni lain yang lebih muda," tegas Wachid Wibowo, kepala Kesatuan Pengamanan Lapas Kelas I Surabaya (Porong).
Tak Punya Akta Lahir, Dua Kali Permohonan Remisi DitolakAda Napi Berusia 95 TahunSetiap narapidana berusia lebih 70 tahun atau lansia berhak mengajukan remisi atau potongan masa tahanan khusus. Caranya, mengajukan ke lapas setempat kemudian diteruskan ke pemerintah pusat melalui Kementerian Hukum dan Ham, dengan membawa akta kelahiÂran sebagai bukti otentik.
Bukti otentik tentang kelahiran itulah yang sering menjadi kendala. Sebab, tidak semua napi lansia memilikinya. Misalnya Parmin, narapidana di Lapas Porong, Surabaya yang telah berusia 89 tahun itu belum pernah mendapat remisi lansia.
Di usia renta itu, Parmin mengaku tidak memiliki bukti kelahiran tertulis. Jangankan akta kelahiran atau surat kenal lahir, ketika ditanya usia saja mereka tidak hafal. "Pokoke kulo lahir sak derenge Nippon dugi (Pokoknya, saya lahir sebelum Jepang datang ke Indonesia)," kata Parmin, napi lansia tertua di Lapas Porong, Surabaya, Jawa Timur.
Saat ditanya umur, Parmin selalu menyebut 89 tahun. Padahal, umur yang dihafal itu adalah saat dia melakukan tindak pidana. Dia hafal karena sering ditanya penyidik, hakim, maupun jaksa.
Pria asal Surabaya Timur itu mengaku telah menjalani Lebaran di bui selama tujuh kali. Dua kali di Rutan Kelas I Surabaya (Medaeng) dan lima kali di Lapas Porong. Tapi, saat ditelusuri ke bagian registrasi, Parmin ternyata mulai ditahan pada 7 Oktober 2009. Tahun ini merupakan tahun keenam di bui. Jadi, umurnya sekarang yang asli adalah 95 tahun. Itu sesuai dengan data tahun kelahirannya di berkas, yakni 1920.
Bukan hanya Parmin yang lupa usia. Maludin juga selalu ngotot umurnya masih 70 taÂhun. Padahal, berdasar data dia lahir pada 1936. Tahun ini usianya 79 tahun. Ketika didesak usia yang sebenarnya, napi yang pendengarannya sudah jauh berkurang itu hanya tersenyum.
Dia mengaku yang diÂingat umurnya 70 tahun. Kelebihannya tidak ingat beraÂpa. Lebih parah lagi Ismail. Saat ditanya, dia hanya diam. Rupanya, dua telinga napi berusia 79 tahun tersebut terÂganggu. Dia kesulitan mendengar suara dengan jelas.
Parmin, Maludin maupun Ismail tidak memiliki akta kelahiran atau surat tanda laÂhir yang bisa diserahkan unÂtuk mengajukan pengurangan hukuman. Mereka juga tidak mungkin minta keluarga unÂtuk mencarikan karena tidak pernah dibesuk.
Sangat mungkin hal itu puÂlalah yang membuat usulan remisi lansia pada Hari Lanjut Usia Nasional�"yang diperingati setiap 29 Mei�"tak perÂnah dikabulkan alias ditolak. Sejak 2014, Lapas Kelas I Surabaya (Porong) selalu mengajukan usul pemberian resmi kepada napi yang beruÂmur 70 tahun lebih.
"Tahun ini juga telah kami usulkan, tapi belum ada jawaÂban," tegas Kepala Lapas Prasetyo.
Artinya, sudah dua kali diaÂjukan dalam dua tahun, remisi lansia belum mendapat balaÂsan. Sama dengan Parmin dan kawan-kawannya, Prasetyo berharap para lansia bisa segera bebas dan berkumpul lagi dengan keluarga.
Di Lapas Kelas I Surabaya (Porong) setidaknya ada deÂlapan napi yang berumur di atas 70 tahun. Abdul Gani yang berusia 87 tahun kini sudah ringkih. Kakinya tidak bisa berjalan. Untuk napi yang umurnya 60 tahun plus, ada sekitar 30 orang.
Biar Tak Cepat Pikun, Disediakan NintendoNapi Lansia di Jepang
Pelaku kejahatan dari kalanÂgan lansia di Jepang bertamÂbah. Sejak 2008, pemerintah membangun penjara-penjara baru dengan fasilitas khusus untuk lansia, seperti lift, perÂmukaan yang melandai untuk kursi roda serta batang pegangan di WC dan kamar mandi. Penjara juga menyediakan makan sehat dan mungkin staf khusus sebagai perawat dan bagian rehabilitasi.
Ada tiga penjara baru khusus lansia di Jepang. Tiga penjara baru itu masing-masing memiÂliki daya tampung untuk sekiÂtar 360 orang dan keseluruhan biaya pembangunan menghaÂbiskan 8,3 miliar yen.
Penjara-penjara baru itu tidak memiliki pagar, seperti layaknya penjara. Namun tetap ada beberapa larangan bagi penÂghuninya. "Tentu saja, tidak ada pagar tidak berarti para narapiÂdana bisa pergi keluar," kata seorang pejabat Kementerian Kehakiman di Jepang.
Sebuah survei terbaru di Jepang menunjukkan bahwa tingkat kejahatan yang dilakukan oleh orang lanjut usia lebih tinggi daripada remaja. Ini sejalan dengan data yang dimiliki Kepolisian Nasional Jepang. Selama Januari-Juni 2015, ada 23.656 orang yang berusia 65 tahun atau lebih tua yang berurusan dengan aparat hukum. Sedangkan dari kalangan usia 14-19 tahun ada 19.670.
Statistik itu menunjukkan pertama kalinya sejak 1989 jumlah pelaku kejahatan dari kalangan lansia melebihi kaum muda. Tingkat kejahatan lansia di Jepang telah naik dua kali lipat antara 2003 dan 2013. Mayoritas kejahatan yang dilakukan orang tua Jepang, yakni pengutilan, yang dilakukan pensiunan miskin karena tak punya uang.
Meningkatnya pelaku kejaÂhatan lansia berpengaruh keÂpada demografi penghuni lemÂbaga pemasyarakatan (lapas) di Jepang. Satu dari lima tahanan berusia di atas 60 tahun.
Mengapa banyak lansia yang melakukan pelanggaran ringan lalu masuk penjara? Koichi Hamai, profesor kriminologi dari Ryukoku University, mengatakan, "Di penjara, penjahat dapat menemukan persahabatan, makanan, dan perawatan yang baik. Saat berada di luar, mereka mungkin tidak memiliki keluarga atau dukungan keuangan."
Menangani napi lansia perlu perlakukan khusus. Sebuah penjara di wilayah Oita menyeÂdiakan handheld Nintendo DS di sel napi lansia. Napi lansia di penjara mencapai 21 persen.
Mengapa napi lansia disediakan konsol video game di selnya? Beberapa napi menyebutkan kesehatannya terus menurun dan mulai dilanda pikun. Oleh karena itu, pengelola penjara memperbolehkan napi main video game agar otak tak pikun.
"Main Nintendo DS adalah bagian yang paling seru. Saya benar-benar menikmati dan kepala saya rasanya segar lagi habis main game," kata salah satu napi yang berumur 60 tahun. ***