Betti S. Alisjahbana tengah bersantai di ruang tengah rumahnya di kawasan Ragunan, Jakarta Selatan. Sambil meluruskan kaki, jari tangannya sibuk memencet tombol remote control televisi. Ketika tiba di salah satu saluran TV, tangannya berhenti.
Matanya menatap tayangan berita tentang Panitia Seleksi (Pansel) calon anggota Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Namanya disebutkan masuk dalam Pansel itu.
Ia pun mengingat lagi pembicaraan telepon dengan seorang peÂjabat sehari sebelumnya. Pejabat itu menghubungi nomor handÂphone. Ia menanyakan kesediaan Betti untuk dicalonkan menjadi anggota Pansel KPK. Seketika itu juga, Betti mengiyakan.
"Ketika diumumkan esok harinya (Kamis, 21/5), jujur saya agak terkejut. Saya pikir tadinya baru sekadar kandidat. Tetapi saya tidak keberatan, karena saya memang senang kalau bisa berkontribusi," akunya kepada Rakyat Merdeka.
Ketua Majelis Wali Amanat (MWA) Institut Teknologi Bandung (ITB) ini tak alasan Presiden Jokowi memilih dirinya untuk bergabung di Pansel. Saat dihubungi pejabat itu seÂhari sebelumnya, Betti pun tak menanyakan alasan pemilihan dirinya. "Saya yakin prosesnya sudah melalui tahapan penyelekÂsian yang ketat," imbuhnya.
Betti terpilih menjadi anggota Pansel bersama delapan orang lainnya. Yakni, ekonom dan ahli moneter Destry Damayanti, Ketua Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Kementerian Hukum dan HAM Enny Nurbaningsih, dan Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Kemenkum HAM Prof. Dr. Harkristuti Harkrisnowo.
Kemudian lima orang sisanya adalah ahli hukum pidana ekonomi dan pencucian uang Yenti Garnasih, Dekan Fakultas Psikologi UGM Supra Wimbarti, Sekretaris Tim Independen Reformasi Birokrasi Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara Natalia Subagyo, Direktur Analisa Peraturan Perundang-undangan Bappenas Diani Sadiawati, serta Pakar Sosiologi Korupsi dan Meuthia Ganie Rochman.
Apa saja kiprah Betti? Ia adaÂlah perempuan pertama se-Asia Pasifik yang menduduki jabatan Presiden Direktur IBM pada tahun 2000. Berawal dari posisi sebagai trainee, perempuan kelahiran Bandung, 2 Agustus 1960 ini mulai menapaki karier di IBM. Selanjutnya, sejak tahun 1996-1998, ia menjabat sebagai General Manager, General Business, IBM ASEAN dan Asia Selatan.
Perlahan namun pasti, peremÂpuan yang akrab disapa Betti ini pun lantas mendapatkan berbagai posisi menarik dan menjanjikan. Sejak tahun 1998-1999, ia dipilih menjadi manajer umum, e-bisnis dan lintas industri solusi untuk IBM ASEAN dan ASIA Selatan berlanjut pada tahun 2000-2008 sebagai CEO IBM Indonesia.
Meski terbilang sukses dengan pencapaian karirnya di IBM, pada 2008 Betti memutuskan untuk keluar dan membentuk perusahaan baru yang tak jauh berbeda dengan perusahaan yang telah membesarkan namanya. PT Quantum Business International, pada April 2008. Perusahaan tersebut bergerak di industri kreÂatif dan membawai turunan peÂrusahaan seperti QB Leadership Center, QB Architects, QB Furniture dan QB IT Services. Selain sibuk dengan bisnisnya, Betti juga menjadi Komisaris PT Sigma Cipta Caraka.
Pada penutupan Igo (Indonesia, Go Open Source!) tanggal 28 Mei 2008, bersama dengan pemÂbentukan resmi Asosiasi untuk Open Source Indonesia (AOSI), Betti ditunjuk sebagai duta besar untuk Indonesia Open Source dan sekarang duduk sebagai Ketua AOSI. Tak hanya itu, ia juga tergabung dalam Board of Trustees dari Amerika Serikat-Indonesia Society (USINDO).
Betti mengatakan, meski memiliki latar belakang IT yang panjang, tidak berarti dirinya awam dalam bidang antikorupsi. Dia pun menceritakan sedikit pengalamannya sebagai Dewan Juri di Bung Hatta Anti Corruption Award pada tahun 2006. Sebagai juri, dia dan tim memutuskan untuk tidak memilih para kandidat sendiri. Mereka memutuskan untuk membuka polling agar masyarakat mengusulkan kandidat yang diangÂgap kompeten. "Beberapa kandiÂdat dengan hasil polling tertinggi, kami survei," tuturnya.
Dewan juri, kata dia, kemudian menurunkan tim ke lapangan, untuk mencari informasi sebanÂyak mungkin. Tugas tim terseÂbut adalah menyelidiki rekam jejak pada kandidat. Tak lupa, mereka juga meminta Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara (LHKPN) kepada KPK, sebagai bahan pertimbangang. "Hasil peÂnyelidikan itu lah yang kemudian kami gunakan, untuk memutuskan pemenangnya," terang dia.
Memiliki pengalaman dengan Dewan Juri Bung Hatta Award, ia pun tak akan kesulitan menyelekÂsi kandidat yang akan duduk seÂbagai pimpinan KPK. "Buat saya, ini merupakan suatu amanah yang diberikan kepada saya dan akan saya jalankan amanah ini dengan sebaik-baiknya. Lagipula, saya merasa bisa bekerja sama dengan anggota lainnya karena beberapa sudah kenal baik dan pernah bekerja sama," kata dia.
Menurut dia, kondisi yang terjadi saat ini menuntut KPK untuk segera kembali memiÂliki pimpinan yang kredibel dan kompeten. Kondisi itu, kata dia, akan sulit terwujud apabila Pansel hanya menunggu orang-orang mendaftar untuk menjadi pimpinan KPK. Karena itu, dia berencana untuk menerapkan sistem jemput bola, dalam proses pememilihan para kandidat.
"Selain menyeleksi orang yang mendaftar, kami pun rasÂanya perlu mendekati beberapa orang yang kompeten, agar mau mencalonkan diri dan siap menÂerima tugas mulia ini. Saya pun sebetulnya sudah punya kandidat yang mungkin akan saya ajukan. Tapi saya belum bisa ungkapkan di sini," tuturnya.
Betti berharap bersama angÂgota lainnya, dia bisa mendapÂatkan calon pimpinan KPK yang tepat. Dia pun berharap, akan banyak orang berkualitas yang terpanggil untuk mendaftarkan diri menjadi pimpinan KPK. Sebab dengan begitu, peluang terpilihnya pimpinan KPK yang kompeten dan kredibel semakin besar.
"Semoga banyak menerima tugas mulia dan penuh tantangan ini," tandasnya.
Busyro & Robby Ikut Pemilihan Bareng Calon Lain Sudah Fit & Proper Test Pansel KPK yang dibentuk Presiden Jokowi hanya akan memilih 8 kandidat pimpinan KPK. Kedelapan nama kandidat kemudian dikirim ke DPR.
"Kedelapan nama itu harus menjalani uji kelayakan dan kepatutan. Tapi Busyro dan Robby tidak ikut. Karena kan sebelumnya sudah," kata anggota Komisi III DPR, Asrul Sani.
Busyro Muqoddas dan Robby Arya Brata sudah lolos seleksi Pansel KPK di era SBY. Keduanya sudah menjalani uji kelayakan dan kepatutan di DPR pada Desember lalu. Namun hingga kini Komisi III DPR belum memutuskan akan memilih satu dari kedua nama itu.
Belakangan, komisi yang membidangi masalah hukum itu memutuskan, Busyro dan Robby langsung ikut pemiliÂhan, bersamaan dengan 8 nama kandidat hasil seleksi Pansel KPK era Jokowi.
Menurut Sani, meski Busyro dan Robby sudah mengikuti fit and proper test, tak ada jaminan mereka akan terpilih. "Jangan-jangan cuma salah satu yang terpilih. Atau bahkan tidak ada yang terpilih, karena kedelapan calon yang lain ternyata kami nilai lebih baik," jelas anggota Fraksi PPP ini.
Anggota DPR daeri Daerah Pemilihan Jawa Tengah X ini menambahkan, dirinya sangat berharap Pansel KPK bisa menjaring calon pimpinan KPK yang kompeten, terutama dalam hal penguatan secara kelembagaan.
Dia menilai, saat ini KPK tergantung kepada sosok-sosok tertentu. "Contohnya, begitu ada sejumlah kejadian yang menimpa Novel Baswedan, kasus yang ditangani langsung terkesan mandek. Padahal seharusnya kan ada penyidik lain. Kelemahan ini harus diubah," tuturnya.
Menurut Sani, pencarian calon pimpinan KPK yang memiliki visi penguatan kelemÂbagaan itu, menjadi salah satu PR terpenting Pansel. Pansel, kata dia, harus memanfaatkan keberadaan sosiolog handal di tim mereka, untuk menemuÂkan calon yang memiliki visi semacam itu.
"Saya cukup optimis Pansel menemukan yang seperti itu. Karena saya lihat, mayoriÂtas Anggota Pansel itu kaum profesional. Dan sepertinya masyarakat juga melihatnya begitu. Sampai sekarang, hanÂya ketuanya kan yang menjadi gunjingan," tandasnya.
Lebih lanjut dia pun menÂyarankan, Ketua Pansel Destry Damayanti menanggalkan posisinya di Kementerian BUMN. Sebab dia khawatir, sorotan terhadap Destry akan mengganggu kerja anggota Pansel lainnya.
Sani sendiri tak memperÂmasalahkan posisi Destry. Sebab dia menilai, posisi terseÂbut ditempati hanya karena kemampuan profesional yang bersangkutan. selain itu poÂsisinya juga bukan pejabat struktural.
"Masalahnya kan ada pihak-pihak yang berpandangan berbeda. Jadi dari pada mengÂganggu kinerja Pansel, lebih baik mundur sementara samÂpai proses ini selesai," pungÂkasnya. ***